Aku melirik ke asal suara, di samping kananku telah berdiri seorang pemuda tampan, bertubuh tinggi tegap, dengan senyum cemerlang dan pandangan matanya yang tajam. Dia tersenyum kepadaku seraya memarkirkan motornya di sebelah motorku. | Cerpen Lucu Tidak Ada Kata Mantan Diantara Kita
"Hai, Yan," jawabku sambil tersenyum simpul. "Tumben gak bawa mobil?"
"Nggak, kalau naik mobil, gue kesepian, gak ada yang duduk sambil nyanyi-nyanyi di sebelah gue," jawabnya.
Laki-laki itu bernama Ryan, dia adalah mantan pacarku, baru satu minggu kami putus. Dan, kami putus bukan karena sudah tidak ada kecocokan satu sama lain, melainkan karena keegoisan, dan sifat kekanak-kanakkanku.
Waktu itu dia terlambat menjemputku hampir dua jam, dan itu bukan yang pertama kalinya. Sudah tiga kali. Aku yang saat itu geram kepadanya, akhirnya meminta putus, dan ia pun setuju.
Sebenarnya aku masih sangat menyayangi Ryan, tapi sepertinya sudah tidak ada harapan mengenai hubungan kami. Tampaknya dia juga memang ingin berpisah denganku. Buktinya, dia sama sekali tidak menunjukkan usahanya untuk mempertahankan hubungan kami, bahkan selama seminggu itu pula dia menghilang. Dan sekarang, dia muncul di hadapanku dengan senyum khasnya, yang pasti membuat hati semua perempuan meleleh.
"Mau ke kelas?" tanya Ryan, dan aku mengangguk. "Ayo, biar gue antar."
Aku tak kuasa menolak ajakan Ryan, karena jujur saja, aku sangat merindukan sosoknya yang selalu membayangi hari-hariku. Sepanjang perjalanan dia merangkulku. Wangi parfumnya tercium olehku, membuatku merasa tenang dan nyaman.
Beberapa hari yang lalu, aku merasa jenuh terhadapnya. Tapi, sekarang aku malah merasa kalau aku jatuh cinta kepada Ryan untuk yang kedua kalinya. Aku menyesal telah mengakhiri hubungan kami yang seharusnya bisa aku pertahankan. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Meskipun aku ingin, tapi aku tidak bisa dengan seenaknya berkata kepada Ryan kalau aku ingin kembali kepadanya.
Setelah jam kuliahku selesai, aku memutuskan untuk segera pulang. Di jalan, aku bertemu Veni. Ia mengundangku ke acara pesta ulang tahunnya, ia juga memintaku datang bersama Ryan, karena Veni mengira aku dan Ryan masih berpacaran.
Ketika di parkiran, motor Ryan sudah tidak ada. Aku mengitarkan pandangan, berharap kalau Ryan masih berada di sekitar sini, karena nanti malam aku ingin mengajaknya datang ke pesta. Dan benar saja, motor Ryan terlihat baru keluar dari kampus ini, awalnya aku ingin mengejar Ryan, namun niat itu kuurungkan. Karena dia tidak sendirian, dia membonceng seorang perempuan yang entah siapa.
Malam ini aku pergi ke pesta ulang tahun Veni seorang diri dengan mengendarai taksi. Sepupuku sedang sibuk menyelesaikan skripsinya, sehingga aku tidak bisa mengganggunya dengan meminta dia menemaniku.
Setelah tiba di acara itu, aku langsung menghampiri Veni. Aku memberikan selamat, dan menyerahkan kado untuknya.
"Makasih, Bella. Ngomong-ngomong, kemana Ryan? Kok, dia gak keliatan," tanya Veni.
"Itu, hmm ... Ryan, dia itu," aku tergagap, tidak bisa menjawab pertanyaan Veni. Padahal simpel saja, aku tinggal mengatakan 'Dia tidak ada, kita sudah putus seminggu yang lalu.' Tapi rasanya sulit, aku tidak ingin orang-orang tahu kalau aku dan Ryan sudah putus.
"Hey, lo kenapa, Bella? Di mana Ryan?" ulang Veni.
"Gue di sini," jawab seseorang sembari merangkulku.
Aku terdiam membisu, sekaligus lega, karena Ryan datang di saat yang tepat. Tapi, bagaimana dia bisa datang ke sini?
"Tadi gue ke rumah lo, dan nyokap lo bilang, kalau lo lagi pergi ke acara ulang tahun Veni," bisik Ryan di telingaku. "Tapi, kenapa lo gak ajak gue? Untung gue udah ganteng, jadi bisa langsung datang ke sini."
Dasar. Sikap percaya dirinya sama sekali tidak berubah. Tapi, aku akui dia memang tampan, sampai-sampai banyak sekali orang yang menyukainya. Dan aku merasa beruntung sempat memiliki Ryan dan seluruh perhatiannya.
"Yaudah, kalau gitu gue keliling dulu," ucap Veni. "Selamat menikmati pestanya."
Aku dan Ryan mengangguk. Dan sepanjang pesta kami mengobrol seperti biasa, tidak ada yang berubah darinya. Bahkan, aku merasa seperti kami masih berpacaran.
Ketika aku hendak pulang pun, dia mengantarku. Dan sekarang, aku sedang duduk di samping Ryan. Aku melirik ke arahnya yang sedari tadi fokus menyetir. Sesekali dia bergumam, menyanyikan lagu yang sedang diputar.
"Bel, kenapa dari tadi lo diem aja?" tanya Ryan yang hanya dijawab oleh gelengan kecil.
Suasana kembali hening, hanya terdengar lantunan lagu we don't talk anymore dari Charlie Puth dan Selena Gomez. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di tempat dudukku, aku sedikit bergeser dan mengambil benda yang tanpa sengaja aku duduki itu. Ternyata sebuah lipstick. Ingatanku kembali berputar mengingat kejadian tadi siang, ketika aku melihat Ryan membonceng seorang perempuan.
"Berhenti di sini, Ryan!" seruku yang membuat Ryan menoleh.
"Tinggal satu belokan lagi, Bella," jawab Ryan dengan tenang.
Aku merasa emosi mengingat kejadian tadi, padahal aku tidak mempunyai hak untuk marah kepada Ryan, toh, aku ini bukan siapa-siapanya lagi.
"Pokoknya gue mau turun di sini!" | Cerpen Lucu Tidak Ada Kata Mantan Diantara Kita
"Tapi--" jawab Ryan, namun dia segera menepikan mobilnya.
Dengan emosi yang memuncak, aku keluar dari mobilnya, kemudian menutup pintu mobil itu dengan keras.
Tak lama kemudian, Ryan menyusulku. Dia berjalan di sampingku. "Lo kenapa ikutin gue?" tanyaku dengan kesal.
"Kan lo minta turun, jadi, yaudah, gue ikutan turun," jawab Ryan dengan sangat santai. "Lagian, gue juga males naik mobil. Panas, AC-nya mati."
"Gak usah ikutin gue! Jangan sok peduli. Lagian gue bukan siapa-siapa lo."
"Lo masih marah sama gue?" tanya Ryan polos. "Padahal gue udah kasih waktu selama seminggu, supaya lo bisa nenangin pikiran lo, gue pengin pacar gue jadi ceria lagi, dan gak marah sama gue."
Apa yang barusan dia katakan? Dia memberikanku waktu untuk menenangkan diri? Dan, aku ini pacarnya? Lalu, siapa yang tadi dibonceng Ryan. Dan siapa pula pemilik lipstick itu?
"Lo bilang gue pacar lo? Tapi tadi siang lo boncengin cewek. Terus, gue lihat ada lipstick di mobil lo," sungutku sambil memukul-mukul pelan dada bidang Ryan.
Ryan malah tertawa. "Cieee ... yang cemburu," ledeknya. "Tadi itu Laily, sepupu gue. Lo juga pernah ketemu sama dia, kan? Terus, itu lipstick punya nyokap gue."
"Gue gak percaya!"
Ryan merogoh saku celananya. Dia menyodorkan ponsel miliknya kepadaku. "Kalau lo gak percaya, lo lihat handphone gue. Di sana ada sms Mama yang nanyain lipstick-nya, sama sms Laily yang marah-marah karena kelamaan nunggu gue di parkiran."
Aku menatap Ryan dengan sinis, lalu aku mengambil ponsel miliknya. Dan sekarang aku percaya, kalau apa yang dikatakan Ryan memang benar. Tapi, karena merasa malu, aku menyerahkan kembali ponselnya. "Nih, ambil!"
"Bella, please, maafin gue," ujar Ryan sambil memegang telinganya ala-ala orang India.
"Yaudah, tapi lo jangan gitu! Udah jelek tambah jelek lagi."
Mata Ryan berbinar. "Beneran lo udah gak marah sama gue? Kalau gitu gue mau tanya, gue itu siapanya lo?"
Aku tersenyum malu, kemudian menjawab. "Gue pacar lo, dan lo pacar gue."
Ryan tertawa bahagia. Dia lalu mengantarku pulang dengan berjalan kaki. Kami jalan beriringan sambil bergandengan tangan. Dan satu hal lagi, Ryan itu bukan mantanku.
Aku menganggapnya mantan karena sebuah kesalah pahaman. Ryan itu pacarku, kemarin, sekarang, besok, dan selamanya. | Cerpen Lucu Tidak Ada Kata Mantan Diantara Kita