"Hahaha, kamu jangan bermimpi! Mana mungkin aku menikahi perempuan binal! Kamu memang bisa aku banggakan di pesta atau di tempat tidur. Tapi bukan untuk jadi ibu dari anak-anakku!"
Kota Metropolitan, 13 April 2018 | Cerpen Motivasi Para Pendosa Pun Berhak Meraih Masa Depannya
Matahari sedari tadi telah beranjak ke peraduannya, bahkan beberapa jam lagi matahari akan datang pertanda pagi telah tiba. Jarum jam di tanganku menunjukkan angka kecil, jam 02. 00 WIB. Namun aktivitas di kota ini seolah tak pernah tidur. Kota ini bukanlah kota kecil. Orang menyebutnya kota metropolitan. Kota ini adalah kota impian sejuta umat. Banyak orang berbondong-bondong ke sini. Ada yang datang mengadu nasib mencari ilmu, jauh dari kampung halaman demi bekal di masa depan. Ada pula yang datang untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bagi mereka yang dilengkapi ilmu dan keterampilan, maka perkara mengumpulkan rupiah adalah hal yang mudah. Namun bagi mereka yang hanya bermodal nekat, hidup di kolong jembatan atau menjadi langganan tetap dinas sosial seolah menjadi "lagu" wajib.
Aku masih duduk di sini, sendiri. Hanya ditemani segelas anggur merah dan sebungkus rokok. Dentuman musik keras yang dimainkan sang DJ (disc jockey), tak bisa menghapus rasa sunyi di hatiku. Mataku nyalang menatap ke lantai disco, melihat beberapa pasang tubuh berlainan jenis saling melekat erat. Mereka seakan melupakan keberadaan orang lain, mereka hanya berlomba mencari kenikmatan dari tubuh pasangannya. Aku tahu ini adalah waktunya, waktu bagi para suami untuk bercinta dengan sang istri di rumah. Waktu bagi para pencari dan penjaja kenikmatan saling berbagi lendir di atas tempat tidur, entah itu di hotel berbintang lima, tempat pelacuran atau hotel kelas melati. Waktu bagi para pejabat korup dari daerah yang seolah kesetanan, melahap tubuh para perempuan muda. Perempuan muda yang berbeda penampilan fisiknya dari tubuh sang istri di rumah.
"Sendirian aja non!"
"Mau om temani?"
"Tidak! Terima kasih"
Pria separuh baya itu bertanya padaku, matanya seakan menelanjangi tubuhku. Aku tahu penampilanku cukup menggoda bagi para lelaki. Malam ini aku hanya memakai mini dress ketat berwarna merah, memperlihatkan punggung dan bahuku yang berwarna cokelat. Tubuhku ramping, perutku rata. Namun pakaian di bagian dada dan bokongku tercetak sempurna. Menerbitkan air liur bagi para pria mesum. Mirip seperti anjing di musim kawin.
Seperti biasa aku pasti mengambil tempat duduk di pojok. Aku hanya datang sendiri, menikmati malam hingga pagi datang. Sudah 2 bulan aku seperti ini. Dunia malam bukanlah hal yang baru bagiku, dulu sebagai remaja yang ingin tahu segalanya aku sering datang kesini bersama teman-teman atau pacar. Sekarang aku bukanlah remaja yang datang ke kelab malam sekedar ikut-ikutan teman, atau untuk meningkatkan gengsi sebagai anak gaul. Aku hanya datang ke sini, sekedar mengurangi luka batin yang menganga lebar.
Namaku Clitoria Ternatea, semua orang memanggilku Tea. Ibuku adalah seorang botanis yang sangat tergila-gila pada tumbuhan kacang-kacangan, berbunga biru dengan bentuk menyerupai vagina lengkap dengan klitoris. Klitoris adalah pusat rangsangan dan kenikmatan seksual pada seorang perempuan. Aku merasa heran akan tradisi beberapa daerah di negeri ini, termasuk Suku Masai di Afrika yang melakukan sunat vagina. Proses mutilasi organ genital perempuan, dimana yang dipotong adalah klitoris. Baik sebagian kecil atau keseluruhannya. Tujuannya untuk meredam nafsu seks perempuan. Sungguh lucu melihat kenyataan bahwa nafsu perempuan diredam, sedangkan nafsu laki-laki dibiarkan tumbuh subur. Memangnya hanya laki-laki yang boleh merasakan kenikmatan seksual? Dasar egois!
Aku tahu ibuku sangat mencintaiku. Tetapi ibuku tak pernah tahu bahwa aku dan namaku seolah tak terpisahkan. Aku tumbuh menjadi seorang perempuan pengejar kenikmatan seksual. Ibuku hanya mengasuhku sampai aku berumur 5 tahun, sebuah kecelakaan lalu lintas merenggut ibu dari aku dan ayah. Selanjutnya aku dibiarkan tumbuh sendiri, karena ayah sibuk dengan perusahaannya. Ayah juga sibuk dengan tante-tante cantik yang selalu berganti-ganti datang ke rumah.
Aku tumbuh menjadi gadis manis berkulit eksotis. Kulitku berwarna kecoklatan, sawo matang. Katanya warna kulit khas Indonesia asli. Warna kulit perempuan yang "alami". Jauh sebelum industri iklan, film dan sinetron mengekspos warna kulit para artis blasteran Eropa yang berwarna putih susu. Atau sebelum "demam" Korea melanda negeri ini. Sehingga para perempuan berlomba-lomba memakai produk kosmetik pemutih kulit. Produk-produk yang akhirnya membuat sebagian perempuan terkena berbagai penyakit berat, karena kandungan merkuri nya.
Aku mengenal seks jauh sebelum payudaraku bertumbuh sempurna. Pak Tejo adalah bajingan yang telah merenggut kepolosan masa kanak-kanak sekaligus kegadisanku. Dia adalah orang kepercayaan ayah. Pekerjaannya adalah supir pribadi untuk aku dan ayah. Dia mengurus segala keperluanku di rumah dan di sekolah. Ayahku telah lupa untuk mengurus anaknya sendiri, yang diingat hanyalah kerja mencari uang untuk membiayai aku sang putri satu-satunya. Ayahku tidak lagi menjadi sahabat dan orang tua, dia adalah makhluk yang asing. Ayahku sendiri yang menjerumuskanku ke dalam seks bebas, karena ayahku tidak bisa melindungi aku dari predator anak yang menjelma menjadi orang kepercayaannya.
"Jangan cerita sama siapapun! Nanti kamu sendiri yang malu!" Pak Tejo berkata sambil menggerayangi tubuh mungilku. Usiaku baru 10 tahun pada saat itu.
"Nikmati saja manis. Ini enak" Tangannya bergerak lincah menyentuh daging mungil berbentuk seperti kacang di tempat kencingku. Ketika tangannya menyentuh bagian itu, rasanya nikmat dan ingin kencing. Setelah "dewasa" aku baru tahu, bahwa bagian itu bernama klitoris. Namanya identik dengan namaku, merupakan "surga dunia" bagi perempuan.
"Nikmati saja manis. Ini enak" Tangannya bergerak lincah menyentuh daging mungil berbentuk seperti kacang di tempat kencingku. Ketika tangannya menyentuh bagian itu, rasanya nikmat dan ingin kencing. Setelah "dewasa" aku baru tahu, bahwa bagian itu bernama klitoris. Namanya identik dengan namaku, merupakan "surga dunia" bagi perempuan.
Aku adalah anak yang tumbuh tanpa kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuaku. Sebagai anak tanpa ibu, ayahku adalah satu-satunya orang tua yang kumiliki. Namun ayah bukanlah seorang ibu, aku tidak pernah diajar untuk menjaga organ kewanitaanku, aku tidak pernah diajar untuk melindungi diriku dari penjahat kelamin. Akhirnya di usia 12 tahun kegadisanku direnggut oleh Pak Tejo, dia mencabuliku dengan berbagai ancaman dan bujuk rayu. Karena tidak tahan, aku akhirnya menceritakannya pada ayah. Setelah itu aku tak tahu lagi bagaimana nasib Pak Tejo. Dia menghilang tanpa jejak. Ayahku tak pernah mendengarkanku, akhirnya nasi telah menjadi bubur. Orang kepercayaan ayah sendiri yang telah merusak masa depanku.
Gelasku telah kosong, aku melangkah gontai meninggalkan kelab. Pengalaman masa lalu yang buruk, terus berputar di benakku, seperti kaset yang diputar ulang. Malam ini aku telah bertekad pada diriku sendiri, untuk meninggalkan masa laluku yang kelam. Hari ini usiaku tepat 27 tahun, tak ada ucapan selamat dari pacar, teman, apalagi ayahku. Ayahku masih sama seperti yang dulu, sibuk menghibur diri melupakan kematian ibuku dengan bekerja keras mencari uang dan bekerja keras menggauli gadis-gadis muda. Gadis-gadis muda yang menjajakan diri di pelukan laki-laki tua seperti ayahku. Lalu apa bedanya mereka dengan aku? Aku melakukannya secara sukarela. Aku jatuh ke pelukan beberapa laki-laki atas nama cinta. Apa itu cinta? Para lelaki itu hanya mengincar kemolekan tubuhku. Hari ini aku merasa malu, setidaknya para penjaja tubuh itu mendapatkan uang. Sedangkan aku hanya ditipu, tak jarang uangku pun raib digondol para laki-laki yang hanya bermodalkan kelaminnya.
Kota Metropolitan, 14 Februari 2018
Hari ini adalah hari kasih sayang, aku memesan sebuah kamar "Presidential Suite" di salah satu hotel berbintang lima di kota ini. Aku ingin merayakannya dengan berbagi kehangatan bersama Edwin pacarku. Aku juga ingin meminta komitmennya untuk berbagi hari tua bersamaku.
"Terima kasih sayang" Edwin mengecup keningku setelah kami selesai bercinta. Aku pun memeluknya manja.
"Sayang, kapan kita menikah?"
"Aku ngantuk sayang. Lain kali kita bicarakan ini'
"Kamu selalu berkata seperti itu" Aku mulai merajuk.
"Aku capek. Nanti ya!"
"Sudah 3 tahun kita seperti ini, aku juga ingin menjadi seorang istri dan ibu!"
"Nikahi aku sayang" Aku melanjutkan ucapanku.
"Nikahi aku sayang" Aku melanjutkan ucapanku.
"Hahahahahahaha"
"Kenapa kamu tertawa? Aku tidak melucu!" Nadaku mulai meninggi.
"Tidurlah sayang, aku capek. Aku ngantuk"
"Kenapa kamu tertawa!" Aku mengulang pertanyaanku.
"Habis kamu lucu sayang"
"Apanya yang lucu?"
"Lucu karena kamu meminta aku menikah denganmu. Aku kira kamu perempuan bebas. Hanya seorang petualang seks. Kenapa kamu jadi melankolis begini?" Edwin menjawab dan bertanya seolah-olah dia adalah laki-laki yang suci.
"Tapi aku mencintaimu Edwin! Aku ingin menjadi ibu dari anak-anakmu!"
"Hahaha, kamu jangan bermimpi! Mana mungkin aku menikahi perempuan binal! Kamu memang bisa aku banggakan di pesta atau di tempat tidur. Tapi bukan untuk jadi ibu dari anak-anakku!"
"Plak" Secara otomatis tanganku menampar pipi Edwin. Kulihat tangannya mengusap pipinya, seranganku yang tiba-tiba mengagetkannya. Tanganku panas dan perih, tetapi hatiku lebih perih. Sakit sekali.
"Dengar ya Tea! Perempuan sepertimu hanya pantas dijadikan kekasih. Kau cantik, seksi dan berpengalaman di tempat tidur. Tapi tidak pernah sedikitpun niatku untuk menikahi perempuan sepertimu!" Aku ingin menamparnya lagi, namun tangannya dengan cekatan menangkap tanganku.
"Kalau aku ingin menikah, aku akan memilih perempuan baik-baik. Perempuan yang masih suci bukan perempuan "bekas" banyak orang seperti kamu!" Edwin kembali mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hatiku.
Dahulu aku adalah seorang perawan sebelum kegadisanku direnggut dengan paksa. Seorang perempuan menjadi tidak perawan lagi, hanya bisa dilakukan oleh seorang laki-laki. Selalu ada laki-laki pertama yang merenggut keperawanan seorang perempuan. Cerpen Motivasi Para Pendosa Pun Berhak Meraih Masa Depannya
Sungguh tidak adil ketika seorang laki-laki seperti Edwin menuntut istrinya harus perawan, padahal dia sendiri bukan seorang perjaka.
Perempuan seperti aku, yang secara penampilan termasuk sempurna. Cantik, seksi, terpelajar, memiliki karier cemerlang, berasal dari keluarga kaya. Adalah tokoh antagonis yang sering digambarkan dengan sempurna oleh para pengarang novel dan penulis skenario. Kami digambarkan sebagai wanita penggoda, liar dan berpengalaman. Kami digambarkan sebagai kekasih sang pria tokoh utama, kami hanya sekedar "penghangat" ranjangnya yang dingin. Kami tidak pernah bisa "menjerat' dan "menjebak" para pria itu ke altar pernikahan. Karena para pria itu akan menikahi perempuan yang manis, baik hati, polos dan perawan. Menjadi seorang laki-laki yang berpengalaman, sebelum menikah seolah menjadi keuntungan tersendiri dalam memuaskan istrinya. Sedangkan seorang perempuan yang sudah tidak perawan sebelum menikah adalah aib.
Para novelis dan penulis skenario itu lupa. Mereka lupa bahwa para perempuan sepertiku, kehilangan keperawanannya karena ulah seorang laki-laki. Aku juga tidak akan bertindak seperti para perempuan di novel dan film, yang berusaha melakukan segala cara untuk merebut kekasihnya. Melakukan teror, bahkan kekerasan untuk merebut kekasihnya yang telah berpindah hati. Mereka tidak tahu bahwa kami masih memiliki harga diri. Harga diri sebagai seorang perempuan. Untuk apa kami mengejar orang yang mencampakkan kami seperti sampah. Kalau kau berkata kami melakukannya atas nama cinta. Cinta siapa? Itu hanya cinta kami yang bertepuk sebelah tangan, karena kalau benar-benar mencintai kami. Tak mungkin para pria brengsek itu meninggalkan kami, setelah mereguk kenikmatan dari tubuh kami.
Siapa perempuan yang tidak ingin memiliki malam pengantin yang indah bersama suaminya? Malam ketika sang istri menyerahkan segala-galanya untuk sang suami. Namun banyak perempuan yang tidak seberuntung itu, takdir manusia telah diatur olehNya. Banyak perempuan seperti aku yang justru kehilangan keperawanannya dan pelakunya adalah orang-orang terdekat. Mereka diperkosa dan dicabuli oleh orang-orang yang seharusnya melindungi mereka. Ada anak yang diperkosa ayah kandungnya, ada anak yang dicabuli pamannya, ada anak yang dicabuli gurunya. Atau adik yang diperkosa kakak kandungnya, anak yang diperkosa ayah tiri, anak yang dicabuli kakeknya atau diperkosa tetangganya. Kami adalah anak-anak yang tidak pernah dididik dengan pengetahuan seks sejak dini. Pengetahuan untuk tidak membiarkan siapapun menyentuh bagian pribadi tubuh kami. Orang tua kami tidak pernah memandang kami sebagai sahabatnya, sehingga kami tidak bisa menceritakan segala hal yang kami alami kepada mereka. Orang tua kami hanya melihat kami sebagai anak-anak, mereka tidak tahu bahwa ada predator seksual yang mengincar tubuh kami.
Sebuah desa di kaki Gunung Kidul, 27 September 2020
Aku mencoba berdamai dengan masa laluku. Aku mencoba berdamai dengan depresi dan rasa malu, yang membuatku terus mencari kehangatan tubuh lelaki setelah digagahi Pak Tejo. Sekarang aku hidup di sini, di sebuah desa nun jauh dari kota metropolitan. Sudah 2 tahun aku hidup selibat. Mencoba meredam nafsu seksualku dengan melakukan hal-hal positif. Dan aku berhasil melakukan itu. Aku pergi ke konselor untuk mengobati luka hatiku. Aku baru tahu bahwa banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual sepertiku. Ada yang menjadi pecandu seks sepertiku, namun tidak sedikit pula yang berulang kali mencoba bunuh diri. Aku juga baru tahu, bahwa para perempuan itu mengalami peristiwa laknat itu bukan karena berpakaian seksi dan menggoda. Ada yang mengalaminya ketika masih kecil, sama sepertiku. Belum ada bagian kewanitaan yang menonjol dan menggoda lawan jenis. Ada pula perempuan yang berpakaian serba tertutup mulai dari kepala hingga ke kaki, seperti seorang istri baik-baik yang diperkosa oleh tetangganya sendiri. Ini artinya bukan pakaian perempuan yang menjadi pemicu kejahatan seksual, tetapi otak laki-laki yang mesum yang tidak bisa mengontrol syahwatnya.
"Non, diminum dulu tehnya" Bu Ayu mengagetkanku dari lamunan panjangku. Bu Ayu lalu memberikan secangkir teh telang. Teh yang berasal dari bunga telang. Bunga telang adalah bahasa Indonesia dari Clitoria ternatea, namaku. Teh biru itu menjadi teman akrabku sejak "mengasingkan" diri di sini. Teh bunga telang memberikan ketenangan, seperti candu bagiku. Mengembalikan memori pada suatu masa ketika ibuku masih ada.
Ingatanku melayang ketika pada suatu masa bersama ibuku. Ibuku mengajarkanku sebuah permainan. Nama permainan itu sains atau magic. Air biru dari rebusan bunga telang apabila diberikan soda kue atau air perasan jeruk nipis, akan berubah warnanya menjadi ungu. Sedangkan warna biru dari bunga telang apabila diberikan warna kuning dari kunyit warnanya akan berubah menjadi hijau. Ibuku lalu bertanya kepadaku, apakah itu sains atau magic? Sebagai anak kecil aku menjawab bahwa itu adalah magic. Namun ibu berkata bahwa itu adalah sains. Sains yang bekerja mengubah warna-warna itu. Aku merindukan ibuku. Dalam kenanganku, tidak pernah aku menangis ketika bersama ibuku, ibuku sangat mencintaiku. Hanya satu kali aku menangis keras, karena ibuku hanya tidur di dalam peti dan tidak mau bangun lagi.
Ibu Ayu menanam bunga telang di pekarangan rumahnya. Setiap pagi aku bertugas memanen dan menjemur bunga-bunga telang itu. Lalu ada seorang pemuda anggota kelompok petani muda yang akan datang mengambilnya. Mereka akan membuat aneka produk olahan dari bunga telang, mulai dari membuat bubuk pewarna alami yang bisa digunakan sebagai pewarna makanan maupun pewarna tekstil, membuat teh bunga telang, aneka olahan makanan dan minuman berwarna biru dari bunga telang.
Hidup di daerah pedesaan sungguh menenangkan. Udaranya yang sejuk. Hamparan sawah dan lahan pertanian yang hijau memanjakan mataku. Airnya juga masih jernih. Aku sering ikut Lastri anak Bu Ayu ke sungai, mencuci baju di atas bebatuan dan bermain dengan airnya yang bening. Aku menikmati hidup di desa yang semua makanannya bisa diambil dari kebun sendiri. Semua segar.
"Non Tea, tadi ibu ketemu pak Boby. Dia tanyain non"
"Terus ibu jawab apa?"
"Ibu bilang non sehat. Terus dia tanyain non dimana, katanya dia jarang liat non. Terus ibu bilang non sibuk di kebun jadi mungkin jarang ketemu"
"Oh iya bu. Terima kasih" Aku memang menghindarinya, aku tidak mau semakin larut dalam pesonanya.
Namanya Boby, seorang eksekutif muda dari kota metropolitan yang banting setir jadi petani. Aku mengenalnya kurang lebih setahun yang lalu. Kami sama-sama orang kota yang jatuh cinta pada pertanian dan pedesaan. Obrolan kami selalu seru dan "nyambung". | Cerpen Motivasi Para Pendosa Pun Berhak Meraih Masa Depannya
Aku mulai jatuh hati padanya, maka aku memutuskan untuk menghindarinya. Aku takut dikecewakan. Aku takut patah hati.