Kisah Pecakor Perebut Cowok Orang

Aku nggak tahu untuk apa kamu bersikap seperti itu. Jika hanya untuk menarik perhatianku, maka selamat. Kamu sudah berhasil melakukannya.” | Cerpen Remaja Kisah Pecakor Perebut Cowok Orang 

-Liana-

“Yeah‼!” riuh suara riang para pelajar SMA Dharma Wijaya di dalam aula lapangan basket ketika terlihat seorang pemain berhasil memasukkan bola oranye ke dalam ring. Tepatnya para pelajar kelas sepuluh. Karena sosok pemain itu adalah salah satu bagian dari tim basket yang mewakili kelas sepuluh.

Liana menatap pemain itu dengan seksama. Tidak ingin sekalipun menoleh ke arah lain. Sekecil apapun kegiatan pria itu di dalam lapangan basket, Liana berusaha untuk tidak melewatinya. Pemain pria itu memang masih kelas sepuluh. Tetapi cara bermainnya tidak bisa di anggap remeh. Keahliannya sudah hampir menyamai kapten dari tim kelas dua belas yang kini tengah menjadi lawannya. Yaitu Deri.

“Yeah‼!” Sekali lagi ruangan kembali riuh. Bukan dari pelajar kelas sepuluh. Melainkan dari para pelajar kelas dua belas. Pasalnya, Deri telah berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Sehingga memberikan angka unggul pada score tim kelas dua belas.

Seketika wajah Liana merengut kesal. Seharusnya dia senang karena Deri, teman sekelasnya berhasil menciptakan nama baik bagi kelas dua belas. Sehingga tidak melahirkan rasa malu jika sampai kalah bertanding dengan adik kelas yang masih baru pertama kali bertanding dengan mereka. Dan dia justru sedih karena sosok yang dia pandangi sedari tadi tidak berhasil menyamai score kelas sepuluh dengan kelas dua belas. Meski sosok itu sudah menjadi pemain unggul di antara pemain yang mewakili tim kelas sepuluh.

“Haduh! Jalan itu lebar. Kayak nggak punya mata aja loe!” bentakkan Dona berhasil mengalihkan perhatian Liana. Liana menoleh ke arah Dona untuk melihat apa yang terjadi.

Liana dapat melihat betapa kesalnya Dona ketika bagian lengan kemeja putihnya basah. Kemudian dia menengok ke arah sosok wanita di samping Dona. Ayu yang tengah membawa segelas kopi di tangannya. Liana menduga bahwa wanita itu sengaja membuat masalah di antara teman-temannya. Hal lazim yang sudah biasa terjadi.

“Oh, gitu ya? Sorry kalau gitu,” balas Ayu dengan melirik sinis. Membuat Dona mulai menggeram kesal.

Dona semakin menggeram kesal ketika dengan sengajanya Ayu menjatuhkan minuman itu ke bawahnya. Sehingga membuat sepatu yang baru Dona pakai pertama kali menjadi basah.

“Ups! Tumpah,” lanjutnya berlagak terkejut sekaligus mengece.

“Loe nggak sopan banget sih, jadi adik kelas!” Dona berdiri dari tempat duduknya. Kesabarannya benar-benar habis hanya karena sikap Ayu seperti biasa. Membuat beberapa pelajar yang sebelumnya fokus kepada pertandingan, justru berbalik dan menoleh ke arahnya.

“Gue bisa sih, sopan sama semua orang. Tapi bukan loe orangnya.” Amarah Dona semakin tersulut mendengar jawaban Ayu. Entah semenjak kapan Dona mengenal Ayu. Yang pasti, sejak awal pertemuan pun, hubungannya dengan Ayu sudah resmi bermusuhan.

“Nggak tahu diri banget sih, loe! Dasar pecokor!” Dona melangkah maju dan menabrak lengan Ayu dengan sengaja. Berusaha pergi sesegera mungkin menuju toilet. Namun langkahnya terhenti karena cekalan Ayu pada tangannya.

“Apa loe bilang?” tanya Ayu dengan emosi yang mulai tersulut karena permainannya.

“PECOKOR! PEREBUT COWOK ORANG!”

Ayu tidak terima dan mengangkat tangannya untuk menampar Dona. Tetapi secara tiba-tiba, tangannya di tepis kasar oleh tangan lain dari arah samping. Dan tidak sampai satu detik, tangan yang menepis tangan Ayu mulai melompat ke atas sehingga mengeluarkan bunyi tamparan dari pipi Ayu.

“Ctaaar!”

Liana menampar Ayu dengan punggung telapak tangannya. Membuat pertengkaran kecil itu semakin panas dan perhatian seluruh pelajar teralih ke arah mereka. Bahkan, pertandingan pun jadi terhenti karena para pemain tertarik dengan suara gaduh yang berasal dari tiga wanita di tengah ruang penonton.

Ayu menoleh ke arah Liana dengan tatapan kesal dan penuh dendam. Tangan kanannya mengusap pipinya yang mulai memerah karena bekas tamparan Liana.

“Gue nggak perlu banyak mulut buat ngasih tahu adik kelas yang nggak tahu diri kayak loe. Gue cuma butuh satu tangan dan harapan bahwa pikiran loe masih waras sehingga tahu mana yang benar dan mana yang salah,” sindir Liana. Kemudian meraih tangan Dona dan bergerak melangkah menjauhi Ayu. Namun, sebelum dia berhasil melangkah jauh, langkahnya terhenti karena cekalan seseorang di belakangnya pada tangannya.

Liana mengenali tangan siapa yang tengah memegang pergelangan tangannya. Dia mengehela napasnya sekali dan mengeluarkannya perlahan. Berusaha siap untuk meladeni kemarahan pria di belakangnya. Liana pun menoleh ke arah pria itu.

“Ctaaar!”

Liana sangat terkejut dibuat pria di depannya. Tangan yang sebelumnya hanya mampu mengelus pipinya dengan lembut, kini sudah berbalik rasa sehingga sampai menampar pipinya dengan kasar.

Liana menoleh ke arah pria itu. Air mata yang sudah dia peringatkan untuk tidak jatuh, kini benar-benar tidak bisa dia tahan. Rasa sakit karena tamparan itu tidak hanya menjulur ke area wajahnya. Justru masuk dan menelusup ke dalam hatinya.

“Berani banget loe nampar Ayu,” ucapnya dengan tatapan sombong. Senang karena berhasil membuat wanita kuat itu rapuh dalam sekejap.

Liana mengusap sisa-sisa air matanya dan berhenti untuk menangis. Dia kembali sadar bahwa sudah tidak seharusnya dia mengeluarkan tangisan hanya karena pria yang sudah berstatus sebagai penyesalan terbesarnya.

“Kenapa gue harus nggak berani?” Liana membuang muka dan tidak ingin menatap pria yang hanya mampu meninggalkan kekecewaan.

“Bilang aja loe sirik!” Pria itu mendorong pipi Liana dengan kasar agar mau menatap matanya yang hanya berisi kebencian.

“Kenapa gue harus sirik? Cuma buat cowok kayak loe? Gue masih waras kali!” Liana tersenyum sinis. Merasa menang karena sekali lagi dia berhasil menyulut kemarahan orang lain selain Ayu.

“Maksud loe apa!” bentak pria itu. Kemudian hendak mendorong pundak Liana sebelum sosok di belakang Liana berhasil mendorong pria itu sehingga terjatuh di depan Liana.

Liana sedikit terkejut dengan kedatangan pria di belakangnya. Liana menoleh ke arah belakang dan mendapati sosok Deri yang sudah berdiri di sana. | Cerpen Remaja Kisah Pecakor Perebut Cowok Orang 

“Loe itu cowok apaan sih, Dan! Beraninya kok main tangan sama cewek,” sindir Deri yang masih berdiri dengan tenang di belakang Liana. Tidak membentak tetapi menyakitkan bagi Wildan.

Wildan bangun dibantu Ayu dari belakang. Ekspresi kesal benar-benar terlukis jelas pada wajahnya saat itu. tangannya mengibas-ibaskan punggungnya untuk membersihkan seragamnya dari debu-debu yang menempeli seragam itu.

“Kenapa Kak Deri jadi ikut campur?” tanya Wildan dengan nada tidak suka.

“Dan loe sendiri? Apa loe juga nggak ikut campur?” Deri tersenyum dan membalikkan pertanyaan Wildan.

“Tapi cewek ini udah berani nampar Ayu!” Wildan masih tidak terima dengan kejadian tadi.

“Dari tadi gue juga bilang. Cuma orang nggak waras yang mau sama Wildan. Benar sama salah aja nggak bisa bedain. Beruntung dia cuma sekedar masa lalu,” sindir Liana membuat Wildan semakin menggeram kesal.

Tanpa memerdulikan bagaimana lagi ekspresi Wildan, Liana segera menerobos tubuh Deri untuk mendekati Dona yang hanya diam saja di belakang tubuh Deri. Dona tidak tahu harus bersikap apa ketika pertengkaran kecilnya dengan Ayu menjadi besar sehingga melibatkan orang-orang terdekatnya. Bahkan, pertengkaran ini mungkin akan menjadi topik gosip di sekolahnya mulai esok hari.

”Sorry banget ya? Gara-gara gue, pipi loe sampai merah gitu,” pinta Dona.

Saat itu, Dona tengah membersihkan sisa-sisa kopi di bagian bahu seragamnya. Sembari menatap Liana dari pantulan kaca toilet di depannya. Tetapi dia sedikit merasa heran. Pasalnya, Liana terlihat jelas bahwa dia sedang baik-baik saja. Tidak ada rasa sedih apapun yang menyelimuti wajahnya. Entah itu nyatanya, atau cuma sekedar menutupinya.

“Biasa aja. Lagian ada masalah apalagi loe sama Ayu? Nggak mungkin kan, kalau Ayu tiba-tiba aja bikin loe malu?” tanya Liana. Dia berdiri dan menjejerkan tubuhnya di samping Dona. Menyenggol bahu Dona sebagai isyarat untuk minggir sedikit ke samping. Memberikan ruang bagi Liana untuk bercermin.

“Kemarin dia ngincer sepatu di mal. Sepatunya cuma ada satu. Dan gue yang berhasil ngambil duluan,” ujar Dona. Dia berbalik arah dan melangkah ke arah kursi panjang di belakangnya. Duduk di sana dan merunduk beberapa senti. Melakukan gerakan membuka tali sepatunya. Berniat untuk membersihkan sepatu baru yang sudah berlumuran kopi hitam.

“Oh. Makanya dia bikin kotor sepatu loe.”

“Loe nggak sedih sama perlakuan Wildan?” Dona menatap Liana yang berbalik ke arahnya dengan tatapan heran.

“Sedih? Buat apa?” Liana kembali berbalik arah dan menatap pantulan dirinya di depan cermin kaca. Melakukan gerakan menyisir dengan jari-jemari tangannya.

“Loe nggak kesal karena dia belain Ayu?”

Liana menaikkan sebelah alisnya. Kemudian menjawab, “Dia kan cuma masa lalu.”

“Eh, gue minta tisu dong. Tisu gue habis,” pinta Dona dengan tangan meminta tanpa memandang Liana di depannya.

“Tisu gue habis juga. Gue ambil di kantin dulu ya?”

Tanpa menunggu jawaban Dona, Liana melangkah begitu saja ke luar toilet. Tangannya masih belum selesai dari kesibukan merapikan seragamnya. Sambil tetap melangkah, dia merapikan jas hitam yang baru saja dia kenakan.

“Cinta memang butuh pengorbanan. Tetapi bukan mengalah di atas pengkhianatan. Aku suka keberanian Kakak.”

Liana berhenti dari langkahnya. Dia berdiam sesaat ketika mendengar suara pria di sampingnya. Suara yang terasa tidak asing di telinganya. Dan seperti tengah berbicara kepadanya.

Liana menoleh ke arah samping. Dia tidak menemukan siapapun di sampingnya. Dia hanya menemukan bangku panjang yang terbuat dari kayu dan kosong. Tetapi, dari jarak yang sedikit jauh, dia dapat melihat punggung pria dengan seragam basket yang masih tersampir di tubuhnya. Tak lupa topi biru-hitam yang menghadap ke belakang.

”Aku tidak tahu apa maksudmu. Tetapi, setiap kalimat yang terlontar dari mulutmu, telah berhasil membuatmu menjadi alasan dibalik senyumanku.” | Cerpen Remaja Kisah Pecakor Perebut Cowok Orang