Seorang Pemuja Tanpa Akal Sehat

Dering panggilan masuk di ponselku, tampak deretan angka tanpa nama. Kubiarkan di atas meja kerja sampai berhenti dengan sendirinya. | Cerpen Lucu Seorang Pemuja Tanpa Akal Sehat

"Ang, angkat dong!" Seru Titin saat terdengar nada panggil berikutnya.

"Males, nggak ada namanya," sahutku tetap fokus pada monitor PC di hadapan.

"Ish! Siapa tahu penting. Udah berkali-kali tuh." Titin mulai terganggu dengan deringnya. Meja kami bersebelahan.

"Iya, bawel!" Kuraih dan kusentuh tombol hijau.

"Halo ...," suara laki-laki terdengar ragu.

"Ya, siapa ini?" Sahutku ketus.

"Ini gue, Fie." Suara itu terdengar jelas. Fie? Hanya satu orang yang memanggilku dengan sebutan itu.

"Eh, Kohar?" Aku memastikan.

"Loe inget, Fie. Kirain dah lupa sama gue," Ujarnya lalu tertawa hambar. Aku mulai tak nyaman.

"Pa kabar, Har?" Basa-basi yang kuharap bisa meredam gundah.

"Gue baik. Punya waktu sore ini, Fie?"

"Gue lembur," jawabku asal-asalan.

"Sampai jam berapa? Gue jemput ya? Minta alamat kantor ya, Fie?"

"Eh, jangan! Gue nggak tahu sampai jam berapa, dan pulang nanti diantar supir bos." Elakku.

"Please, Fie. Ada yang mau gue omongin. Penting, menyangkut masa depan kita."

"What? Kita? Emang ada apa dengan kita?" Aku mulai emosi.

"Gue mau tanya sesuatu, Fie," ujarnya pelan.

"Tanya apa? Sekarang aja mumpung belum gue tutup telpon." Rasa kesal karena pekerjaanku terganggu, membuat suara tak lagi lembut.

"Fie, loe cinta nggak sama gue?"

"Hah? Cinta? Gila, Loe!" Seruku mendadak kalap.

"Jawab aja, Fie! Gue butuh kepastian," ucapnya membuatku mual.

"Gue nggak pernah cinta sama Loe, kita berteman baik dan tetap berteman sampai kapanpun!" Kumatikan ponsel. Geram rasanya mendengar pertanyaan Kohar. Bahkan statusku sebagai isteri sahabatnya tidak dihormati.

[Fie ...] sebuah pesan masuk dari nomor yang sama. Kumatikan ponsel dan memasukkan ke dalam laci meja. Berantakan sudah laporan keuangan yang sedang kukerjakan. Telpon dari Kohar benar-benar merusak konsentrasi.

***

"Kenalkan, Kohar." Seorang pemuda berseragam hitam-putih menyapaku. Karyawan baru di studio photo tempatku bekerja.

"Anggie," jawabku menyambut uluran tangannya.

"Loe lebih cocok dipanggil Sofie, sesuai sama wajah bersih loe," ujarnya sok tahu.

"Terserah," jawabku acuh.

"Jutek banget." Celetuknya membuatku mendelik.

"Bodo!" Kulanjutkan menyusun beberapa frame pada rak display.

"Fie, mau kopi?" Tanyanya bersiap keluar studio, "Gue beliin, ya?"

"Terserah."

"Jangan galak-galak, Ang. Ntar Loe naksir Kohar, kacau deh." Dasman, rekan kerja senior disini terkekeh.

"Sorry lah ya, bukan type gue," ucapku datar.

"Ang, jadi cewek jangan terlalu judes. Jauh jodoh," ujar Dasman.

Bekerja dengan rekan-rekan yang semua laki-laki membuatku menjaga jarak dengan mereka. Aku tak suka terlalu akrab.

"Gue mau beli makanan, loe titip apa, Fie?" Hampir setiap hari Kohar menawarkan jasa.

"Nggak, gue males makan."

"Fie, loe jangan lembur. Pulang bareng gue ya?" Kerapkali mengajak naik motor untuk pulang.

"Sorry, Har. Gue lebih suka naik bus." Selalu saja kutolak dengan berbagai alasan.

"Fie, loe udah punya cowok?" Tanyanya suatu kali.

"Nggak, gue anti pacaran."

"Loe pengen punya pasangan yang seperti apa?"

"Gue mau cari suami bule, untuk memperbaiki keturunan," jawabku sekenanya.

"Hah?" Kohar pun terdiam.

Aku tahu dia memendam rasa suka. Tapi aku hanya menganggap nya teman, tidak lebih. Situasi ini membuatku tidak nyaman dan memutuskan berhenti lalu mencari pekerjaan lain.

***

"Har, dateng ya, bawa pasangan." Kuberikan sebuah kartu undangan padanya. Dua minggu sebelum akad nikah, kusempatkan mengunjungi teman-teman di studio.

"Fie, loe nikah? Sama siapa? Kok mendadak? Loe bilang nggak punya pacar?" Kohar menghujani dengan pertanyaan.

"Baru ketemu jodoh. Cepet menyusul ya, Har." Akupun pamit, kutinggalkan Kohar dengan rasa yang entah.

Aku tahu dia kecewa. Bisa kurasakan luka di sorotnya. Kuharap dia segera menemukan pasangan hidup.

***

"Ang! Telpon di line satu!" Seru Titin mengejutkanku.

"Dari siapa?"

"Nggak tahu, cowok," jawab Titin lalu keluar ruangan.

Angkat, jangan, angkat ... Aku tahu itu Kohar. Kuhembuskan napas membuang gundah.

"Halo."

"Halo, Fie. Tolong jangan tutup telpon, kumohon." Suaranya memelas.

"Oke, lima menit," tukasku.

"Gue mau nikah minggu depan. Mama memaksa melamar sepupu gue, Fie."

"Bagus dong," selaku cepat.

"Tapi gue nggak cinta dia, Fie. Hati gue cuma buat loe, Fie!" Teriaknya parau.

"Kohar, dengar ya. Gue udah nikah dua tahun, dan gue cinta suami gue."

"Fie, andai ada sedikit saja cinta di hati loe, gue bakal batalin pernikahan ini."

"Bulshit! Loe kira gue perempuan macam apa? Sadar, Har! Jalani aja takdir masing-masing. Gue nggak berniat jatuh cinta sama orang lain selain suami gue."

"Fie, kalau loe mau terima cinta gue, bisa dengan mudah gue bikin jadi janda. Biar nggak ada yang menghalangi hubungan kita."

"Loe sakit jiwa, Har!" Kuletakkan gagang telepon dengan gusar.

Sejak hari itu, kuganti nomer ponsel dan kublokir nomor hape, facebook, dan aplikasi lain yang terhubung dengan Kohar. | Cerpen Lucu Seorang Pemuja Tanpa Akal Sehat

Aku tak ingin mempertaruhkan keluargaku untuk seorang pemuja tanpa akal sehat seperti dia.