"Maaas! Knapa sih kamu nolak nikah lagi? Kamu ini aneh. Tawaran setengah kekayaan Pak Haji itu sungguhan." Kartika, istriku memoyongkan mulut. | Cerpen Sedih Secarik Catatan Hati Seorang Suami
Dia lagi-lagi menyuruhku untuk nikah lagi. Kedengarannya memang aneh. Di saat para istri enggan bila suami mereka menikah lagi. Namun, tidak dengan wanita yang sudah kunikahi 10 tahun silam. Di meja makan berukuran kecil itu, belum sesuap pun makanan masuk ke mulutnya. Berkali-kali ia menusuk-nusuk telur yang jadi lauk di pagi hari itu. Aku menyesal. Seharusnya, semalam dia tidak kuajak ikut bersama. Masih sangat lekat di ingatan ini kejadian semalam.
"Zain, putri semata wayang kami menyukaimu. Laura ingin kamu menjadi suaminya," ucap pak haji memulai pembicaraan kami malam itu. Awalnya, Kartika terlihat mengerutkan dahi dengan mimik tak sedap dipandang. Bahkan, tangan ini sempat ia tarik. Secepatnya katanya mau pulang saja. Namun, roman istriku itu spontan berubah saat pak haji menawarkan sesuatu.
"Jika Nak Zain bersedia menikahi Laura, setengah kekayaan kami buat kalian." Kartika membuka mulut. Sungguh tak terduga apa tanggapannya di ruang serba bercat warna emas itu.
"Aku setuju Pak Haji. Aku setuju." Kartika mulai menyuging senyum. Namun, aku balas menggeleng kepala. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga ini.
"Mas, kesempatan itu tidak datang dua kali. Liat, rumahnya aja bak istana." Setengah berbisik, bidadariku itu meyakinkan diri ini.
"Terimakasih, Pak kebaikannya. Maaf, kami pamit," ucapku mengakhiri pertemuan malam itu. Kendati demikian, Laura tetap saja menatap betah dengan senyum menggodanya.
"Makan sayaaang. Kalo kamu tak makan, gimana mau nyusui anak kita. ASImu bisa sedikit." Aku memegang pundaknya. Sekejap, ia memalingkan muka.
"Tidak! Aku bilang tidak, ya tidak."
"Lah, terus? Kalo Humaira putri kita sakit gimana?"
"Obatin. Bawa ke rumah sakit. Itu aja pake diribetin." Kartika bangkit. Lantas, sedikit berlari ia menuju kamar. Aku tidak mengejarnya. Memilih duduk di beranda rumah. Setengah jam, tak ada suara pun di dalam sana. Tangis putri kami membesar. Kartika belum menyusuinya sejak pagi tadi. Biasanya, ia menyusui setelah buah hati kami terjaga.
"Sayaaang! Anak kita nangis. Lekas!" Aku berusaha mengambilnya dari ayunan. Lalu, menggendong. Lama. Kartika masih belum keluar. Segera bayi kami kubawa ke sana.
"Sayang... Sayang...," aku memanggil. Kartika berbaring menyamping. Kuraba lehernya. Hangat.
"Sayang? Kamu panas."
"Tak perlu panggil dokter, Mas. Sekali aja. Mau tidak kamu nikahi Laura?" Matanya terlihat sembab. Badan dia juga sedang sakit. Namun, pertanyaan menyakitkan itu semangat sekali meluncur dari wanita yang sudah memberiku seorang anak.
"Tapi, ...."
"Ga ada tapi-tapian. Jawab, mau tidak?!" Suaranya sedikit meninggi. Entah, setan dari mana telah merasukinya. Bayi kami masih menangis saat diri ini terdiam seribu bahasa. Antara iya atau tidak. Aku hanya mampu mengerutkan dahi menatap pujaanku itu. | Cerpen Sedih Secarik Catatan Hati Seorang Suami
- Bersambung -