Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua

Semarak kembang api dan suara trompet meramaikan malam penutup tahun. Dari sini, di tempat sunyi yang menghadap gedung-gedung pencakar langit. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua

Tampak angkasa berhiaskan letupan cahaya warna-warni, meriah. Harusnya aku cukup menikmati saja malam ini, merasakan lega menyambut hari libur meski sehari atau dua hari.

Seharusnya aku tetap tak peduli dengan yang namanya tahun baru. Karena setiap tanggal dan bulan semua sama saja.

Seharusnya.

Jika saja aku tak ingat, pergantian tahun kali ini usiaku memasuki kepala tiga lebih dua tahun. Mengingatnya membuatku enggan menatap lama-lama keramaian dibalik kaca jendela.

Berhenti mengamati dari jauh banyaknya gelak tawa dan kebersamaan yang mereka punya. Menutup tirai, kuhempas tubuh ke atas kasur empuk menatap plafon kamar yang kosong. Sekosong ruang dalam jiwa. Sekosong ... hari-hari yang hingga detik ini kupunya.

Inilah aku ... yang masih enggan mengisi kekosongan meski perih menggerogoti waktu.

 “Nura, kamu enggak pulang ke rumah orang tuamu?”

“Libur Cuma sehari, capek di jalan saja nanti.”

“Duh iya. Tenang sayang, sebentar bunda mau ke sini dulu ...!”

Mega tampak kewalahan, ia berlari ke sana-kemari entah mencari apa. Keluar dari dapur, ia kembali masuk ke kamar. Menghampiri balitanya yang merengek dari dalam kamar mandi.

Aku terkekeh geli. Wanita itu sudah jauh berbeda kini. Julukan ‘cewek manja’ yang dulu disematkan padanya semasa kuliah, ternyata tak abadi. Ia bertransformasi menjadi sosok ibu bijak dan cekatan. Ya. Memang keadaan juga yang dapat mengubah seseorang.

Untungnya Mega tipe yang cepat sadar atas tanggung jawabnya setelah memutuskan untuk menikah.

Memutuskan.. untuk menikah.

“Nah, duduk di sini ya. Dekat tante cantik.” Mega meletakkan Arman ke atas sofa, tepat di sebelahku.

Melihat balita gempal itu, tak tahan untuk tidak mencium pipinya yang lembut dan tubuhnya yang harum sehabis mandi. Menggemaskan. Segera kuangkat Arman naik ke pangkuan. Memeluknya erat-erat.

Melirik si ibu sebentar, ia tersenyum lanjut menghitung pesanan gamis-gamisnya.

“Sepertinya aku memutuskan untuk lanjut kuliah, Ga.”

Mendengar pernyataanku, wanita bertubuh subur itu sedikit tertegun. Menatap lama.

“Kurasa sudah cukup mengejar karier di perusahaan, aku mau jadi dosen saja di sisa usia. Dan dulu ... aku juga punya angan yang besar untuk bisa kuliah ke luar negeri. Eropa, Ga. Sepertinya aku harus wujudkan segera, mumpung nyawa masih ad-”

“Nura!”

Aku tersentak, kaget!

“Apa sih yang ada di pikiran kamu? Mau sampai kapan begini terus?!”

Ah! Dia mulai lagi. Kuputar bola mata jengah. Memangnya apa salah kalau bercerita tentang angan yang sempat terkubur lama.

“Kamu mau menghabiskan sisa usia dengan terus begini? Jangan Nura!” matanya membelalak, berkaca-kaca. Sungguh. Sebelumnya tak pernah Mega tampak se-emosi ini karena statusku yang masih ...

“Orang tua kamu, mereka mulai renta. Kamu tidak kasihan, ha? Mereka khawatir sama kamu!”

“Mega, apa yang harus dikhawatirkan? Aku baik-baik saja. Masalah penerus? Ada adik dan Abangku yang bisa diharapkan. Atau karena kata orang-orang? Oh ... ayolah, bukan untuk mereka aku hidup.”

“Astagfirullah! Nura! Sebagai seorang Muslimah tidak seharusnya kamu bicara demikian!”

“Lalu aku harus bicara bagaimana, Ga?!”

“Undaaaa” Arman menangis, mungkin ia agak kaget waktu aku juga hampir berteriak.

Balita itu kuserahkan pada ibunya. Aku menyesal. Melihat Arman menangis, sungguh membuatku merasa berdosa. Mega menimang-nimang Arman untuk membujuknya agar diam.

“Aku bercerita tentang kamu ke seorang ustaz yang aku kenal, dia masih muda.

Dua tahun di bawah kita. Tadinya aku minta tolong agar dia carikan seorang ikhwan yang cocok dengan kamu. Tapi sepertinya, malah dia yang merasa tertarik untuk lebih mengenal kamu.”

“Sudah menikah?”

“Belum. Emm, dia lulusan S2 dari Kairo. Banyak akhwat yang sepertinya suka padanya.”

“Lalu?” tanyaku malas.

“Nura ... aku mohon, cinta itu bisa datang seiring berjalannya waktu. Biarkan dia pelan-pelan menuntunmu, kali ini aku harap kamu mau.”

“Dan kamu tahu aku tidak akan pernah mau.”

“Bahkan demi Allah-pun kamu tidak mau?”

Kuharap Mega tak akan mengulang teori tentang ‘mencintai karena Allah’ itu lagi.

Aku sudah hafal dan tahu berbagai dakwah yang ingin menyentilku agar menerima ajakan untuk menikah. Tapi sepertinya ini juga justru kehendak Allah. Agar menutup rapat pintu hati.

“Nura...," sahabatku itu memelas, titik air jatuh dari dua bola matanya yang jelita. Aku bangkit mendekat pada Mega. Memeluknya.

“Terima kasih karena begitu peduli, tapi maaf aku harus mengecewakan kalian lagi,” melirik jam yang melingkar di tangan, waktu menunjuk pukul tiga.

Aku ingin segera pulang.

Sebelum bergegas sekali lagi kucium pipi si gendut Arman. Balita yang jika melihatnya, hatiku ikut tenteram.

“Assalamualaikum...”

“Wa’ alaikumsalam,” sahutku dan Mega, ketika lebih dulu suara salam datang dari seorang lelaki dan anak perempuan melewati pintu masuk ke rumah.

“Loh? Nura? Mau pulang?”

“Bunda! Tante! Lihat, Shila beli banyak buku baru!” anak perempuan berusia tujuh itu melompat-lompat kegirangan.

Setelah berbasa-basi sebentar aku pun berpamitan pulang. Meninggalkan keluarga kecil yang insya Allah senantiasa bahagia itu. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua

Sebentar melirik sekali lagi ke belakang. Pada saat itu pula mas Radit menangkap tatapanku. Segera kubuang muka lantas berlalu. Mas Radit, lelaki pertama yang pernah memberanikan diri menemui kedua orang tuaku, meminta izin untuk menikahi diri ini yang ketika itu masih belum ada apa-apanya.

Tak jadi pulang ke apartemen. Aku justru mampir ke satu toko kue langganan di pinggir kota. Meski tampak begitu ramai, aku tetap membawa mobil memasuki pelataran toko kue yang merupakan milik seorang teman sejak SMA.

Bukan hanya karena punya teman, memang toko ini benar-benar berhasil menciptakan satu makanan yang kini menjadi favoritku.

Tapi ... tiba-tiba aku tertegun. Langkah pertama memasuki pintu. Untuk pertama kali setelah sekian tahun, kini aku dibuat ragu dan malah memutar badan ingin segera meninggalkan tempat ini!

“N-Nura! Nura! Itu kamu ‘kan? Nura!”

“Arh!” ada sepasang tangan menarik lenganku, dengan paksa ia berdiri memutar dan berdiri di depanku.

Kak Delia!

“Nura?” dia diam sedang tangannya masih mencengkeram, “kenapa kamu berusaha kabur?”

“Itu hak Nura! Kakak mau apa?”

Dia terdiam, menerawang sekitar ketika orang-orang mulai menatap kami dengan berbagai macam ekspresi. Ia lantas menarik tanganku mencari tempat lain menghindari pusat perhatian.

Setelahnya ia melepaskan pegangan, menghela napas berat dan tampak berusaha menyelami kehidupan yang terpancar di kedua mataku.

“Kamu belum memaafkan saya?”

Aku diam, memalingkan pandangan. Membuatnya tak bisa berkata-kata. Kami sama-sama terdiam.

“Kapan kakak kembali ke Indonesia?”

Setelah cukup lama, dia pun menjawab pertanyaanku, “tiga hari lalu. Selanjutnya kami akan tinggal di Indonesia.”

“Kakak pasti bahagia, bisa mendapatkan cinta lalu seenaknya mencampakkan. Dan Nura yang selama ini menantikan, hanya mendapat sisa-sisa luka. Setelah berbagai polemik yang datang, kakak memulai kehidupan baru dengan tenang.”

Maka pecahlah tangis kak Delia, dia meremas ujung kerudung panjangnya. Yang entah sejak kapan ia kenakan. Sewaktu akan menikah dengan kak Yusuf tujuh tahun lalu, dia bahkan masih belum berhijab.

“M-maafkan kakak..”

Dulu aku memang sangat marah pada kak Delia, bahkan hingga kini kecewa itu masih ada. Tapi aku seperti tersadar detik ini juga. Tak ada yang perlu disalahkan, disesalkan. Setiap orang punya alasan untuk mengambil keputusan.

Aku terenyuh ketika tak henti air mata meleleh di kedua belah pipi kak Delia. Melihatnya aku ikut menangis.

Kurangkul bahunya, mencoba tersenyum. Bertahun-tahun berpisah, kini kami bertemu kembali. Biar pertemuan ini membuka kembali jalinan yang lebih baik.

Setiap orang punya alasan untuk mengambil suatu keputusan. Serentetan kalimat yang tiba-tiba muncul dalam benak ketika kak Delia mencurahkan penyesalan.

Ia punya alasan kenapa memilih pergi dan meninggalkan kak Yusuf – lelaki yang pernah kucintai dalam diam sejak menginjak bangku kuliah. Hingga kini, dunia bahkan alam semesta telah tahu rahasia cinta itu.

Menyusuri lorong yang sunyi, seperti menyusuri kembali ingatan bertahun-tahun silam. Ketika aku ikut berlari di atas lantai dingin ini, sedang kak Yusuf lemah tak berdaya dengan kucuran darah dan luka di atas pembaringan.

Aku yang hari itu memutuskan tidak menghadiri pernikahan kak Yusuf, malah jadi saksi nyata ketika dirinya melaju dengan sepeda motor berhantaman dengan mobil yang datang dari arah lain.

Tubuhnya terlempar jatuh ke aspal.

Begitulah cara Allah mempertemukanku dengan kak Yusuf ketika aku mencoba melenyapkan diri dari kehidupannya. Dan itu sungguh menjadi hari terburuk dalam hidupku.

Jauh lebih buruk dari ketika mendengar pengumuman pernikahan kak Yusuf dengan kekasihnya, kak Delia. Ternyata di hari pernikahan mereka, kak Delia seenaknya ingin membatalkan pernikahan. Hal yang membuat kak Yusuf begitu marah dan kecewa.

Kudapat fakta itu dari adik perempuan kak Yusuf setelah sebulan lelaki berkulit cerah itu tak kunjung bangun dari tidurnya.

Aku ikut marah. Semakin marah. Dua tahun kak Yusuf koma. Malah terdengar kabar kak Delia melangsungkan pernikahan dengan seorang pria bule di negeri paman Sam.

Suara monitor yang sampai ke telinga membawaku kembali, melupakan kenangan pedih yang lama dan meratapi pedih hari ini. Tubuhnya diam terbujur di atas kasur anti dekubitus dengan berbagai alat tertempel.

Dan di sinilah aku masih setia menjaga tubuh itu agar tak tercekam dalam mimpi buruk. Alunan doa mendayu selalu kubisikkan ditelinganya. Agar dia berani kembali menginjak bumi yang merindukan tawa riangnya.

Duduk di sebelah kak Yusuf. Napasku begitu sesak. Tangan refleks menyeka bulir air mata yang entah sejak kapan merembes dikedua belah pipi. Memandangi sepasang mata sayu yang masih tertutup rapat. Kapan? kapan sepasang kelopak mata ini terbuka?

Aku menunggu. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua

Akan tetap menunggu hingga ia bangun dan mengisi tempat yang selama ini kubiarkan kosong.

Biar menjadi pendamping untuk menemani si perawan yang masih belum dipersunting ini.