Diam adalah emas. | Cerpen Sedih Kisah Perjalanan Cinta Sang Mantan Part 3
Tapi tidak dengan Mas Erya. Ketika dia diam, artinya marah. Menghadapi orang yang diam, tidak terkata sulitnya. Semua jadi serba salah. Mau diajak ngomong, takut. Mau dicuekin sepanjang hari khawatir diamnya tak berakhir. Mau diajak bercanda lebih tak berani lagi.
Jujur, sepanjang aku mengenal Mas Erya, diamnya adalah paling mahal buatku. Dulu, pernah Mas Erya marah padaku. Saat tak sengaja aku mencetuskan kata yang rupanya luka untuknya.
"Mas kalau lebih sayang Ibunya Mas, aku pergi saja dari sini. Aku udah gak tahan." isakku ketika itu.
Maklum, pasangan baru. Semua masih serba sulit untukku. Termasuk beradaptasi dengan keluarga Mas Erya. Terutama ibunya.
Balada menantu vs mertua.
Si menantu merasa suami lebih memperhatikan ibunya, si mertua merasa si menantu merebut perhatian anaknya. Aku dengan ego yang meninggi mengklaim bahwa Mas Erya utuh milikku. Tanpa harus berbagi dengan wanita lain. Tak peduli wanita itu ibunya sekalipun.
Aku lupa, tanpa mertuaku, aku tidak akan pernah punya suami sebaik Mas Erya. Aku lupa Mas Erya adalah laki-laki yang tidak boleh melupakan ibunya walau telah beroleh istri.
Aku ketika itu merasa di titik terlemah. Di rumah ayah-ibuku aku layaknya tamu. Keadaan seolah telah jauh berbeda sebelum aku menikah dulu. Bukan karena orangtua yang berubah. Tapi mungkin itu yang dirasakan setiap perempuan yang sudah menikah.
Di rumah mertua seperti orang lain. Mau melakukan apapun serba canggung. Takut salah. Gampang tersinggung. Dan Mas Erya seolah tak memahami posisiku.
Maka keluarlah kata-kata yang menurutku sah-sah saja. Tapi rupanya semacam belati yang ku tancam di ulu hati suamiku.
"Pantaskah kamu berkata seperti itu, Dek?" getir suara Mas Erya. Aku merasakan kegetiran itu, tapi tak peduli. Ego membalut naluriku tanpa celah.
"Aku gak kuat hidup seperti ini."
"Lalu kamu maunya gimana, Dek? Meski sama-sama perempuan, kau dan Ibu berbeda. Bukan dua orang yang harus kupilih salah satu di antaranya."
"Kalau gak mau pilih aku, gak apa-apa. Antar aja aku ke rumah ibuku."
Mas Erya paham, memintanya mengantarku ke rumah ayah-ibuku, adalah kata lain minta cerai. Mas Erya bungkam. Mulutnya mengatup tajam. Bahkan rahangnya mengeras dan bergetar.
Mungkin langit juga sedang memurkaiku yang begitu mudahnya menyerah pada pernikahan kami.
"Kalaupun kamu minta cerai, talak tetap aku yang berhak menjatuhkan. Mas beri kamu waktu seminggu untuk memikirkannya berulang-ulang. Kalau niatmu sudah tidak goyah lagi, Mas akan melepaskan kamu, Dek."
Ternyata mendengar kata terakhir Mas Erya lebih menyakitkan daripada sikap mertuaku selama ini. Mendengar ia akan melepaskanku, seluruh auraku menolak serentak. Aku tidak siap dilepaskan begitu saja.
Perempuan memang aneh. Antara hati atau keinginan sering saling menghianati dengan ucapan. Kalau saja Mas Erya paham, saat itu aku hanya ingin dibujuk. Dirayu atau sekedar dikibuli dengan kata-kata : apapun yang terjadi, aku pilih kamu.
Mas Erya tidak berkata seperti yang kuharapakan. Hanya menyuruhku berpikir selama seminggu.
Lalu apa yang aku rasakan selama seminggu setelahnya?
Penderitaan tiada kira.
Bagaimana tidak, Mas Erya hanya berlaku diam.
Diam!
Apapun yang kulakukan atau kuucapkan hanya di respon tatapan membingungkan. Aku tidak tahu Mas Erya betul-betul marah atau hanya sekedar mengerjaiku.
Lalu aku paham, Mas Erya memang sedang menghukumku. Ia berhasil. Aku jera. Dengan isak panjang, aku meminta maaf dengan tulus. Bahwa aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi.
Maaf kuperoleh dengan tulus pula. Setelah seminggu lebih berhasil membuatku persis perempuan bodoh yang menyesal, Mas Erya memelukku. Sepanjang malam.
Dulunya sempat aku berceloteh, bahwa aku lebih suka ia marah-marah saja dari pada harus diam. Aku merasa tersiksa di diamkan. Mas Erya berkata justru aku akan lebih merasa tersikasa jika dimarahi.
"Ngapain harus marah-marah. Gak baik. Kalau kita marah otak akan mengeluarkan hormon noradrenalin. Itu beracun. Dan membuat pembuluh darah menyempit. Rugi dong Mas kalau harus marah-marah sama istri."
Aku manggut-manggut. Tersenyum.
"Lagipula marah itu apinya syetan. Mau mas menyemburkan api setan ke kamu, Dek?"
Tentu saja tidak. Dan sejak itulah aku memaknai Mas Erya selalu menahan marahnya dengan diam. Dan yang paling ku ingat dari ucapan Mas Erya adalah :
"Berkata-kata ketika marah, kita hanya punya satu tujuan. Membuat seseorang yang kita marahi betul-betul harus sakit hati dengan perkataan kita. Sebab sejatinya marah itu cuma di lima menit pertama. Selebihnya hanya tentang ego."
Lalu bagaimana dengan sekarang?
Setelah beberapa kali memorgokiku berhadap muka dengan Sam, baru kali ini kulihat tatapan Mas Erya untukku terlihat berbeda. Ada rona luka di bening matanya?
Cemburukah Mas Erya?
Buru-buru aku menyusul Mas Erya. Ia duduk di sofa mungil, dan membuka sepatu.
"Mas agak cepat pulangnya?" aku mencoba memancing.
Dugaanku tepat. Mas Erya hanya diam, pura-pura sibuk membuka sepatunya yang mendadak susah dibuka. Aku jongkok di depannya. Membantunya melepaskan sepatu.
Sekaligus ingin minta maaf.
Dengan lembut kubuka kaos kakinya. Kemudian sepatu kirinya. Mas Erya diam. Aku juga.
Setelah membuka sepatunya, aku masih kikuk untuk sekedar mendongak. Takut masih ada marah dan luka di mata Mas Erya. Aku tertunduk dalam.
Satu detik. Dua detik. Masih sunyi. Hitungan detik keempat, aku merasakan sebuah sentuhan di kepalaku. Lembut.
Baru aku berani menegakkan kepala. Kunikmati tatapan Mas Erya yang sudah melunak. Rasa lega dan bahagia merasuki setiap relung jiwaku.
Aku sudah beroleh maaf.
Kuputuskan memijit-mijit kakinya.
"Mas capek?"
Mas Erya manggut.
"Mas harus percaya, tadi itu hanya kebetulan, Mas. Anaknya jatuh, gak ada yang melihat selain aku. Terpaksa aku menghampirinya. Dan tiba-tiba Sam keluar." aku menjelaskan.
Mas Erya agak menepikan kakinya. Membuatku menduga-duga ia kembali marah, hingga tak sudi kupijiti lagi.
Mas Erya meraih tanganku untuk bangkit dan duduk di sampingnya. Dengan isyarat ia menyuruhku memijit kepalanya. Aku tersenyum. | Cerpen Sedih Kisah Perjalanan Cinta Sang Mantan Part 3
Dengan lembut kupijit kepala Mas Erya yang memejamkan mata. "Mas..." "Hm.."
Aku ragu sejenak. Takut waktunya tidak pas. Sejujurnya aku sudah sering memancing Mas Erya untuk pembicaraan ini. Tapi yang kudapat hanya selalu senyuman dan kesan kuat bahwa Mas Erya enggan membahasnya.
Tentang anak.
"Mas tahu kan nama anak Sam Dirga dan Dela."
Mas Erya manggut. Masih dengan mata terpejam.
"Mereka lucu dan menggemaskan ya, Mas."
Mas Erya membuka mata. Menyelidik seauatu di mataku. Kami berpandangan. Lama. Lalu ia tersenyum kecil. Seenaknya kembali memejamkan mata tanpa merespon kata-kataku.
Selalu seperti itu.
Ku pikir Mas Erya suami yang sedikit berbeda dengan kebanyakan laki-laki lain. Saat suami-suami di luaran sana terlalu menunutut hadirnya seorang anak dalam sebuah pernikahan, Mas Erya adem ayem saja. Saat para mertua menuntut diberi cucu, aku pernah diam-diam mendengar Mas Erya dengan tegas meminta ibunya untuk tidak menyinggung pasal anak di depanku.
Ada apa? Apakah Mas Erya tidak menginginkan anak dari pernikahan kami? Kenapa? Ini pertanyaan yang tak pernah kudapatkan jawabannya dalam tiga tahun pernikahan kami.
Bahkan Mas Erya tidak senang jika aku membujuk untuk konsultasi ke dokter. Aku ingin tahu apakah secara medis kami masih berhak punya anak. Ujung-ujungnya demi mendamaikan kegelisahanku, Mas Erya berkata:
"Tahu kan Mas mu ini pencemburu. Nanti kalau kita cepat punya anak, perhatian kamu akan berkurang ke Mas, Dek. Mas belum mau di nomor duakan. Mas masih betah tidur berdua dengan kamu."
Alasan yang tidak logis menurutku. Tiga tahun bukan waktu yang cepat untuk dapat anak.
"Aku ingin punya anak, Mas." ujarku teramat hati-hati. Aku menahan nafas menunggu respon darinya. Ternyata tidak ada tanggapan. Aku agak mendengus.
"Mungkin kalau kita berusaha dengan program, akan dapat hasil Mas. Mungkin Allah sedang nunggu usaha lebih dari kita."
Mas Erya tetap diam. Tuh, kan. Aku selalu saja bingung menerjemahkan diamnya. Marahkah? Tidak dengarkah?
Aku iseng mengetok-ngetok keningnya dengan ujung telunjukku. Berharap ia membuka mata lalu buka suara.
"Sudah setahun lebih kamu gak pernah nyinggung soal anak, Dek."
Itu betul. Karena aku malas melihat Mas Erya selalu enggan.
"Seminggu setelah bertemu Sam dan kamu melihat anak-anaknya yang lucu, kamu tiba-tiba bicara soal anak lagi. Apa ada sesuatu?"
Pertanyaan Mas Erya menohokku. Aku berhenti memijat. Memandang tajam padanya yang masih terpejam.
"Maksud Mas?" suaraku lebih terdengar seperti protes daripada bertanya.
Mas Erya membuka mata. Menatapku tak berkedip.
"Apa kamu cemburu, Dek?"
"Untuk apa? Maksudku pada siapa?"
Mas Erya menghela nafas. Memperbaiki duduknya lebih tegak.
"Bisa saja kamu merasa kalah pada Sam. Saat bertemu ia sudah punya anak, sedang kita tidak. Kamu takut terlihat menyedihkan karena belum punya anak. Dan kamu takut Sam berpikir ia beruntung meninggalkan kamu, karena andai ia menikahimu, kemungkinan ia belum punya anak."
Kata-kata Mas Erya seperti nuklir yang diledakkan secara beruntun di dadaku? Sebelum benar-benar kecewa dan marah aku heran, darimana ia terinspirasi untuk dugaan-dugaannya? Apakah sikapku selama ini sekekanak-kanakan itu?
Kupikir aku tidak senaif itu. Betul aku cemburu dan iri melihat Sam telah punya dua anak. Tapi untuk sampai seperti yang dituduhkan Mas Erya, itu sama sekali tidak benar.
Seburuk itukah aku di mata Mas Erya?
Dadaku sesak. Dituduhkan pada sesuatu yang tidak benar, adalah salah satu luka terdalam. Bagi siapa pun.
Apakah Mas Erya sedang cemburu? Sehingga mencetuskan ide-ide berupa prasangka buruk?
Aku pernah mendengar istilah: cinta itu ibaratnya melihat melalui stetoskop. Artinya mampu melihat hal-hal yang jauh di dalam tubuh. Detak jantung, pernafasan, tekanan darah, semuanya mampu diterjemahkan oleh cinta.
Sedangkan cemburu melihat lewat mikroskop, mampu melihat hal-hal kecil disekelilingnya. Benar tak benar. Nyata tidak nyata, cemburu selalu berusaha menerjemahkan segalanya.
Mas Erya bisa jadi sedang cemburu. Lalu melihat dugaan-dugaan kecil yang belum tentu kebenarannya. Benar, cemburu itu seringkali mendekati buta. Dan memunculkan prangsangka buruk membabi buta.
Aku tidak terima tuduhan tak berasas dari Mas Erya. Jika tadi ia yang merajuk, kini aku yang sedikit marah.
Aku bangkit. Air mataku sudah tidak bisa kubendung. Aku melangkah meninggalkannya. Tapi karena marah dan gugup yang mendera, aku sedikit terlambat. Niatku tak ingin menangis di depan Mas Erya, justru airmataku masih sempat menetes mengenai punggung tangannya.
Aku ke kamar.
Lalu menangis semalaman.
*
Pernikahan memang persis bunga mawar. Indah tapi banyak durinya. Tidak pandai-pandai menghindari duri, terluka berkali-kali.
*
Pernikahan memang persis bunga mawar. Indah tapi banyak durinya. Tidak pandai-pandai menghindari duri, terluka berkali-kali.
Aku masih tidak habis pikir darimana Mas Erya menarik kesimpulan tentang aku.
Benar aku pernah mencintai Sam, dulunya. Tapi tidak lebih besar dan lebih indah dari cinta yang kurasakan pada Mas Erya.
Sepantasnya Mas Erya tidak mengaitkan permasalahan kami pada Sam. Aku hanya ingin berusaha untuk bisa memperoleh anak demi kebahagiaanku dan Mas Erya. Bukan karena takut kalah dari Sam.
Sam itu tak berarti apa-apa padaku. Sama sekali. Bagiku ia sekarang hanya tetangga. Tidak lebih.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku tahu Mas Erya yang masuk. Aku yang tidur memunggungi pintu pura-pura tidur.
"Dek..."
Mas Erya menyentuhku dengan lembut.
Hm. Aku yakin Mas Erya menyesali ucapannya. Pasti mau minta maaf. Kali ini aku berniat tidak akan langsung luluh. Setidaknya Mas Erya harus terima pelajaran, bahwa kata-katanya adalah racun bagi kami.
Lihat saja , Mas. Kamu akan capek dulu baru kumaafkan, batinku mangkel.
"Dek, ada Sam di depan. Ingin bertemu."
Sam?
Aku tergugu dalam tidur pura-puraku.
Aku tidak salah dengar? Sam ada di depan? Ingin bertemu? Dan Mas Erya dengan entengnya menyampaikan berita itu, setelah beberapa jam lalu kami hampir ribut karena mempersoalkan Sam?
Ada apa ini? | Cerpen Sedih Kisah Perjalanan Cinta Sang Mantan Part 3
- Bersambung -