"Ceraikan aku! Kamu selingkuh, Mas!"
Deg ...! Kata-kata itu kembali terdengar untuk kesekian kalinya.
Deg ...! Kata-kata itu kembali terdengar untuk kesekian kalinya.
Pintu kamar ditutup begitu keras, pikiran dan raga yang kecapean, tak begitu peduli lagi. Bosan dengan tingkah istriku. | Cerpen Sedih Orang Ketiga Yang Membuat Celaka
Secarik kertas, kupenuhi dengan tulisan.
"Di relung hati terdalam, hanya satu nama yang selalu kupuja. Wewangian bunga rupawan menggoda di tiap langkah. Tak bisa bergeming, apalagi pindah ke lain hati. Tarisa! Istriku. Percayalah!"
Love you much
Zayin
Zayin
Melipat surat berwarna putih, menaruhnya di meja rias. Setitik bias pilu, hinggap di dada. Terakhir kali kulihat wajah cantik itu telah terlelap di kamar pengantin yang baru genap setahun.
Langkah terasa berat, seperti tak ingin menapak bumi. Cemburu telah memisahkan cinta kita berdua. Ah, Tarisa. Cinta itu butuh kepercayaan. Curiga membabi-buta telah membawa diri ini, menghilang untuk sementara. Semoga kamu, menyadari.
Mobil melaju perlahan. Rumah di Bogor sebagai tujuan. Kupilih tempat itu agar istriku tak mengetahui di mana kini aku berada.
"Kak, aku mau pulang ke rumah, hari ini."
WhatsApp Kak Ita belum online.
Beberapa waktu kemudian baru ada jawaban.
"Ya, bareng Tarisa juga?"
"Tidak, kami lagi ada masalah."
Kak Itha hanya menulis emoticon marah.
Kubiarkan saja, Kakakku itu, selalu marah dan marah dari dahulu.
WhatsApp Kak Ita belum online.
Beberapa waktu kemudian baru ada jawaban.
"Ya, bareng Tarisa juga?"
"Tidak, kami lagi ada masalah."
Kak Itha hanya menulis emoticon marah.
Kubiarkan saja, Kakakku itu, selalu marah dan marah dari dahulu.
Suasana sunyi sepi merajai hati. Tarisa, mungkin kamu sedang menangis mencariku. Seperti biasa sikapmu yang terlalu manja, buatku jengah. Tak perlu rengekan itu. Sebagai suami aku sangat mengerti, bahwa kita saling mencintai.
Handphone yang sedari kemarin kumatikan, seolah berkata agar aku segera menghubungimu. Kukuatkan, jiwa ini. Meski tiap detik harus kubunuh rasa rindu.
Rumah peninggalan orang tuaku, terasa sunyi. Berbeda dengan dulu, sewaktu ayah dan ibu masih ada. Suasana hangat, menyelimuti rumah sederhana ini. Tangisan para keponakan yang berebut mainan, bawa cerita sebongkah kenangan. Melangkah ke teras, bunga Bougenville kesayangan ibu masih ada, kakakku Ita, sangat perhatian dengan tumbuhan itu.
"Kang, sudah lama datang?" Sebuah suara merdu dari wanita yang lama kukenal. Atika. Senyum manis itu, masih melekat di ingatan. Tak dapat kulupa. Terakhir kali aku merasakan tangisan di dada, ketika cinta tak dapat disatukan dalam mahligai indah. Cinta tiada kunjung dapat restu orang tua. Entah dari mana, dia mengetahui kedatanganku.
"Baru, satu jam yang lalu, Tika," jawabku pendek. Ada desiran aneh, saat kedua mata kami beradu. Ah ... Tika, mata itu sudah memberi percikan lagi, meski kini aku telah berdua.
Di teras, kami berbincang cukup lama. Waktu seakan berjalan cepat. Tika, bercerita tentang kesetiaannya menantikanku, dan kegelisahan yang selalu menghiasi hari-hari. Aku hanya terdiam, tak ada kata untuk kuucapkan. Takut, sesuatu terjadi di saat rumah tanggaku dalam keadaan bermasalah begini. Tika, tertunduk diam, dia kecewa saat tangannya kutepiskan pelan. Seandainya kamu tahu sayang, ingin kurengkuh dan kuberkata, 'aku tetap sayang kamu." Tak ada nyali untuk berbuat itu, hanya tatapan rindu yang menggebu sisa cinta yang kemarin.
Senja mulai merangkak kelam, Tikaku yang manis, berpamitan. Aku hanya menatap dan tersenyum lembut sebagai tanda simpati atas keadaannya. Tak kusangka, dengan cepat dia memelukku. Hasrat sebagai lelaki, tak dapat mengelak. Aku masih mencintainya. Dibiarkan saja pelukan hangat itu, terdengar dari bibirnya yang mungil, 'Mas Zayin, aku tetap mencintaimu." Bisikan itu begitu hangat dan indah terasa. Benar-benar membuat pikiranku melayang.
"Eheem ... !" Satu suara terdengar, mengejutkan. Pelukan Tika pun, berangsur lepas. Gadis itu memerah wajahnya.
"Zayin, kapan datang." Kak Ita datang dari pasar dengan begitu banyak belanjaan. Tak sedikitpun matanya menatap Tika. Gadis itu memberi isyarat pergi, diiringi anggukkan dariku.
"Barusan, Kak."
"Tak semestinya kamu berbuat semacam itu, tak pantas."
"Maaf, Kak. Kami hanya bicara saja," sahutku dengan perasaan agak malu.
"Bicara dan berpelukan?"
"Itu, di luar dugaan, aku tak bisa menolaknya."
"Ya, begitulah lelaki, termasuk adikku sendiri, bersenang-senang di belakang istri."
Tak ada jawaban, terdiam, hanya gamang terus merajai hati. Aku mencintai Tarisa, juga menyayangi Atika.
Secangkir kopi hitam kesukaanku dan pisang goreng keju tersaji di piring. Ini yang kusukai darinya, biarpun marah tapi tak pernah melupakan makanan dan kesehatan adiknya.
Secangkir kopi hitam kesukaanku dan pisang goreng keju tersaji di piring. Ini yang kusukai darinya, biarpun marah tapi tak pernah melupakan makanan dan kesehatan adiknya.
"Sebenarnya, di mana letak permasalahan kalian," tanyanya dengan tatapan mata tajam.
"Hanya sepele, Kak. Tarisa terlalu cemburuan. Aku tak kuat."
"Wanita, tak mungkin segitu cemburu, kalau kamu yang tidak memulai."
"Pekerjaanku memang diharuskan bertemu wanita cantik, dan ditambah wajah adikmu yang ganteng ini, pasti banyak yang menyukai, Kakakku."
"Dasar, kamunya saja yang genit, sudah dipilihkan wanita yang pas untukmu, masih saja menyukai yang lain."
"Wajarlah Kak, aku lelaki normal."
Wajah kak Ita terlihat menahan geram. Jarinya berhasil menjewer telingaku, sialnya, aku tak dapat menghindari. Panganan buatannya telah membuai lidahku. Jadilah aku makan sambil meringis kesakitan.
Wajah kak Ita terlihat menahan geram. Jarinya berhasil menjewer telingaku, sialnya, aku tak dapat menghindari. Panganan buatannya telah membuai lidahku. Jadilah aku makan sambil meringis kesakitan.
"Kakak, tak mau tahu. Besok, jemput Tarisa ke sini. Titik." Kak Ita yang otoriter tak bisa dibantah. Aku selalu menuruti apa maunya, termasuk menikah dengan wanita yang dia jodohkan untukku. Aku tahu, Kakakku tak akan membuat hidup adiknya menderita.
Pagi menjelang siang, matahari menyelinap di antara celah jendela. Mata yang agak sepet kubuka, setelah semalaman susah untuk memicingkan mata walau untuk sejenak.
Memaksakan diri untuk berlari kecil di taman, sekedar untuk menyegarkan badan.
"Halo, Mas Zayin." Atika menyapaku.
"Halo juga, Atika manis."
Melihat Atika yang menggemaskan, membuatku terlupa akan Tarisa. Tak dapat dipungkiri, Atika belahan jiwaku semenjak SMA. Sayang, dia bukan berdarah biru seperti keluargaku, hingga cinta kami tak dapat bersatu. Jujur, aku nyaman dengannya, tak pernah menampakkan cemburu walaupun pacarku yang bejibun. Dulu, dia pernah berkata untuk menjadi istri keberapapun yang kumau. Asalkan aku menjadi miliknya. Kata itu tak pernah kupercaya, mana mungkin seorang wanita bersedia diduakan. Pembicaraan kami ngalir, satu jam sudah jogging kecil itu kami lakukan sambil bercanda satu sama lain. Rasanya seperti memutar memori setahun yang lalu. Setelah cape berolahraga, semangkuk bubur ayam, mengisi perut. Sebelum berpisah, kami saling bertukar nomor handphone, lega rasanya. Selanjutnya biar waktu yang berbicara. | Cerpen Sedih Orang Ketiga Yang Membuat Celaka
"Halo juga, Atika manis."
Melihat Atika yang menggemaskan, membuatku terlupa akan Tarisa. Tak dapat dipungkiri, Atika belahan jiwaku semenjak SMA. Sayang, dia bukan berdarah biru seperti keluargaku, hingga cinta kami tak dapat bersatu. Jujur, aku nyaman dengannya, tak pernah menampakkan cemburu walaupun pacarku yang bejibun. Dulu, dia pernah berkata untuk menjadi istri keberapapun yang kumau. Asalkan aku menjadi miliknya. Kata itu tak pernah kupercaya, mana mungkin seorang wanita bersedia diduakan. Pembicaraan kami ngalir, satu jam sudah jogging kecil itu kami lakukan sambil bercanda satu sama lain. Rasanya seperti memutar memori setahun yang lalu. Setelah cape berolahraga, semangkuk bubur ayam, mengisi perut. Sebelum berpisah, kami saling bertukar nomor handphone, lega rasanya. Selanjutnya biar waktu yang berbicara. | Cerpen Sedih Orang Ketiga Yang Membuat Celaka
Seminggu sudah, tinggal di Bogor. Atika seperti hantu cantik yang selalu ada di manapun aktivitas sedang kulakukan.
Bahagia mewarnai hidupku, kemesraan sepasang kekasih layaknya dulu kembali terjalin. Sesaat bibir kami bertautan.
Bahagia mewarnai hidupku, kemesraan sepasang kekasih layaknya dulu kembali terjalin. Sesaat bibir kami bertautan.
"Maass ...!!!" Tarisa sudah tepat di depanku.
Gelagapan jadinya, bingung apa yang harus dilakukan.
"Rasain, kamu." Tamparan keras menghinggapi pipiku. Terasa panas sedikit.
Tarisa begitu marah, di sampingnya ada Kak Ita, berkacak pinggang. Jiwaku rasanya terancam saat itu.
Atika menjerit ketika aku dipaksa pulang, 'maafkan Mas, Tika. Kita berpisah saja.' gumamku sebelum pergi
Seminggu kemudian tak ada kabar dari Tika ku, nomor itu sudah dibuang Tarisa. Ah ... coba kusalin waktu itu, dengan begitu, aku bisa mendengarnya suara itu kembali.
Waktu berjalan begitu cepat. Profesi sebagai fotografer masih kujalani. Tarisa mulai mengubah sifatnya, tak pernah lagi cemburu buta. Wanita itu semakin menyayangi aku. Aku kembali bahagia. Petuah dari Kak Ita, benar-benar mempan untuknya. Perhatian dan kesabaran Tarisa membuat aku jatuh cinta. Dua buah hati hadir, menyemarakkan cinta kami.
"Mas, maafkan atas kekeliruan Tarisa selama ini, aku telah menggenggam kamu layaknya pasir dengan begitu keras," bisiknya dengan bergelayut manja di bahuku. Aku cuma tersenyum dan menganggukan kepala, tanganku tak kuasa untuk membelai pipinya yang putih mulus. Ini cinta, yang dipersatukan Tuhan untuk kami. Aku sangat bersyukur atas keadaan ini.
Tahun demi tahun kujalani, tak pernah terbersit sedikitpun untuk menemukan wanita lain, terutama Atika, mantanku.
Sampai pada suatu waktu, Atika menemuiku di kantor. Sebagai model terpilih klienku. Penampilan yang jauh berbeda dari sebelumnya.
"Apa kabar, Mas? Aku, jadi model kosmetik Pak Hans." Matanya begitu memesona.
"Baik, Tika. Bagus tuh," ujarku pendek dan dingin.
"Dunia ini, memang sempit untuk kita." Kata-kata Tika tak kupedulikan. Sekelebat wajah Tarisa dan kedua anakku menghalangi untuk memandangnya.
"Iya. Mari kita diskusikan proyek ini."
"Ok, Bos. Mas, kamu ga kangen sama aku?"
" Sudahlah, Tika. Kita bicara bisnis saja," ungkapku berusaha menahan godaannnya.
Meeting bersama Tika dan team sudah matang, konsep yang dicari sudah didapatkan. Parasnya yang manis, begitu kamera face. Aku takut goyah lagi, tak mau mengkhianati cinta Tarisa. Rinduku memang masih ada untuknya, tapi cinta? Tak dapat ku bagi. Tarisa telah menempatkan dirinya di ruang itu. Tak setitik pun, tempat yang tersisa untuk wanita lain.
Iklan kosmetik mendapat rating tertinggi di televisi dan majalah. Syukuran atas suksesnya proyek ini diadakan cukup meriah, foto-foto pun bertebaran. Merasa tak ada masalah, aku mau saja berfoto dengan Tika, toh hatiku tetap setia untuk Tarisa.
Sebulan dari proyek itu, tak pernah kutemui Atika lagi, mungkin kesibukan sebagai model, telah membuat dia melupakan aku. Aku bersyukur Tarisa tak mengetahui pertemuan itu.
Bisnisku melaju pesat, Kak Ita pun sudah dinaikkan haji, tinggal aku saja sekeluarga yang belum, menunggu kesiapan imanku dulu. Anak-anak menginjak remaja. Semuanya hidupku bahagia.
"Tak terasa ya Mas, kita bisa mengarungi rumah tangga sampai sekarang." Bisiknya lembut.
"Iya, dong. Cinta Mas, hanya untuk kamu seorang," jawabku sambil mencubit hidungnya yang mancung.
"Terima kasih, Masku sayang. Mau menemani hidupku dan menerima aku apa adanya."
"Jelas lah, Mas kan pelindungmu." Narsisku mulai kumainkan. Terkadang Tarisa suka banget kalau aku membangga-banggakan diri. Cinta telah memberikan bahagia untuknya. Apa pun yang kulakukan selalu didukungnya. Rasa malu, sering menghinggapi, mengingat kesilapan lalu.
Di senja itu, ulang tahun pernikahan kami, sekotak perhiasan emas sudah dipersiapkan. Ini pernikahan yang ke dua puluh tahun. Dengan semangat kubuka pintu yang terbuka sedikit tanpa mengucap salam. Aku ingin memberikan kejutan.
"Sayang, kamu di mana?"
Mataku terbelalak, Tarisa bersimbah darah di dapur dengan luka menganga di lehernya. Satu fotoku dengan wanita lain, dan sebentuk anting yang sangat kukenal, berada di samping jenazah istriku. Itu anting, hadiah untuk Tika dahulu. | Cerpen Sedih Orang Ketiga Yang Membuat Celaka