Langkah Keyakinan Hidup Gadis Belia

Priiiit! | Cerpen Motivasi Langkah Keyakinan Hidup Gadis Belia

Suara nyaring peluit terdengar, memberi tanda bahwa pertandingan bola antar kesebelasan remaja putri, kembali dimulai. Pertandingan telah berjalan lebih dari setengah jam, dengan kedudukan masih sama, kosong-kosong.

Sebuah tendangan keras membuat bola kulit berwarna putih itu, langsung melayang tinggi, memasuki daerah lawan. Beberapa kali bola dioper, berpindah-pindah kaki. Terus merambah daerah pertahanan lawan. Hingga akhirnya hadangan ketat lawan menghentikan laju bola.

Sesaat pemain itu menoleh kebingungan. Rekan-rekan lainnya masih di belakang. Yang berada dalam jangkauan, telah dijaga ketat oleh pemain lawan.

Mendadak sesosok gadis belia berlari cepat menerobos pertahanan lawan. Tangannya melambai, memberi tanda. Pemain itu mengangguk. Bola ia tendang kuat, melayang menuju gadis belia itu.

Dengan sigap gadis itu menerima bola. Tanpa membuang waktu lagi, ia berlari kencang, secepatnya menggiring bola ke daerah penalti lawan. Penonton seketika riuh bersorak memberi semangat.

"Ayoo, Asaaaa!"

"Cepaat, Asaaa!"

"Asaa! Asaa! Asaaa!"

Sorak dukungan bagaikan siraman minyak yang mengobarkan semangat si gadis. Kedua kakinya makin cepat berayun, lincah menggiring bola mendekati gawang lawan.

Pemain belakang lawan tentu saja tak tinggal diam. Dua orang gadis bertubuh lebih besar, menyongsong gadis belia itu. Salah seorang pemain lawan yang tiba lebih dulu, mencoba merebut bola. Namun dengan lincah, Asa memutar tubuh, menghindari lawannya itu, sembari menendang bola ke sela-sela kaki lawan. Lawan hanya mampu melongo, terkecoh aksi lincah si gadis!

Bola kembali digiringnya, makin mendekati gawang. Pemain belakang lainnya tampak geram melihat keberhasilan gadis itu mengecoh rekannya. 'Aku pasti bisa menghentikanmu!' seru batinnya gusar.

Mereka pun berhadapan, saling adu kelincahan kaki, memperebutkan si kulit bundar. Beberapa saat, lawan belum juga mampu merebut bola itu. Rasa geram kian menjadi. Dengan sengaja, ia membenturkan bahu sekuatnya ke bahu Asa, berusaha membuatnya terdorong jatuh!

Asa menyadari. Namun ia tidak menghindari serangan lawannya itu. Malah, dengan sengaja, balas membenturkan bahunya ke bahu lawan!

'Dikira aku lemah, ya?!' batinnya mengejek, 'ayo, kita adu kuat!'

Buuk!

Kedua bahu itupun beradu dengan keras!

"Aaah!"

Disertai pekikan kesakitan, alih-alih menjegal, malah tubuh lawan yang lebih besar itu terdorong hingga jatuh terduduk!

Asa tersenyum puas. Secepat kilat ia melanjutkan larinya, menuju gawang lawan yang kini telah di depan mata.

Kiper lawan tampak sedikit gugup, memprediksi arah tendangan gadis itu.

Asa menarik napas panjang. Lalu ia hempaskan, seiring kaki kanan yang terayun menendang bola sekuatnya ke gawang lawan.

Goool!

Teriakan gemuruh membahana, kala bola mengguncang jaring gawang!

Gadis belia itu bersorak gembira. Binar kepuasan tersirat di wajah cantiknya. Rekan-rekan kesebelasannya berlarian menghambur, memberi pelukan selamat, penuh suka cita.

Sesaat pandangan Asa terpaku pada lawan yang tadi beradu bahu dengannya. Lawannya tampak bangkit dengan wajah gusar. Asa tersenyum, melangkah menghampiri, bermaksud mengulurkan tangan damai.

Namun lawannya malah melotot garang, disertai mulut mengumpat kasar, "huh! Dasar anak preman! Gak punya aturan! Sok jagoan!"

Asa terperanjat mendengar makian itu. Setengah tak percaya, ia memastikan, "ngomong apa kamu tadi?"

"Dasar anak preman!" Lawannya kembali memaki seraya mendekat, menantang.

"Tolong jaga omongannya, ya! Punya sopan santun, gak?"

"Huh! Sama anak preman, buat apa pakai sopan santun segala?!"

Asa kini meradang. Emosinya tersulut. Namun ia masih menyadari tengah berada dalam suatu pertandingan. Ia coba meredamnya, seraya melangkah menjauh. Namun lawan rupanya belum puas.

"Yah, kabur! Dasar anak preman pengecut!"

Seketika emosi gadis belia itu berkobar! Dengan cepat ia membalikkan tubuh, menghampiri lawan.

"Gak bisa jaga mulut, kamu ya?!" bentaknya marah.

'Kenapa?! Nggak terima?! Sinih maju kalo berani! Dasar anak preman!"

Buuk!

Tinju Asa menjawab tantangan itu. Gadis lawannya mengaduh, terhuyung-huyung. Lalu balas memukul!

Buuk!

Buuak!

Pukulan demi pukulan pun saling dilontarkan!

'Heiii! Hentikaan!"

"Hooi! Jangan berkelahi!"

Priiiit! Priiiit! Priiiiiiit!

Suara peluit wasit melengking nyaring, menghentikan keributan.

***

"Kamu udah bener-bener keterlaluan! Ini yang keempat kalinya kamu berkelahi, dalam satu bulan! Kakak ngajari kamu karate, bukan untuk jadi tukang berkelahi! Tapi untuk menjaga diri kamu, sebagai anak perempuan yang lebih banyak menghadapi resiko dalam hidup! Ini malah ..., digoda sedikit, main hantam! Diledekin sedikit, main pukul! Diganggu sedikit, main sikat! Mau jadi apa kamu, Sa?! Ingeet, kamu itu anak perempuan!" omelan kakak lelakinya bagai peluru mesin yang tak henti-henti ditembakkan.

Asa hanya diam menunduk. Bukan membenarkan omelan kakaknya, tapi ia lebih memilih diam saat kakaknya itu memarahi. Kakak yang menggantikan ibu, yang telah damai di surga, untuk mengasuhnya. Kakak yang menggantikan ayah, yang jarang bertatap muka karena sibuk mencari rejeki di kota lain nan jauh, untuk menjaganya. Tidak! Asa tak mau membantah ucapan kakaknya itu, meski ia punya alasan yang benar.

"Lihat! Akibat perbuatanmu, kesebelasanmu terkena sanksi. Dan pelatihmu mesti membayar denda atas kesalahanmu. Wajar saja bila mereka marah dan mengeluarkanmu dari tim sepakbola. Apa itu yang kamu mau?! Kamu 'mbikin malu kakak aja!" Masih saja sang kakak melampiaskan amarahnya.

Asa menghela napas dalam-dalam. Perlahan ia bangkit, melangkah ke pintu rumah.

"Heiii! Mau kemana kamu? Kakak belum selesai bicara!"

Asa menoleh. "Maaf, Kak. Kepalaku pusing. Otakku panas. Banyak masalah menumpuk sejak siang tadi. Sekarang malah ditambahi omelan kakak. Aku gak tahan."

Kakaknya menghela napas panjang. "Salah kamu juga, sih! Trus kamu mau kemana? Udah malam ini!" ucapnya seraya melirik jarum pendek jam dinding yang menunjuk ke angka delapan.

"Cuma keluar sebentar. Cari udara segar buat mendinginkan kepala," jawab Asa sambil melangkah keluar.

"Jangan jauh-jauh, Sa! Jangan sampai kemalaman, ya! Sebelum jam sembilan, kamu udah harus di rumah! Denger, gak?!"

Asa tak mempedulikan seruan kakaknya itu. Kaki jenjangnya terus melangkah, membawa tubuh menembus malam.

***

Asa termenung di tepi hamparan sawah yang tampak menghitam. Sinar rembulan tak menerangi, seakan enggan mengusik kesendirian gadis belia itu. Matanya menerawang jauh, entah apa yang ia tatap. Karena pikirannya pun melayang, tak terfokus pada apa yang ia lihat.

'Kenapa aku selalu begini? Mengapa mesti kualami? Apa salahku? Apa yang harus kuperbuat?'

Berjuta pertanyaan memenuhi benak. Hanya pertanyaan ... karena ia tak tahu jawabannya. Pun tak ada tempat untuk mencari jawaban. Tak ada orang yang mengerti, dapat menentramkan hatinya yang risau. Terasa kesendirian ini menyiksanya | Cerpen Motivasi Langkah Keyakinan Hidup Gadis Belia

'Andai saja ....'

Matanya menatap langit kelam. Nun jauh di sana, seakan seraut wajah menatapnya dengan senyum kasih sayang.

"Mama ...," bibir indah itu bergetar memanggil, "aku merindukanmu, Ma ...."

Perlahan bening menebar, mengaburkan mata.

"Aku rindu pelukanmu ..., belaianmu ..., kasih sayangmu, Mama ...."

Bening itu bergulir menuruni pipi halus. Matanya tak lepas menatap angkasa, mencari sosok yang teramat ia rindukan.

Seakan membalas rintihannya, angin lembut berhembus membelai wajah ... membawa bisikan di relung sukma.

'Kau telah menjadi gadis hebat. Kau tumbuh menjadi gadis yang mengagumkan. Tetaplah membuat bangga Mama, dengan semakin kuat, tabah, dewasa menghadapi hidup.'

Tubuh Asa gemetar dalam keharuan.

"Aku rindu Mama .... Aku ingin Mama ada .... Aku butuh Mama ...," isaknya meminta.

'Mama selalu ada bersamamu. Apa kamu tak merasakan? Mama selalu memelukmu, Asa sayang. Buatlah Mama bangga. Dewasalah, putriku.'

"Mama ...."

'Bahagia itu tak datang begitu saja. Mesti ada perjuangan untuk mendapatkannya. Kau pasti bisa menghadapi semua masalah di hidupmu. Dewasalah, maka kau akan bisa meraih bahagia. Jangan pernah merasa sendiri, karena Mama selalu ada di hatimu.'

Gadis belia itu mengangguk. Perlahan senyumnya tersungging di antara derai air mata.

'Pulanglah, putriku ....'

Asa menyeka air mata yang membasahi wajah. Perlahan ia bangkit.

"Terima kasih, Ma. Aku sayang Mama ...." bisiknya lirih, penuh perasaan.

'Mama selalu menyayangimu, anakku ....'

Semilir angin membelai rambutnya, penuh kasih sayang. Gadis belia itu melangkah pulang, membelah kegelapan malam. Hujan deras menyambut, tepat saat kakinya menginjak lantai teras rumah.

***

Keesokan harinya ....

Asa terbengong di hadapan kakak dan pelatih tim sepakbola yang datang berkunjung ke rumah. Ia masih belum yakin pada apa yang baru saja didengar.

"Iya, Asa. Saya sebagai pelatih, dan juga mewakili teman-teman lainnya, meminta maaf karena telah terburu-buru mengeluarkanmu dari tim, akibat kejadian itu. Yaah, saat pertandingan memang sering kali emosi sulit dikendalikan. Apalagi menghadapi ejekan lawan seperti itu. Juga usia Asa yang masih belia, tidak bisa disalahkan bila cepat meledak emosinya. Yang penting semua persoalan kemarin telah diselesaikan secara baik-baik," ujar sang pelatih, "sekarang, saya dan teman-teman lainnya, meminta Asa untuk mau bergabung kembali dengan tim kami. Bakat dan kemampuan Asa hebat! Sayang bila disia-siakan begitu saja. Kesebelasan kita membutuhkan Asa untuk memperkuat tim. Asa adalah andalan tim kita. Maukah kamu bergabung lagi dengan kami?"

Kakaknya tersenyum bangga menatap gadis belia itu. "Gimana, Sa? Mau gak, tuh?"

Asa tersenyum manis. Namun kegalauan masih membekas di hatinya.

"Maaf, Pak. Saya butuh waktu untuk berpikir, menenangkan diri sejenak setelah kejadian itu. Bapak bisa memberi saya waktu, sebelum saya menjawab permintaan Bapak?"

"Oh, tentu. Saya mengerti kok, apa yang Asa rasakan. Silakan Asa tenangkan diri dulu dan mempertimbangkan permintaan saya tadi. Saya menghargai apapun keputusan Asa nantinya. Dan, kapanpun Asa mau kembali, kami akan menerima dengan senang hati."

"Terima kasih, Pak."

Kakaknya menatap dengan senyum bangga. 'Ah, adikku ini tak sebandel yang aku kira. Ia telah mulai dewasa. Syukurlah. Mama pasti bangga melihatmu, Asa.'

Seakan mendengar kata batin kakaknya, Asa menoleh, tersenyum manis.

'Kau benar, Ma. Bahagia tidak datang begitu saja. Ada perjuangan yang mesti dilakukan untuk meraihnya. Untuk itu, aku harus kuat, tabah. Aku harus menjadi dewasa, agar sanggup melangkah tegar menjalani hidupku. Aku pasti bisa! Lihatlah, Ma! Aku akan selalu membuat Mama tersenyum bangga dari atas sana!' seru batinnya penuh keyakinan.

Angin semilir berhembus, seakan memeluk Asa dengan penuh kasih sayang.

Yakinlah, Asa! Kau tak pernah sendirian. Kasih sayang selalu memelukmu, menyertai setiap langkahmu dalam menjalani hidup. Ayunkan langkahmu dengan penuh keyakinan, hai gadis belia! Tumbuhlah dewasa dalam kebanggaan ayah ibu | Cerpen Motivasi Langkah Keyakinan Hidup Gadis Belia