Embun pagi masih bergelut manja pada setiap helai daun dengan sempurna.
Memberikan aroma khas pada setiap hirupan yang tersaji indah, di sebelah bagunan milik pasangan suami istri yang baru saja pindah rumah. | Cerpen Islami Pasangan Bisa Membawa Ke Surga Atau Ke Neraka
"Alhamdulillah Dek, setelah lima tahun kita tinggal bersama dengan orang tua, akhirnya sekarang kita bisa beli rumah."
"Apa, kita? Gak salah? Aku, kali yang beli." sahut Aisyah dengan ketus.
Merasa berpenghasilan lebih, wanita itu selalu merendahkan suaminya. Menjadi seorang pengawas di sebuah pabrik sepatu ternama, membuat wanita itu bisa membeli semua yang ia mau. Memutuskan semua hal tanpa mau bermusyawarah terlebih dahulu. Selalu merasa mampu hingga tidak membutuhkan orang lain untuk membantu. Termasuk suaminya.
"Iya. Mas tahu, ini semua jerih payah Adek yang bekerja. Tapi, jangan lupa. Ini semua adalah rizki kita sekeluarga."
"Halah! Sudah, aku mau tidur. Capek. Besok kerjaan banyak, mau lembur." selorohnya dengan gusar.
Berbeda dengan Aisyah, pekerjaan Didik- suaminya hanyalah seorang guru olahraga. Berpenghasilan tidak seberapa, membuat pria itu selalu mengalah demi keutuhan rumah tangganya.
Bulan berganti, setiap hari ada saja yang Aisyah beli untuk melengkapi isi rumah mewah yang dimiliki. Sering sang suami menasehati agar dia tidak terlalu terobsesi dengan kesempurnaan duniawi. Namun, apa yang dia terima? Hanya sebuah makian kotor yang tidak terkontrol.
Tak pernah mengeluh dengan sikap sang istri, Didik tetap bersikap baik dan bijaksana. Karena dia percaya suatu saat nanti istrinya akan berubah. Menjadi seorang wanita yang penuh kasih sayang pada keluarganya. Sebelum ia bekerja seperti sekarang ini, hingga akhirnya sang istri melupakan janji untuk menjaga buah hati. Saat malaikat kecil itu membutuhkan dekapan hangatnya untuk melangkah.
Ya, Didik sering menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimanapun sikap sang istri seperti ini adalah karena kesalahannya, dia tidak bisa mencukupi kebutuhan juga keinginan sang istri. Bahkan sekedar memberi belanja lebih, ia tak mampu.
Akhirnya setelah melahirkan Anwar-anak pertamanya, wanita itu memutuskan untuk mencari pekerjaan. Karena gaji sang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga barunya. Susu, popok bayi dan kebutuhan lainnya yang hanya bisa terpenuhi jika adanya tambahan pemasukan untuk keluarganya.
Terlahir dengan kecerdasan di atas rata-rata, membuat Aisyah tak sulit mencari pekerjaan. Berawal ikut teman sekelasnya untuk melamar di sebuah pabrik sepatu ternama. Tanpa diduga Aisyah diterima. Sikapnya yang rajin dan ulet membuat KaBag di bagian pemotongan desain mengangkatnya menjadi seorang pengawas. Mengontrol dan melihat hasil pekerjaan dalam satu ruangan yang terdiri dari sembilan puluh karyawati.
Tak terasa, lima bulan sudah Aisyah menepati rumah barunya. Semua masih sama, hanya ada satu yang berbeda dari semuanya, yakni jabatan Aisyah kini telah berubah. Wanita itu kini telah menjadi seorang KaBag (kepala bagian).
Berpenghasilan lebih, membuat Aisyah semakin tak terkendali. Jika dulu dia jarang mematuhi ucapan sang suami, sekarang wanita itu sudah berani membentak dan menyuruh suaminya.
"Dek, ini adalah hari pertama Anwar masuk sekolah. Apa kamu tak ingin mengantarnya?" tanya Didik saat mereka sarapan bersama.
"Aduh! Repot ya, udah dibantuin kerja juga. Masih saja minta yang lainnya. Suruh aja Bik Ipah untuk mengantarnya,"
"Tapi, aku pinginnya minimal di minggu pertama saja, yang menunggu adalah anggota keluarga. Nanti, setelah itu terserah."
"Bawel, ya. Ibu kamu kan, nganggur. Suruh dia pasti bisa. Yang penting kan, keluarga."
Tak mau memperpanjang perdebatan, Didik berusaha berdamai dengan situasi. Mengalah dan menerima adalah pilihan terbaik untuknya.
Belum lagi kering luka di hati Didik sisa pertengkaran tadi pagi, sepulang dari sekolah sudah ada mobil baru yang terparkir di halaman rumahnya. Dengan bangganya Aisyah berkata,
"Lihat, kan? Itu hasil aku kerja."
Didik hanya bergeming lalu masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata.
Waktu terus bergulir mengukir hari, meninggalkan goresan sedih pada sudut hati yang tak mampu menahan perih.
Didik tak lagi mampu mempertahankan biduk rumah tangga yang dulu ia impikan sebagai syurga dunia, ternyata tak ubahnya bagai sebuah neraka dengan api mengagah pada setiap pertengkaran yang tersisa. Setiap pulang bekerja, mereka selalu menghabiskan malam untuk mendebatkan sesuatu yang hanya dicari Aisyah sebagai alasan untuk tidak melayani suaminya.
Merasa malas karena sang suami seperti tidak ada kontribusi sama sekali bagi rumah tangganya. Gajinya sebagai guru olahraga hanya cukup untuk membeli bensin selama sebulan mengajar,membuat Aisyah semakin mencibir pekerjaan sang suami.
"Dek, hari ini aku ada rapat. Insya Allah nanti pulangnya agak sore." pamit Didik seraya memasukkan suapan makanan terakhirnya.
"Gak pulang juga gak apa-apa. Lagian, ada atau tidak ada kamu, gak berpengaruh." seloroh Aisyah dengan santainya. Tanpa beban.
Braaak...
Suara tangan Didik memukul meja makan yang ada di hadapan mereka berdua. Merasa sudah sangat direndahkan dengan sikap sang istri, akhirnya dia berkata,
"Baiklah, Adek memang mampu hidup sendiri tanpa Mas dan Anwar. Jadi, mulai hari ini Mas akan pergi. Mas percaya, masih bisa menghidupi anak kita dengan gaji yang Mas punya. Karena rizki berkah itu tidak harus banyak dan melimpah, tapi juga membuat kita lebih baik kedepannya. Bukan hanya sekedar mencukupi kebutuhan, tapi juga menjadikan kita manusia yang lebih tawakkal. Silahkan Adek nikmati semua harta yang Adek punya, semoga saja Adek tidak semakin jauh dari-Nya. Mulai sekarang, kita berpisah!"
"Ya sudah. Nanti jangan menyesal, ya." dengan menyungingkan sedikit senyum seperti sedang ... mengejek.
Bergegas melangkah ke kamar untuk mengemasi semua baju dan seragam mengajar, pria itu segera melesat menembus kepadatan jalan raya untuk menjemput putranya di sekolah. Lalu melajukan sepeda motornya menuju sebuah rumah sederhana yang dulu ia tempati bersama istri tercinta yang kini telah berubah.
"Lho, ada apa Le? Mana istrimu?" Segera Ibu Wati memberondong beberapa pertanyaan saat melihat putra semata wayangnya pulang tanpa ditemani sang istri.
Setelah bisa menguasai emosi dan menarik napas beberapa kali, akhirnya pria itu menceritakan tentang keadaan rumah tangganya.
Dua bulan telah berlalu, Didik tinggal bersama Anwar di rumah orang tuanya.
Sedangkan Aisyah tinggal sendiri di rumah indah nan megah, lengkap dengan perabot dan furnitur ternama. Memiliki semua yang diimpikannya. | Cerpen Islami Pasangan Bisa Membawa Ke Surga Atau Ke Neraka
Tapi, entah kenapa wanita itu justru tidak merasa bahagia. Seperti ada yang kurang darinya, di salah satu sudut hatinya ia merindukan seseorang jauh di sana. Putranya. Seorang bocah yang selalu berlari dan memanggil namanya ketika pulang bekerja. Memeluk dan mencium pipinya, kemudian bertanya, Kakak hari ini dibelikan apa?
Ya, Aisyah merindukan itu semua. Dia memang merasa benci pada suaminya yang tidak bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, tapi Anwar adalah buah hatinya. Meskipun mereka tidak bisa menghabiskan waktu bersama setiap hari, tapi sebagai seorang ibu, hati Aisyah tetap sama seperti yang lainnya.
Semenjak perpisahan itu, Aisyah-lah yang mengurusi semua urusan perceraian. Mulai bolak balik ke pengadilan agama sampai jalur mediasi-pun ia lewati sendiri. Sedangkan Didik tidak sekalipun menghadiri undangan majelis hakim, bukan tanpa alasan dia bersikap demikian. Pria itu berfikir sudah pasrah pada keadaan rumah tangganya. Toh, ia sudah berjuang semampunya. Jika memang harus berpisah, dia sudah ikhlas menerima.
Waktu yang dilewati Aisyah semakin hari semakin berat saja, tak ada lagi suara tangis, tawa dan canda dari anaknya. Pagi bangun tidur, kemudian sarapan lalu berangkat ke kantor. Selalu sama setiap harinya. Hampa.
Hari ini, Aisyah sudah tidak bisa menahan rindu yang merasuk dalam kalbu. Datang ke kantor hanya untuk mengajukan cuti sampai tiga hari ke depan. Ingin menemui putranya juga sang suami. Tiba-tiba saja ia rindu bersikap manja pada seseorang yang dulu selalu membuatnya bahagia saat bersama. Mengenang masa-masa sekolah hingga ia dilamar dan menjadi istrinya.
Ya, Aisyah adalah murid Didik waktu sekolah SMA dulu. Mereka berjanji untuk hidup bersama setelah Aisyah lulus sekolah. Tak seperti bayangannya, hidup berumah tangga ternyata lebih sulit dari yang dia duga.
Mulai melambatkan laju mobilnya ketika sudah berada di depan gerbang sekolah putranya. Sengaja tidak turun dari mobil, agar tidak diketahui oleh suaminya.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya nampak seorang ayah yang tengah mengantar bocah tampan dengan pipi chuby-nya. Kedua sosok yang sangat dirindukan Aisyah.
Di sana, terlihat Anwar masih bergelayut manja di pundak ayahnya. Seolah enggan untuk ditinggal. Sedangkan di sini, Aisyah tak mampu membendung cairan sebening kristal yang terus menetes dengan deras.
Merasa bersalah pada Anwar, seharusnya pada dirinya-lah, sang putra menumpahkan segala rasa. Rindu, manja dan tertawa. Bukan pada ayahnya saja.
Aisyah telah kehilangan semua masa-masa indah itu, waktunya ia habiskan hanya untuk menambah pundi-pundi rupiah saja. Seolah lupa bahwa masa indah bersama akan segera berlalu seiring berjalannya waktu.
Hari ini adalah keputusan dari pengadilan. Didik dan Aisyah sudah hadir di sana. Setelah semua duduk, acara segera dimulai. Membaca tuntutan dan juga pembelaan dari kedua pihak yang bersangkutan, kini saatnya Pak Hakim menjatuhkan putusan.
"Sebentar!" Suara Aisyah menyela.
"Iya, ada apa?" tanya Jaksa penuntut umum.
"Pak Hakim, bolehkah saya membatalkan tuntutan ini?"
"Apakah Anda sudah mempertimbangkannya dengan matang?"
"Iya, Yang Mulia. Saya-lah yang salah, selalu memetingkan ego di atas semua. Sekarang saya sadar dan ingin berubah."
"Baiklah, mari kita tanyakan pada suami Anda. Apakah beliau berkenan memberikan kesempatan pada Anda, bagaimana Saudara Didik?"
"Bolehkah saya mengajukan beberapa pertanyaan untuk memastikan kebenaran perubahannya, Pak Hakim?"
"Tentu, silahkan."
"Apa buktinya jika Adek sudah berubah? Tentunya selain hijab yang sekarang Adek kenakan,"
"Perubahan itu hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan. Tentang hijab ini, Adek sudah mantap memakainya. Karena sekarang Adek sudah resign dari kantor, dimana selama ini Adek tidak bisa mengenakannya."
Sungguh berbeda dengan Aisyah tiga bulan sebelumnya, seolah kembali bertemu Aisyah-nya tujuh tahun yang lalu. Seorang gadis SMA sederhana yang mencintai dia apa adanya, tanpa terasa mata Didik mulai berkaca-kaca.
"Ya, Pak Hakim. Saya ingin memberinya kesempatan." jawab Didik dengan tegas.
etelah mendengar jawaban dari tergugat, Pak Hakim yang mulia akhirnya menutup sidang dengan bacaan hamdalah. Karena perceraian itu tidak terjadi.
Beberapa menit setelah itu, Anwar dan neneknya masuk bersamaan. Bergantian memeluk ibu dan ayahnya. Bahagia.
Kemudian mereka pulang bersama Aisyah.
Kini mereka kembali bersama, merajut cinta, merangkai asa. Tertawa bahagia dalam kehangatan keluarga dan keharmonisan rumah tangga.
Aisyah sekarang menjadi ibu rumah tangga, sambil membuka usaha laundry di rumah.
Menjadi ibu dan istri yang baik untuk suami dan anaknya. Sedangkan Didik satu bulan yang lalu diangkat menjadi Pegawai negeri sipil. | Cerpen Islami Pasangan Bisa Membawa Ke Surga Atau Ke Neraka
Kita tidak akan tahu seseorang itu berubah, jika kita tidak memberinya kesempatan kedua.
Pasangan, bukan hanya sekedar teman tidur, sahabat berbagi dan rekan meraih mimpi. Tapi, pasangan adalah seseorang yang akan mengantarkan kita menuju ke neraka atau syurga-Nya.