Senin. Ini dia hari yang sangat kusukai. | Cerpen Sedih Kisah Bidadari Yang Berselimut Tangis
Hari dimana aku merasa semangat '45-ku bangkit. Pagi ini, aku lebih memilih berjalan kaki menuju sekolah daripada naik sepeda motor. Ya, hitung-hitung untuk mengurangi polusi.
"Eh, tumben jalan kaki, biasanya naik sepeda motor." Mayang yang merupakan sahabatku itu mengejutkanku.
"Iya, nih. Biar sehat"
"Kamu masih ingat 'kan kata Bu Nia kemarin?"
"Iya, jangan lupa bawa Al-quran... Masya Allah, aku lupa. Temani aku ke toko Pak Mahmud, ya?"
"Al-quran kamu yang kemarin mana?"
"Hilang"
"Ha? Aduh, makanya simpan di tempatnya lagi, dong"
"Iya. Ayo, cepetan"
"Pak, Aisyah mau beli Al-quran"
"Tunggu sebentar, ya"
"Memangnya duit kamu ada?"
"Ish, Mayang. Aku punya tabungan tau"
"Pak, Al-qurannya ada?" Tiba-tiba terdengar suara serak di samping Aisyah.
"Allahu Akbar, Lailahaillallah" spontan Aisyah terkejut.
"Eh, kaget, ya? Maaf, lagi keburu." Habib sang sumber suara serak tadi menyahut keterkejutan Aisyah.
"Iya, enggak apa-apa?"
"Ini" tawar pak Mahmud sambil mengulurkan Al-quran.
"Sini,pak. Ini uangnya. Assalamu’alaikum. Maaf, duluan, ya"
"Buat saya?"
"Aduh, maaf, nak. Cuma tinggal satu. Juz Amma mau?"
"Ah, enggak, makasih. Assalamu’alaikum"
"Wa’alaikumsalam"
...
"Permisi, buk. Aisyah mau ke toilet sebentar”
"Silakan"
Dengan cepat aku pun tancap gas menuju toilet, memang sudah tak tertahankan lagi, apalagi sekarang sedang musimnya hujan.
"Aisyah, jangan lari di koridor sekolah"
"Maaf, Bu. Kebelet"
Tak butuh waktu yang lama proses pengeluaran pun selesai. Uh, betapa leganya. Di tambah lagi dengan angin sepoi – sepoi.
"Astagfirullah"lagi-lagi jantungku hampir copot karena terkejut.
"Maaf"
"Loh, kamu yang tadi, 'kan?"
"Hehehe, iya"
"Kenapa? Kebelet juga?"
Aduh, pertanyaan macam apa yang kulontarkan ini. "Enggak, lagi dapat hukuman"
"Hukuman?"
"Iya, karena enggak bawa Al-quran"
"Waduh. Yang tadi maaf, ya. Soalnya, aku yang duluan pesan"
"Iya, enggak apa-apa? Aku yang salah, Al-quran pakai di hilangin segala"
JLEBB
"Ternyata nasib kita sama" batinku miris.
"Waduh, bisa dihukum Bu Nia kalau kelamaan. Pergi dulu, ya. Assalamualaikum"
"Wa ‘alaikumsalam"
...
"Assalamualaikum"
"Aisyah. Lihat sekarang jam berapa?"
"Jam 08.10"
"Kamu tadi permisi jam berapa?"
"Jam delapan, Bu"
"Jadi udah berapa lama kamu di luar?"
"Sepuluh menit"
"Kamu tahu maksud Ibu, 'kan?"
"Iya, Bu. Aisyah, dapat hukuman"
"Nah. Sekarang kamu pergi ke toilet lagi, dan bersihin toiletnya"
"Iya, Bu"
Aku berjalan gontai menuju toilet. Ah, akhirnya di hukum juga. Ini memang sudah pantas kuterima.
"Eh, balik lagi?"
"Oh, kamu. Aku di hukum"
"Hahaha, sabar, ya"
"Iya"
"Kenalin namaku Habib, anak kelas XII Ipa 1"
"Namaku Aisyah, kelas XII IPA 2"
"Kita bisa jadi teman, 'kan?"
"Hmm. Semua siswa-siswi di sekolah ini kuanggap teman"
Dalam sebuah hukuman aku mendapatkan seorang teman pria. Hukuman ini terasa menyenangkan karena di isi dengan canda tawa dengan teman baruku. Berbicara dengannya menyenangkan. Dan tanpa terasa pekerjaan kami pun selesai.
"Huft, capek juga"
"Mau kubelikan minuman?"
"Iya, yang dingin”
"Oke, tunggu sebentar"
Sambil menunggu Habib membeli minuman aku bersenandung kecil di sebuah kursi panjang di dekat toilet.
"Ini"
"Cepat sekali"
"Aku berlari"
"Haha, kenapa harus lari? Aku enggak akan pergi, kok"
...
Hari semakin hari aku dan Habib semakin akrab. Tak jarang kami pergi dan pulang sekolah bersama dan tak lupa kuajak Mayang, agar tak ada gosip sampah yang menghancurkan persahabatan kami. Jika masalah sindiran, aku sering mendapatkannya di sekolah.
Mulai dari sindiran halus hingga sindiran kasar. Tak jarang aku di bully saat aku hendak ke toilet, di sanalah mereka bisa menyiksaku kapan pun. Tapi, masa bodoh dengan mereka, toh mereka juga termasuk langganan ruang BP. Jika mereka ingin dekat dengan Habib, dekati saja.
Kenapa aku yang jadi imbas kalian? Ya, awalnya, aku memang kesal. Tapi, setelah di pikir-pikir, mereka itu hanya bocah yang kurang perhatian dari orang tuanya. | Cerpen Sedih Kisah Bidadari Yang Berselimut Tangis
Aku pun berusaha meredakan kekesalanku dan menganggap itu hal biasa. Sejak itu juga, Mayang semakin menempel padaku. Jika aku ke toilet, dia ikut, ke kantin, dia ikut juga. Mungkin dia khawatir.
"Aku temanin ke dalam, ya"
"Enggak usah, tunggu di luar aja"
"Hati-hati, ya"
CEKLEK
"Hai"
"Hai"
"Oh? Jadi kita dikibulin? Ok"
BRAKK
"Jangan, ada Mayang di luar"
"Dia udah pergi"
"Jadi kalian mau bahas Habib lagi?"
"Kamu pintar juga. Enggak sia-sia kamu punya kepala"
Salah satu dari mereka memukulkan kepalaku ke dinding toilet. Memang sakit, tapi aku berusaha bertahan di hadapan mereka. Aku bukan orang yang lemah, juga bukan orang yang kuat. Aku bisa saja melawan mereka, tapi aku tidak ingin menginjakkan kakiku ke ruang BP bersama mereka, dan juga aku tak tega melihat Ibu meminta maaf kepada orang tua mereka yang sifatnya lebih buruk daripada mereka. Biarkan saja mereka menyiksaku sepuas hati mereka, toh mereka nanti akan menerima karma. "Ayo, nanti kita ketahuan"
"Nantikan pembalasan kami selanjutnya"
CEKLEK
"Kalian udah puas?"
"Habib?"
CEKLEK. Aku keluar dengan wajah yang ditempeli plester di bagian pipi dan dagu.
"Aisyah"
"Oh?.."
"Ayo, sini" Habib menarik tanganku agar aku menjauh dari mereka. Namun, dengan sigap kulepas tanganku dengan paksa.
"Maaf, bukan muhrim"
"Ah, maaf"
"Aisyah? Kamu enggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa, kok. Aku terpeleset tadi makanya wajahku ada plesternya. Hihihi, aku ini ceroboh, ya" Aku berusaha untuk tertawa di hadapan mereka.
"Enggak usah bohong, Aisyah. Bohong itu dosa. Aku denger sendiri, mereka membullymu"
"Enggak, Bib"
"Kalian kira aku tuli, hah?" Habib membentak mereka. Duh, sepertinya dia benar-benar sangat marah, apalagi dia itu tidak suka di bohongi.
"Bib..."
"Udah, Aisyah. Biarin Habib kasih mereka pelajaran tentang kesopanan dan tata krama"
"Tapi..."
"Ayo" Mayang menarik tanganku menjauh dari Habib dan mereka yang telah membullyku.
...
Kurasakan sebuah penyesalan yang amat sangat, dengan sebuah hijab tersingkap. Ketika lelaki yang tak halal bergelayut dalam pikirku, kurasakan ketakutan yang begitu besar akan cinta ini. Saat rasa rindu merekah yang kurasakan adalah kesedihan yang perih. Tak ada senyum bahagia juga tak ada rona malu. Yang ada ialah hari-hari yang di penuhi air mata penyesalan. Yang ada adalah kegelisahan, karena rasa yang salah. Yang ada ialah penderitaan yang sangat sakit. Saat aku merasakan cinta. Bukan harapan tuk bertemu, tapi rasa ingin menghindar dan menjauh darinya. Terbesit rasa khawatir di dalam qalbuku yang teramat sangat. Hati yang mulai merindukan lelaki yang bukan mahram. Kegelisahan di hatinya yang tak mampu lagi tenang. Aku akan berusaha memusnahkan rasa itu bagaimana pun caranya. Bahkan kendati aku harus pergi, maka hal itu akan kulakukan.
"Hiks.. hiks..."
"Aisyah. Jangan menangis"
"Aku takut, May. Aku takut rasa cintaku pudar kepada Allah"
"Aisyah, semua orang juga pernah merasakan cinta pada lawan jenisnya. Bahkan aku yang tomboy ini aja pernah merasakannya. Cinta itu sebuah anugerah dari yang maha kuasa. Cinta itu fitrah manusia. Oke, sekarang kamu tenang dan lihat aku"
Aku mengangkat kepalaku, kulihat Mayang yang tengah tersenyum tipis, dan ia juga mengelus pundakku.
"Dulu reaksiku juga kayak kamu, bahkan lebih heboh. Tapi, Ibu aku punya teman ustazah. Dia bilang sama aku, kamu harus bersabar, jadikan ini sebagai ujian dari Allah. Bangun tembok pembatas di hatimu, tumbuhkan duri di sekitarnya agar rasa itu enggak tumbuh bersemai. Putar balik kemudi hatimu, agar rasa itu tetap terarah pada Allah"
"Terus?”
"Kamu jangan khawatir kehilangan cintanya. Karena jika memang kalian di takdirkan bersama, maka enggak akan ada yang dapat mencegah kalian bersatu. Tapi, jika Allah enggak menghendakinya,maka kalian enggak akan pernah bersatu. Jadi, kamu bersabar aja, biar Allah yang mengaturnya. Dan yakin, semuanya akan baik-baik aja. Insya Allah"
"Jadi, aku harus gimana?"
"Cukup cintai dia dalam diam. Karena diammu, adalah salah satu bukti cintamu padanya. Dengan begitu, kamu telah memuliakan dia, karena kamu tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang dan tak mau merusak kesucian serta penjagaan hatinya. Titipkan pada Allah Ta’alaa yang maha penjaga. Allah akan memberikan ganti yang lebih baik lagi. Bersabar dalam diammu. Karena tulang rusuk enggak akan tertukar apalagi tersasar. Sebagai bonus kamu mau denger cerita enggak? Aku dapat ceritanya dari ustazah itu"
"Mau" mataku berbinar-binar saking inginnya mendengar cerita itu aku penasaran.
"Cinta sahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra memang luar biasa indah.
Cinta yang selalu terjaga kerahasiaannya dalam sikap, kata, maupun ekspresi. Hingga akhirnya Allah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Konon karena teramat rahasianya, setan saja tidak tahu urusan cinta diantara keduanya. Sudah lama Ali terpesona dan jatuh hati pada Fatimah, ia pernah tertohok dua kali saat Abu Bakar dan Ummar melamar Fatimah. Sementara dirinya belum siap untuk melakukannya. Namun kesabaran beliau berbuah manis, lamaran kedua orang sahabat yang sudah tidak diragukan lagi keshalihannya tersebut, ternyata ditolak oleh Rasulullah. Hingga akhirnya Ali memberanikan diri, dan ternyata lamarannya yang mesti hanya bermodal baju besi diterima oleh Rasulullah. Di sisi lain, Fatimah ternyata juga sudah lama memendam cintanya kepada Ali. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali, ‘Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya’.
Ali pun bertanya, mengapa Fatimah tak mau menikah dengan pemuda tersebut, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengan Ali.
Sambil tersenyum Fatimah menjawab, ‘Pemuda itu adalah dirimu’. Gimana?"
"Romantis"
"Iya. Aku juga takjub"
"Oke, mulai saat ini aku akan menerapkan nasehat darimu. Aku berterima kasih padamu dan sampaikan juga terima kasihku pada ustazah itu"
Kepada kalian yang sedang diselimuti ketakutan akan cinta, berdzikir dan tadabburlah. Cinta itu fitrah bagi manusia. Serahkan cintamu pada sang khalik. Jika dia bukan jodohmu, maka Allah akan memberimu jodoh yang lebih baik. | Cerpen Sedih Kisah Bidadari Yang Berselimut Tangis