Sebuah Kisah Perjalanan Hidupku Dan Hidupnya

Pukul 2 siang, waktu istirahatku telah usai. | Cerpen Misteri Sebuah Kisah Perjalanan Hidupku Dan Hidupnya 

“Rei, waktu istirahat lu dah abis. Buruan bantu gih?” sahut seorang pria memberitahu, tepat saat aku berdiri.

Kuraih seragam putih milik restoran jepang tempatku magang, mengenakannya serapi mungkin.

Tempat ini memang tidak begitu besar, tapi cukup memenuhi kebutuhan finansial setiap bulan. Entah sejak kapan diriku begini, berubah dari seorang pengangguran menjadi pekerja keras. Bahkan sekarang aku kuliah.

Oh iya, semua perubahan ini dimulai sejak pertemuanku dengannya.

“Satu porsi Sushi tei dan segelas teh matcha.” Ucapku pada bagian dapur, lalu melangkah kembali ke beberapa meja.

Hari ini dua pekerja meminta izin karena sakit, jumlah yang sudah cukup membuat pekerjaan kami bertambah banyak. Apalagi sekarang hari minggu, banyak orang berdatangan.

“Mas, pesen Okonomiyaku dan Ramen masing-masing dua porsi ya. Minumnya jus jeruk aja empat gelas.”

“Siap mas, silahkan ditunggu.” Lagi aku mencatat pesanan, mememberi kertas kecil itu ke bagian dapur sembari mengambil menu, lalu mengantarkannya pada sang pemilik.

Banyak peraturan di tempatku bekerja, seperti larangan menelfon kecuali mendesak, bermain ponsel, chatting, dan lainnya. Yaa ... wajar saja bukan? hal itu memang tak sepatutnya dilakukan saat bekerja.

Matahari mulai tergelincir di ufuk barat, membenamkan pesona dalam kesunyian senja. Selalu saat lembayung hari tiba, nuansa dunia ini akan redup, seakan kehilangan semangat. Namun itu tidaklah buruk, malah tenteram terasa nyaman.

Kulangkahkan kaki menuju meja di luar restoran, salah satu alternatif jika ada pengunjun yang ingin nuansa berbeda. Aku bekerja hingga jam 9 malam, dan sore hari adalah jam istirahat kedua.

Kutarik dua kursi putih saling berhadapan, lalu duduk di hadapannya, seorang gadis manis yang telah merubahku menjadi lebih baik. Ia tertawa kecil saat melihat sepiring nasi ayam di meja, hanya untuk satu orang.

Gadisku juga tidak makan.

“Bagaimana pekerjaanmu? Apa semuanya berjalan lancar?” tanyanya membuka percakapan.

“Syukurlah lancar, gak ada kendala apa-apa kok. Kamu sendiri? Hari ini udah kemana aja?” kuraih sesendok nasi, memasukannya ke mulut.

“Hmmm ... cuma main di taman sampe siang, terus merhatiin kamu kerja.”

Membawa pacar atau kekasih ke restoran termasuk pelanggaran berat, apa pun alasannya. Kecuali saat libur bekerja. Kedatangannya ini mungkin bisa dibilang salah, namun aku yakin sekali tak ada yang melihat.

Kami membicarakan berbagai hal, memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebelum dipisahkan jadwal kerja. Melihat senyumnya sungguh menenangkan meski samar, keceriaan memancar jelas di mata gadis ini walau tak begitu kentara.

Aku bersyukur dapat bertemu dengannya ...

Namun di sisi lain, ada sedikit sesal membekas di hati.

Karena kedatangannya dalam hidupku tak hanya sebagai anugerah, namun juga sebuah petaka. Atau, lebih seperti ... kutukan.

***

Tak ada yang spesial dari pertemuan kami, semua berjalan seperti hari-hari biasa. Tanpa kecelakaan romantis ala sinetron, atau iringan musik klasik tentang cinta. Cerita kami, benar-benar datar pada awalnya.

Saat itu hujan tengah mengguyur bumi, mengungkung tiap individu di tempat mereka berteduh. Kusantap pesanan di atas meja, semangkuk sup Miso dan teh Matcha hangat, cocok menemani dalam dinginnya hujan.

Seorang gadis tiba-tiba menduduki kursi di meja sebelah, menangkup wajah dalam telapak. Jaket krem tipis membalut tubuhnya, melindungin dengan sedikit kehangatan. Sepertinya ia habis menangis, terlihat dari rambutnya yang berantakan dan isak pelan.

“Mau pesan apa mbak.” Tutur seorang pelayan sopan, tak ada balasan.

Dua sampai tiga kali pemuda berseragam putih itu menawarkan, namun tetap dengan hasil nihil. Gadis di meja nomor 8 itu tetap tidak mambuka mulut. | Cerpen Misteri Sebuah Kisah Perjalanan Hidupku Dan Hidupnya 

“Udah mas, saya pesen teh oolong satu buat dia.” Ucapku kemudian diikuti langkah kaki menjauh.

Kulanjutkan santapan yang sempat tertunda, menikmati setiap ledakan rasa di mulut. Sup Miso memang enak, tak salah restoran dengan masakan jepang ini terkenal meski tidak begitu besar. Menu di sini, sungguh memanjakan lidah.

“Kenapa kamu pesen teh ini buatku?” sebuah suara terdengar, sontak aku menoleh. Tak ada orang lain di sekitarku, jadi siapa lagi kalau bukan gadis tadi.

“Kamu habis nangis kan? katanya teh Oolong bisa meredam kesedihan.” Jawabku menyesap Matcha hangat, nikmatnya.

“Aku tau itu, maksudku kenapa kau melakukannya?”

“Kita sesama manusia kan? wajar untuk saling menolong. Aku juga pernah merasakan keterpurukan dahsyat, bahkan sekarang aku masih berada di dasar.”

Lalu entah bermula dari mana, kami saling bertukar nomor, juga akun media sosial. Perlahan senyum merekah di kedua bibirnya, diikuti tawa renyah. Deretan gigi putih dibingkai bibir merah alami,

Waktu berlalu begitu cepat, seiring rinai hujan yang kunjung reda. Cahaya kuning menyusup di sela awan, menampakkan kegagahan sang mentari. Sumber kehidupan bumi pertiwi.

Akhirnya kami harus berpisah, mengucap janji untuk saling menghubungi. Ada satu harapku, semoga di hari nanti aku dapat melihat gadis manis berambut ikal itu lagi. Entah kenapa, tapi menyenangkan bisa bertemu dengannya.

Beruntung hubungan kami tak berhenti sampai begitu saja, media sosial menjadi ruang obrolan seru. Oh iya, namanya Ririn, supel dan ceria. Selalu menyenangkan membahas sesuatu bersama.

[Rei, aku kangen. Ketemuan lagi yuk di restoran jepang itu]

[Aku juga. Tapi memang gak apa nih kamu harus ke luar kota cuma buat nemuin aku?]

[Gak apa dong, memangnya gak boleh ya? Toh juga bandung semarang gak jauh, nanti ada supir yang nemenin]

Lambat laun hatiku semakin bersemi, genderang cinta bertabuh marak. Semakin kencang dan mekar seiring obrolan yang dipenuhi kata rindu, juga kalimat rasa. Hari-hari berlalu bagai mawar, mempesona dengan keindahannya.

Beberapa kali kami memutuskan bertemu, masih di tempat awal perkenalan kami. Pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, dia menasehatiku sedikit demi sedikit, mendorongku untuk mulai kerja. Dari situ, timbul rasa ingin membuat Ririn bangga.

Kami tahu perasaan satu sama lain, namun belum ingin menjalin hubungan serius. Seperti ini saja dulu sudah cukup.

Tapi takdir tetaplah takdir, goresannya dalam lembar kehidupan tak dapat dihapus dengan apa pun. Kami harus terpisahkan, bukan oleh jarak, adat atau restu. Tapi dengan kematian.

Aku ... bukanlah dewa yang dapat memutar balikkan waktu. Kecelakaan kala itu, tragedi yang terjadi saat kami ingin bertemu, buka hal yang bisa ditangani kehendak manusia.

Akhirnya, dia yang telah memberiku harapan dalam hidup, pergi lebih dulu meninggalkan kehidupan. Bahkan sebelum kami sempat mengungkap rasa.

***

Setiap pasangan memiliki lagunya bukan? Alunan melodi yang seakan melatar belakangi kisah-kasih kebersamaan mereka. Begitupula ceritaku dengan Ririn, kami juga memilikinya.

Tapi tak seperti pada umumnya, lagu kami tak dibentuk dari knot nada dan tingkatan oktaf, membentuk harmoni indah. Lagu ini, adalah rintik hujan yang membasahi tanah merah, membaur dengan bau kematian juga kesedihan.

Semua tahu pasti kan? Sebuah lagu cinta selalu muncul di awal hubungan, atau saat kalimat cinta sama mengungkap angan. Milikku pun demikian.

Hari itu, saat berbondong-bondong manusia berpakaian hitam masih memanjatkan doa di tepi gundukan tanah basah, saat langit menumpahkan gerimis di kala senja menawan, Ririn menemuiku di kamar. Aku tak tahu harus bagaimana, tapi melihat sosok yang kau cintai di depan mata sungguh mengharukan.

“Rei, maaf terlambat. Tapi aku mencintaimu, dan ingin selalu bersamamu selamanya. Meski kita tak bisa besama dalam satu dunia.”

Akhirnya kalimat itu terucap, kalimat cinta yang sudah lama tertahan.

“Aku juga.” | Cerpen Misteri Sebuah Kisah Perjalanan Hidupku Dan Hidupnya 

Sejak saat itu, hidup kulalui penuh kengerian bak kutukan. Setiap wanita yang mendekatiku, akan mati mengenaskan.