Pengalaman Yang Pahit Adalah Jamu Kehidupan

Guru terbaik dalam hidup seringkali justru adalah pengalaman terpahit.


Seperti aku, selalu mendapatkan pelajaran hidup, kebijaksanaan dalam menghadapi masalah serta kesabaran dalam menjalani hidup dari suamiku. | Cerpen Motivasi Pengalaman Yang Pahit Adalah Jamu Kehidupan


Kuluruskan, sebelum kalian berpikir terlalu jauh.


Suamiku selalu marah-marah setiap pulang kerja, kuli bangunan yang tak tentu waktu kerjanya, apalagi upahnya. Keluh kesahnya bertebaran di bilik meteran persegi yang tetap bangga kupanggil rumah, meski cuma kontrakan.


Seminggu sekali ia pulang, tepat di malam minggu. Mulutnya berbau alkohol oplosan, aku tahu dari mana ia mendapatkannya. Bahkan dengan siapa ia minum, aku juga tahu. Mudah, ada bekas gincu murahan di kemeja bututnya.


Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa bersabar agar teriakannya cepat berganti dengan dengkuran supaya ketiga anakku tidak terjaga dengan rasa takut melanda. Aku tak mau mereka mempunyai bayangan kelam tentang ayah mereka melebihi yang sudah mereka ketahui.


Aku selalu bersyukur, tak lupa sebait doa kupanjatkan setiap tangannya menyelipkan selembar uang seratus ribu di lokasi-lokasi tubuh yang kuharap ketiga anakku tak melihatnya. Sebuah kode kalau ia sedang ingin dilayani.


Bersyukur untuk setiap sen yang urung ia berikan kepada para penjaja kepuasan yang menemaninya minum.


Semoga yang terbaik menurut-Mu adalah yang kuterima. Cukup itu doaku.


Setelah itu? Semoga pahala pengabdianku melayaninya malam itu menjadi bumbu penyedap doaku agar dilirik oleh-Nya. Tentu saja ‘itu’ kulakukan setelah memasang pembatas dari sprei kumal agar anak-anakku tak jelas melihat apa yang kami lakukan. Tidak lama juga, hanya sampai ia puas. Mabuknya membuat semua lebih mudah.


Seratus ribu untuk seminggu, bahkan dengan makan dua kali sehari untuk tiga nyawa, terasa kurang sekali. Entah ini yang namanya rezeki, ada saja kutemukan lembaran-lembaran Rupiah di kantong celana dan kemejanya. Selalu kuletakkan di meja, dekat dengan dompet yang kulihat tebal berisi lembaran Rupiah nominal besar.


“Pak, ini uang yang tertinggal di celana, kuletakkan di tempat biasa ya,” dengusan tak peduli selalu menjadi jawabannya, tapi tak pernah uang itu dibawa. Kuanggap itu pemberian lebih dan kugunakan, toh aku sudah jujur.


“Jeng, ini diseduh ya. Minum tiap pagi dan malam selama seminggu,” suatu pagi saat suamiku sudah berangkat, Yu Jum memberikan sebuah kertas berisi bahan-bahan untuk membuat jamu, lengkap dengan petunjuk bagaimana membuatnya. Tetanggaku ini berprofesi sebagai tukang jamu keliling, jadi untukku ini suatu kejutan yang membingungkan.


“Apa ini Yu? Jamu untuk apa?” Mataku dengan takjub melihat tulisan pada kertas itu. Kunyit dan garam. Berikut petunjuknya. Tidak penuh, bahkan untuk sobekan kertas dari buku pelajaran.


“Kalau Jeng belum hamil dan tidak ingin hamil ...,” perkataannya menggantung, seperti berharap aku mampu menangkap maksudnya tanpa ia harus menerangkan penuh. Sungkan mungkin.


“Tapi aku tidak mampu beli bahannya Yu,” kupastikan ia paham kalau aku tahu maksudnya, sekaligus memberitahu keadaanku.


“Minum sekarang, pulang keliling biar kubuatkan lagi untuk sekali minum,” bakul jamunya dengan sigap ia turunkan, mencampur beberapa cairan dari botol yang berbeda ke dalam gelas.


Kutelan cairan itu, tanpa banyak tanya. Cukup dengan pandangan iba dari Yu Jum, dan gelas itu tandas.


“Nggak usah,” uang lima ribu Rupiah yang kusorongkan ditolaknya, sambil ia menaikkan bakul jamunya kembali ke posisi awal, di punggung dengan balutan jarik tebal yang mulai kumal. Langkahnya seperti perkasa, tak terbebani berat botol-botol kaca penuh cairan aneka warna.


Ya, aku mulai menyisihkan sebagian uang untuk membeli bahan baku jamu itu. Aku tak mau lagi hamil dan melahirkan anak dari suamiku. Entah sugesti atau jasa Yu Jum, sampai berbulan-bulan aku tak juga hamil.


Sesekali kutanyakan pada Yu Jum resep-resep jamu lainnya. Untuk anak kebanyakan, penambah nafsu makan, penghilang demam dan lainnya. Merembet ke resep urusan dewasa. Bahkan aku pun ingin lebih dari pada sekedar menjadi alat pemuas. Mabuk suamiku bisa sedikit hilang saat kami bercengkrama, hasilnya ia menjadi sedikit ingat bahwa istrinya masih lebih dari mampu melayani dari pada perempuan remang-remang yang biasa ia kunjungi.


Satu minggu ini, sekali suamiku tak pulang. Terasa seperti liburan, walau aku harus terjaga semalaman menunggunya. Aku bisa melihat ketiga anakku tertidur tenang dengan senyum di bibir mereka.


“Ada apa Bu?” Minatku pada keramaian di rumah tetanggaku memaksa keluar rumah malam itu, mulutku yang biasa terkunci rapat bertanya pada Bu Nih. Mungkin dampak suamiku tak pulang, aku sedikit merasa bebas.


“Anak Bu Diah demam tinggi, kejang-kejang!” Bu Nih menjawab sambil lalu. Disusul dengan segala teorinya tentang kesambet atau kerasukan. Tentu saja bagian terakhir itu tak lagi kugubris.


Aku tak perlu bertanya kenapa mereka tak membawa anak itu ke rumah sakit, klinik minimal. Biasanya masalah seperti ini selesai dengan campur tangan Yu Jum. Sayangnya Yu Jum sudah pindah ke rumah anaknya di kampung.


Kusambar botol minuman mineral berisi jamu sisa pengobatan demam anakku. Belum terlalu lama, baru sehari saja kubuat. Setelah kupastikan anak-anak nyeyak, kukunci pintu rapat lalu kumantapkan langkahku masuk ke rumah Bu Diah.


“Apa ini Jeng?” Raut ragu mengiringi gerakan tangan Bu Diah yang menerima botol dariku.


“Maaf Bu saya lancang. Kemarin Didin, anak bungsuku juga sama seperti anak Ibu. Alhamdulillah setelah minum ini, keadaannya membaik,” kutepis rasa nyelekit akibat pandangan merendahkan itu. Fokusku hanya kesembuhan anaknya, bukan yang lain. | Cerpen Motivasi Pengalaman Yang Pahit Adalah Jamu Kehidupan


“Apa isinya?” Pertanyaan yang masih saja meragukanku. Hanya kali ini aku lebih siap menghadapinya.


“Resep jamu dari Yu Jum,” seperti mantra, nama itu, langsung membuat Bu Diah tanpa ragu membuka tutup botol dan langsung menuangkan isinya ke mulut si anak.


“Nak, kamu pasti sembuh, ini dari Yu Jum!” Cairan itu mengalir pelan sedikit demi sedikit, berpindah dari botol ke dalam mulut dan berlanjut ke dalam kerongkongan si anak.


Setelah kupastikan wajah pucat si anak kembali normal, napas yang tenang serta dengkuran yang mirip anak kucing, tanpa pamit aku berkelit di antara himpitan tamu, kembali ke rumah. Tidur memeluk ketiga anakku.


“Buatkan lagi untuk anakku, Bu!” Selembar uang lima puluh ribu dipaksa berpindah majikan. Bu Diah menggenggam tanganku, erat.


Ya, pagi itu bahkan belum adzan subuh. Bu Diah sudah mengetuk pintu rumahku. Suaranya nyaring memanggil namaku.


“Sudah baikan anaknya Bu?” Aku lupa nama anaknya, tapi tak apalah.


“Alhamdulillah berkat Jeng Tati, murid Yu Jum, si Anto sudah baikan. Sudah melek, walau masih sedikit menggigil,” senyumnya merekah, tak kalah rasa terima kasihnya dari senyum sang suami di belakangnya.


“Syukurlah Bu, alhamdulillah. Nanti saya buatkan lagi, tapi ini terlalu banyak Bu,” kucoba tidak mengambil keuntungan dari orang yang membutuhkan, toh itu juga sisa.


“Tidak Jeng. Bahkan kami malu hanya mampu memberi segini pada Jeng Tati,” ucapannya tidak berlebihan. Kami semua bisa menakar ekonomi masing-masing. Uang segitu cukup besar bagi setiap dari kami.


“Tapi Bu Diah ...,” sumpah, aku tak mau mendapat uang dengan cara seperti ini.


“Jeng Tati, tolong terimalah sebagai pengganti untuk membeli bahan baku jamu itu,” kali ini sang suami ikut memohon, membuatku dengan amat sungkan menarik tanga dari genggaman Bu Diah, beserta uangnya.


“Baiklah Pak, Bu. Nanti akan saya buatkan jamunya, sekalian jamu agar stamina anaknya pulih. Terima kasih,” entah mengapa ada rasa panas di mataku di saat justru aliran air membasahinya. Aku tak percaya bisa mendapatkan uang dengan keahlianku sendiri, tanpa harus menadahkan tangan kepada suamiku yang tak pulang.


Sebuah pelukan hangat kudapati sebagai jawaban dari Bu Diah yang sepertinya tak kalah menangis dariku. Ah, sepertinya aku ingat rasa hangat ini. Pernah kudapat dari seseorang, entah siapa. Aku lupa.


Yu Jum, seandainya aku tahu keberadaanmu kini, pastilah sudah kusambangi. Sayang tahunan semenjak kepindahanmu, tak lagi pernah kudengar berita darimu.


Suamiku tak lagi pulang sejak kejadian itu. Herannya aku tak merasa kehilangan. Rindu pun tidak. Hanya sedikit sesal, takut saat anak-anaknya bertanya tentang keberadaan sang ayah. Itu pun tak pernah terjadi saat mereka sudah besar-besar.


Aku sudah pindah ke rumah yang lebih besar, masih dekat daerah situ juga. Tak ada yang aneh, selain lalu lalang puluhan bakul jamu gendong di punggung ibu-ibu.


Ya, berkat Yu Jum, aku kini dikenal sebagai ahli jamu. Dimulai dari lima puluh ribu Rupiah pemberian Bu Diah, kini uang itu sudah berubah menjadi entah berapa kali lipat. Banyak yang memesan jamu kepadaku.


Syukurnya aku tak pernah menjalani sebagai penjual jamu gendongan. Aku lebih memilih percaya bahwa menunggui ketiga anakku adalah tugas utamaku.


Syukurnya lagi, rezeki selalu menghampiri lewat pesanan jamu dari para tetangga, hingga kumulai usaha jamu gendongan dengan memberdayakan tenaga para tetanggaku.


Yang terbaik selalu datang tepat waktu, tidak pernah terlambat. Hanya kadang kitalah yang terburu-buru datang, belum pantas diberi. | Cerpen Motivasi Pengalaman Yang Pahit Adalah Jamu Kehidupan