Kisah Kisruh Anak Alay Generasi Micin

Minggu malam itu Santi merasa sangat lapar dan berpikir untuk membeli saja sebungkus nasi pecel lele. “Murah, tapi enak.” | Cerpen Kehidupan Kisah Kisruh Anak Alay Generasi Micin

Begitulah ibu kosnya pernah merekomendasikan warung pecel lele di depan gang.

Karena jaraknya yang dekat dan sudah lama tidak berolahraga dia putuskan berjalan kaki ke sana. Begitu melewati pagar, Santi disambut oleh hamparan bintang di langit April yang cerah.“Malam yang hidup,” gumam Santi saat melihat gang lebih ramai dibanding biasanya.

Santi tengah melintas di antara warung kopi Kongsi Malem dan agen pulsa Socrates ketika seorang anak lelaki tiba-tiba menegurnya. “Mbak Santi, ya?” Kata bocah yang mengenakan baju garis-garis kuning hijau.

“Eh, anak siapa, nih? Kok tahu namaku?” Pikir Santi penuh curiga.

“Mbak,” kata anak itu lagi. “Mbak Santi penyanyi dangdut ya, Mbak? Bisa dibocking?”

“Asem, nih bocah. Apa maksudnya, sih?” Kata Santi dalam hati.

“Mbak Santi bisa diajak tidur?”

“Sabar, Santi, sabar,” batin Santi menenangkan dirinya sendiri.

“Dik,” kata Santi lembut, “nama saya memang Santi. Tapi saya bukan penyanyi dangdut.”

“Terus yang penyanyi dangdut siapa dong?”

“Ya tidak tahu, Dik.”

Santi mengulas senyum dan berharap bocah itu segera pergi.

“Kalau bukan penyanyi dangdut, Mbak Santi ini apa dong?”

Si bocah belum mau pergi.

“Dik, ini sudah hampir jam sepuluh malam. Sebaiknya adik pulang, nanti ibunya cari.”

“Rumahku dekat,” kata si bocah tak perduli. “Jadi,” katanya lagi, “Mbak Santi ini pegawai dealer motor kayak Mbak Raras, atau penjaga toko di mall seperti Mbak-mbak di kosannya Bunda Klara? Jawab, Mbak!”

“Dik, saya bukan dua-duanya. Pekerjaan saya lain. Saya sekretaris di perusahaan eksport - jelas?”

“Sekretaris? Berarti lebih parah dari penyanyi dangdut dong?”

“Maksudnya?”

“Saya bilang, sekretaris lebih parah dari penyanyi dangdut. Sekretaris tidur sama bos ya kan? Berarti bisa juga dong diajak tidur sama yang lain?”

“Dik, tolong ya, Dik, kamu tarik kata-katamu itu. Minta maaf dan semuanya bisa selesai baik-baik. Tarik!”

“Gak mau ah. Kata-kata kok ditarik. Memangnya benang?”

“Dik, tolong ya Dik, saya minta baik-baik kamu tarik kata-katamu dan minta maaf.”

“Kalau saya gak mau, Mbak sekretaris ini mau apa?”

Santi menarik nafas berusaha mengendalikan emosinya. Dia mencoba memaklumi lawan bicaranya yang masih bocah dan mungkin belum mengerti apa yang dia katakan. “Bagaimanapun ini tanggung jawab setiap orang dewasa untuk menjaga anak-anak seperti dia,” kata Santi dalam hati.

“Dik,” kata Santi pelan, “oke, tidak apa-apa kalau kamu tidak mau minta maaf. Tapi, Dik, yang kamu katakan itu tidak baik.”

Santi mencoba menasehati dan berharap si bocah menyadari kekeliruannya.

“Setiap perempuan,” kata Santi lagi, “seperti saudara atau ibu kamu sendiri. Mereka harus dihormati. Apa kamu mau kalau ada orang yang menghina ibu kamu?”

“Mbak Santi mau menghina ibu saya?” Kata si bocah mengejutkan Santi.

“Bukan, saya cuma bilang seandainya ada orang yang menghina ibu kamu, apakah….”

“Mbak Santi mau bilang ibu saya seperti Mbak Santi?” Kata bocah itu memotong ucapan Santi. “Mbak Santi mau bilang ibu saya bisa ditiduri? Mbak santi menuduh ibu saya pelacur?”

Suara si bocah yang cukup keras mengundang perhatian beberapa orang di warung kopi.

Santi akan menjelaskan maksud perkataannya, tapi bocah itu tiba-tiba menjerit dan meraung-raung. “Mbak Santi jahat!” Katanya sambil menangis.

“Mbak Santi tega bicara seperti itu. Ibu saya suka mengaji. Mbak Santi sok tahu!”

Tangis si bocah kian kencang.

Seorang pemuda berambut panjang sebahu datang dan menanyakan yang terjadi.

“Dia jahat!” Sahut si bocah sambil menunjuk Santi. “Dia bilang ibuku pelacur tua murahan!”

“Dik!” Santi berteriak. “Siapa yang bilang seperti itu?”

“Sudah, sudah,” kata si pemuda berambut panjang menengahi. “Cukup, Mbak. Mbaknya cukup minta maaf saja kepada anak ini biar nanti saya bantu menenangkannya.”

“Lho, kok jadi saya yang minta maaf? Sergah Santi.

“Ada apaan, sih?

“Tahu tuh si cewek ngapain.”

Orang-orang di sekitar mereka mulai mendekati tekape untuk mencari tahu.

“Mbak, jangan memperlebar masalah,” kata si pemuda berambut panjang. “Apa susahnya sih tinggal minta maaf saja? Saya bermaksud baik, Mbak. Kalau tidak, saya bisa saja melibatkan polisi, lho. Siapa yang mau Mbak dibilang ibunya pelacur murahan tak berharga begitu?”

“Mas! Saya tidak bilang begitu. Anak itu salah paham. Justru dia yang bilang begitu pada saya.”

“Anak kecil gak mungkin bohong, Mbak!” Sanggah pemuda berambut panjang.

“Gak mungkin bohong?” Bantah Santi.

“Iyalah! Mereka polos, jujur dan apa adanya. Mereka tidak punya kepentingan yang menuntutnya untuk berbohong.” | Cerpen Kehidupan Kisah Kisruh Anak Alay Generasi Micin

“Jadi Mas menuduh saya yang berbohong?” Suara Santi terdengar sampai ke balai RW.

“Sudah, Mbak, tidak usah berakting. Minta maaf saja. Kita orang dewasa harus bisa memberi contoh,” kata si pemuda berambut panjang.

“Tidak, Mas, bukan saya yang salah,” kata Santi tidak mau mengalah.

Sejurus kemudian, entah dari mana datangnya, seorang laki-laki berseragam menghampiri mereka dan menggiring mereka ke balai RW. “Untuk apa? Bapak ini siapa? Kata Santi keberatan dengan keterlibatan lelaki berseragam.

“Saya petugas dan saya sudah disumpah untuk menjaga keamanan di sini,” kata laki-laki berseragam. “Berdebat tidak boleh di jalanan.”

Laki-laki berseragam tidak memberi kesempatan Santi untuk melawan. Dia mengancam akan menyeret paksa Santi ke balai RW bila menolak. “Anak buah saya sudah disumpah setia untuk tunduk kepada saya,” kata laki-laki berseragam kemudian menggiring Santi ke balai RW.

“Jadi bagaimana kejadiannya?” Kata laki-laki berseragam ketika mereka sudah di balai RW. “Apa yang Mbak katakan pada anak kecil ini sampai dia terus menangis seperti ini?”

“Ibuku, dia bilang sesuatu tentang ibuku,” kata si bocah sambil sesenggukan. “Kata-katanya kotor seperti hatinya. Apa salahku sampai dia berkata sekotor itu? Dia tidak tahu apa-apa tentang ibuku tapi sudah berani berkata kasar tentang ibuku.”

“Apa benar yang dikatakan anak ini?” Tanya laki-laki berseragam kepada Santi. Wajahnya tampak memerah menahan amarah.

“Seorang ibu - anda menghina seorang ibu?” Laki-laki berseragam melihat si bocah sebentar lalu kembali menatap Santi yang menantangnya.

“Siapa yang menghina seorang ibu?” Kata Santi dengan suara sedikit bergetar karena marah.

“Anda tidak usah melotot begitu, Mbak. Masalah ini bisa selesai dengan baik. Meskipun saya menyesalkan ucapan Mbak kepada anak ini, tapi saya bisa mengatur jalan damai. Tapi, kalau anda tidak bisa menjaga sikap, perkara ini bisa panjang.”

Laki-laki berseragam menarik badannya ke belakang kemudian menyalakan rokok. Kedua tangannya bertekan pada meja dan kepalanya sedikit dimiringkan ke kiri. “Anda masih memiliki ibu?” Tanya laki-laki berseragam.

“Alhamdulillah, kedua orang tua saya masih ada di kampung,” kata Santi.

“Apa anda meyanyangi ibu anda?”

“Tentu saja. Semua anak yang berpikiran waras pasti menyayangi ibunya.”

“Lalu mengapa anda bicara buruk tentang ibu orang lain? Bukankah itu tidak baik dan mengapa anda bersikukuh tidak mau minta maaf?”

“Saya minta maaf bila saya punya kesalahan. Tetapi untuk apa saya minta maaf atas sesuatu yang tidak saya lakukan?”

“Dia malu!”

Pamuda berambut panjang yang dari tadi diam kini ikut berbicara.

“Kenapa saya malu?” Sergah Santi.

“Kamu malu karena harus minta maaf kepada seorang bocah. Kamu memandang dirimu terlalu tinggi.”

“Saya tidak memandang diri saya terlalu tinggi. Saya memang tidak melakukan seperti yang anak itu tuduhkan.”

“Saya menyaksikan semuanya. Saya tahu anak itu menangis karena ucapan anda sangat tidak mendidik.”

“Apa anda dengar sendiri saya mengatakannya?”

“Kalau bukan kamu terus siapa lagi? Kalian hanya berdua di sana. Kamu tidak perlu mempersulit semua orang. Berhentilah bertingkah sok suci!”

Santi tersentak mendengar tuduhan pemuda berambut panjang. Darahnya bergejolak. Dia ingin mendamprat pemuda itu sekuat-kuatnya. Tapi rasa perih mendadak menyerang lambungnya. Keringat dingin keluar dari pori-porinya. Kepalanya terasa berputar kencang. “Bruk!” Santi kehilangan kesadaran.

Beberapa orang mengangkat Santi ke meja yang cukup panjang. Sejurus kemudian mereka mendengar sebuah nada dering dari hape Santi yang tergolek tak sadarkan diri.

“Giman, Har?”

Nek Salimah bertanya pada anak sulungnya.

“Gak diangkat, Bu,” jawab Hartono.

“Kenapa ya? Gak biasanya Santi begitu. Harusnya dari tadi kita beritahukan kita ada di sini.” Gumam ibunya.

“Mungkin lagi di jalan, Bu. Saya dengar kantornya sedang ada proyek besar. Santi mungkin lembur dan sekarang masih di jalan.”

Hartono berusaha menenangkan ibunya.

“Ya sudah, kita langsung ke tempat kosnya saja,” perintah ibunya. “Dari sini tidak terlalu jauh, kan, Har?”

“Iya, Bu, cukup dekat, kok.” | Cerpen Kehidupan Kisah Kisruh Anak Alay Generasi Micin

Hartono mengarahkan mobil rombongan yang baru selesai bertakziah di kota Z itu ke tempat kos Santi di kota X.