Pagi ini kediaman Pak Burhan begitu ramai tak ubahnya pasar kaget. Warga kampung berbondong-bondong datang ke rumahnya. | Cerpen Misteri Niat Buruk Di Balik Sikap Dermawannya
Ternyata baju-baju bekas Pak Burhan dan istrinya dijajakan di halaman rumah. Mereka memberikan baju itu dengan cuma-cuma tanpa memungut uang sepeser pun dari warga.
Warga kampung begitu tergiur dengan pakaian mahal dan masih layak pakai bekas keluarga Pak Burhan. Tak terkecuali Mak Ijah. Wanita tua itu ikut berebut mengambil baju meski tubuhnya terasa sesak melawan kerumunan warga.
"Mak ini ngapain sih ikut-ikutan ke sini? Sebaiknya Mak diam saja di rumah. Badan Mak udah rapuh," ujar Ceu Niam menyikut Mak Ijah.
"Enggak! Kamu pikir badan Mak ini sudah benar-benar lemah apa? Mak akan tetap ikut memilih baju. Lumayan buat dipakai sehari-hari. Mak juga butuh baju untuk pergi ke sawah," jawab Mak Ijah bersungut.
"Ah, terserah Mak aja deh. Mak ini memang keras kepala," tukas Ceu Niam ketus.
Mak Ijah tidak menggubrisnya, dia lanjut mengambil baju-baju bekas istri Pak Burhan. Semburat kebahagiaan terpancar di wajahnya. Baginya, jarang sekali ada orang kaya di kampung yang dermawan membagikan pakaian kepada warga sekitar.
Setelah mendapat beberapa baju yang layak pakai, Mak Ijah mengantunginya ke dalam keresek. Tak lupa, dia menghampiri si empunya rumah sebelum bergegas pulang.
"Pak ... Pak Burhan," sapa Mak Ijah gugup.
Pak Burhan yang semula menatap kumpulan orang di depan rumahnya menoleh ke Mak Ijah.
"Ada apa, Mak?" tanya Pak Burhan tersenyum ramah.
"Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih banyak sama Bapak," ucap Mak Ijah merendah.
Pak Burhan menepuk bahu Mak Ijah dan berkata, "Mak Ijah tidak usah sungkan. Saya justru sangat senang kalau Mak bisa menerima baju itu. Pakailah, Mak. Mudah-mudahan baju itu bermanfaat buat Mak."
"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Pak. Semoga kebaikan yang Bapak berikan pada kami dibalas oleh Yang Maha Kuasa dan selalu diberi rezeki yang melimpah." Mata Mak Ijah berbinar.
"Aamiin," ucap Pak Burhan semringah.
"Kalau begitu, saya pamit, Pak," pungkas Mak Ijah.
"Iya, Mak."
Mak Ijah pun beranjak dari rumah megah milik Pak Burhan. Sepanjang jalan dia tidak henti-hentinya melimpahkan rasa syukur. Tak peduli itu barang yang didapaktkannya itu bekas ataupun masih baru, Mak Ijah tetap menerimanya dengan tangan terbuka.
Mentari pamit, langit diselimuti kegelapan malam. Mak Ijah segera mengunci setiap pintu rapat-rapat. Takut ada pencuri masuk dan mengambil barang berharganya. Setelah suaminya meninggal, dia hidup sebatang kara. Semua anaknya sudah menikah dan tinggal di kota bersama suaminya.
Sebelum tidur, Mak Ijah menyimpan baju yang didapatkan dari rumah Pak Burhan ke dalam lemari. Tak lupa, dia memadamkan lampu ruang tengah dan kamarnya. Mak Ijah tak terbiasa tidur dalam keadaan terang. Wanita yang telah renta itu selalu gelisah kalau lampu di kamarnya belum padam.
Mak Ijah langsung memejamkan mata tatkala rasa kantuk menghinggapi. Hingga tak terasa dia larut ke dalam mimpi dengan nyenyak.
Seiring tik-tok waktu yang berlalu, terdengar suara gaduh dari dapur. Mak Ijah yang semula terlelap tiba-tiba terenyak sejenak. Namun, saat Mak Ijah terjaga, perlahan suara gaduh itu hilang.
"Ah, mungkin cuma tikus," gumamnya.
Mak Ijah membalikkan badannya menghadap tembok. Matanya dipejamkan sampai kesadaran perlahan lenyap menuju alam mimpi.
Namun, sebelum Mak Ijah benar-benar hanyut ke dalam mimpi, lagi-lagi terdengar suara langkah kaki mendekat menuju kamar. Bulu kuduk wanita tua itu merinding. Hawa dingin yang menusuk menyeruak sekujur tubuhnya. Ditariknya selimut yang menutupi sebagian badan, lalu dia benamkan wajahnya ke bantal.
Mak Ijah dirundung gelisah. Napasnya memburu, jantungnya berdebar tidak karuan. Keringat dingin meluncur dari dahinya akibat ketakutan yang membelenggu dirinya. Wanita tua itu tak kunjung lelap dalam tidurnya.
Di tengah senyapnya suasana kamar, terdengar suara pintu lemari dibuka. Mak Ijah terkesiap lalu membalikkan badan. Mencari tahu siapa yang membuka lemari bajunya.
Saat membuka mata, seketika Mak Ijah terbelalak mendapati sosok aneh di dekat lemari bajunya. Samar-samar, terlihat makhluk seperti kera berukuran sedikit lebih besar dari manusia dan badannya sedikit bungkuk. Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu yang sangat lebat. Sesekali makhluk itu menggeram tak ubahnya harimau.
Tubuh Mak Ijah menggelepar hebat dibuatnya. Suaranya tercekat di tenggorokan sehingga sulit untuk berteriak meminta pertolongan. Dia hanya bisa bernapas berat sembari melihat makhluk aneh yang mengobrak-abrik isi lemarinya. Merapal doa semampunya dan berharap siluman itu tidak menyadari sedang diawasi.
Setelah cukup lama, makhluk berbadan besar itu akhirnya mendapatkan sesuatu yang dicari. Dia mengambil beberapa pakaian lalu membalikkan badan. Sekilas Mak Ijah melihat matanya melotot memancarkan sinar merah dan memiliki moncong seperti anjing. Bertaring panjang serta lidahnya menjulur sampai lantai.
Mata Mak Ijah tetap membelalak. Napasnya masih terengah-engah memperhatikan siluman yang berjalan keluar kamar. Wanita tua itu sedikit lega dan kembali menutup mata.
Namun, berselang berapa menit, tiba-tiba Mak Ijah merasakan tubuhnya digoyang-goyang dengan kasar oleh tangan berbulu yang berukuran lebih besar.
Mak Ijah seketika panik dan enggan membuka matanya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Mulut wanita tua itu tidak berhenti komat-kamit membaca doa.
"Ya Allah, tolong selamatkan saya dari makhluk ini. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pelindung yang tidak pernah tidur," gumam getir Mak Ijah di dalam hati. | Cerpen Misteri Niat Buruk Di Balik Sikap Dermawannya
Sementara itu, siluman kera masih menggoyang-goyang tubuh renta Mak Ijah. Mulutnya menganga lebar seperti hendak menerkam tubuh wanita tua itu, tetapi tak lama kemudian dia melepaskan cengkeramannya. Tiba-tiba tangannya terasa panas oleh sesuatu yang entah dari mana asalnya.
Akhirnya makhluk itu benar-benar keluar dari kamar Mak Ijah dan tidak kembali lagi. Perlahan Mak Ijah merasa lega meski hatinya masih cemas. Berharap kalau kejadian itu hanya mimpi buruknya belaka.
Azan subuh berkumandang, Mak Ijah mulai terjaga. Saat bangkit dari tempat tidur, dia mendapati bajunya berserakan dan pintu lemari terbuka. Mak Ijah terenyak dan buru-buru menyalakan lampu kamar.
"Astagfirullah ... j-jadi yang semalam itu bukan mimpi?!" Mak Ijah terkejut bukan kepalang. Tangannya memunguti satu persatu baju yang berserakan.
Sejenak dia menengok isi laci tempat barang berharganya disimpan. Syukurlah, emas dan uangnya tidak ada yang hilang sama sekali. Keadaannya masih tetap utuh. Namun, ada satu hal yang aneh. Mak Ijah tidak menemukan baju bekas pemberian Pak Burhan.
Seiring mentari meninggi, kabar duka tersebar di seluruh penjuru kampung. Dua warga yang kemarin mendapatkan baju pemberian Pak Burhan meninggal dunia. Salah satunya Ceu Niam. Dia meninggal saat masih memakai baju yang didapatkannya kemarin.
Mendengar kabar itu, Mak Ijah terkejut. Dia masih tidak percaya kalau orang yang kemarin menyikutnya telah tiada. Awalnya Mak Ijah merasa heran mengapa Ceu Niam bisa meninggal mendadak begitu. Padahal dia tidak menderita penyakit apa pun sebelumnya. Namun, saat teringat kembali akan kejadian semalam, Mak Ijah seketika terperangah. Apa mungkin baju itu dijadikan sebagai perantara untuk mendapatkan tumbal?
Mak Ijah langsung pergi melayat bersama warga kampung lain. Sepanjang perjalanan, mereka bercerita banyak tentang Ceu Niam.
"Kasihan anak Ceu Niam. Dia harus kehilangan seorang ibu di usia muda," ucap Sumi di samping Mak Ijah.
"Sebaiknya kita doakan saja supaya keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan oleh Yang Maha Kuasa," ujar Mak Ijah menatap kosong.
"Iya, Mak."
"Oya, Neng Sumi. Apa Eneng kemarin ikut memilih baju di rumah Pak Burhan?" tanya Mak Ijah.
"Iya, saya juga mengambil satu kaus untuk suami saya. Memangnya kenapa, Mak?" Sumi mengernyitkan kening.
"Apa Neng Sumi tidaek mengalami kejadian aneh semalam?"
Sumi menggelengkan kepala. "Tidak, Mak. Hanya saja setelah suami saya mencoba kaus itu, tadi pagi pas bangun tidur dia malah bilang kalau sekujur tubuhnya terasa remuk seperti sudah dikeroyok orang. Padahal kemarin dia bekerja tidak terlalu berat."
"Hm, apa mungkin Pak Burhan sudah menjampi-jampi baju bekasnya untuk mendapatkan tumbal?"
"Ah, Mak ini bicaranya suka melantur. Memangnya di zaman sekarang masih ada yang suka ngipri dan melakukan pesugihan? Pak Burhan itu pengusaha sukses. Mana mungkin dia melakukan hal kuno semacam itu," tampik Sumi terkekeh.
"Siapa tahu saja, kan?"
"Sudahlah, Mak. Tidak baik berprasangka buruk sama orang lain."
Saat melintas di depan rumah Pak Burhan, dugaan Mak Ijah semakin kuat. Si pemilik rumah diketahui sudah pergi ke kota sejak kemarin malam. Wanita tua tidak habis pikir kalau orang sebaik Pak Burhan memiliki niat buruk di balik sikap dermawannya. | Cerpen Misteri Niat Buruk Di Balik Sikap Dermawannya