Hingga Cinta Piya Dan Puja Akan Bersatu Part 2

Rumah itu menghadap persis ke jalan raya yang menghubungkan kota kabupaten dengan kecamatan. Lebih dari lima puluh kilometer dari bandara. Perlu waktu setidaknya dua jam perjalanan, untuk ukuran sibuk jalanan sekarang. | Cerpen Cinta Hingga Cinta Piya Dan Puja Akan Bersatu Part 2

Diapit oleh sawah tadah hujan di kanan, dengan sebelah kiri rumah ada jalan yang di cor blok, masuk kampung. Kemudian sawah tadah hujan lagi di seberang jalan cor blok.

Di seberang jalan raya, di depan rumah itu, berjajar tiga rumah. Rumah paling kiri dari tiga rumah itu masih sama persis seperti saat terakhir aku melihatnya. Setiap memandang pohon kersen di depannya, hatiku selalu merana.

Aku masih tegak berdiri di tempat turun dari taxi beberapa saat yang lalu. Di tepi jalan raya. Belum beranjak sedikitpun. Termangu. Lampu teras menyala terang. Rumah di depanku lumayan banyak berubah. Dinding kayu yang lima tahun lalu mulai keropos tak ada lagi. Digantikan dengan dinding bata cetak yang disusun dengan amat rapi, tanpa ditutup dengan semen. Lantai teras, yang dulu adalah susunan batu kapur putih berbentuk persegi yang direkatkan dengan semen antara satu dengan yang lain, juga telah menghilang. Lantai keramik berpola kayu tertata menggantikan. Halaman yang dulu masih tanah hitam sudah tertutup batako, di pinggir berjejer pot-pot bunga kamboja cina yang sedang berbunga. Warna-warni. Pohon mangga di pojok kanan depan halaman, masih tegak berdiri. Ada ayunan yang terikat di sana, terlihat sekali bahwa catnya masih baru, dengan bau yang bisa tercium dari tempat aku berdiri.

Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri. Pukul 20.47. Belum terlalu malam. Tapi kenapa suasana begitu sepi. Lalu terdengar sayup-sayup suara alunan musik campursari dari perkampungan, jauh dibelakang rumah. Oh, aku tahu. Mungkin semua orang sedang menikmati hiburan gratis itu.

Perlahan kuseret koper. Suara rodanya yang menggesek batako menghiasi langkah menuju pintu. Aku menghela nafas panjang dan menghembuskan perlahan-lahan. Mencoba mengatur dengup jantung.

Buku jariku mengetuk pintu. Tak terlalu kuat.

“Ya sebentar.” Suara itu mengalun dari dalam rumah. Tak berubah sedikitpun. Suara bening yang dulu, dulu sekali, hingga aku lupa entah kapan, pernah sesekali menyanyikan lagu pengantar tidur. Suara ibu.

Sudah kuduga, ibu ada di rumah. Tak tergoda melihat hiburan rakyat di tengah kampung sana. Selera musik ibu tak seperti orang kebanyakan. Ibu tak akan tergoda sedikitpun melihat penyanyi yang melenggak-lenggokkan pinggul dengan seronok di atas panggung. Tapi anehnya, ibu menyukai segala macam lagu dari film India.

Apa bedanya? Dulu waktu masih SMA aku pernah bertanya. Jawabannya, apapun masalah kita akan sejenak terlupakan dengan nyanyian dan joget India. Melihat campursari hanya akan menambah masalahmu. Tak punya uang saat melihat campursari akan jadi masalah. Saat kau ikut berjoget dan menyenggol seseorang bisa jadi mengakibatkan tawuran, masalah lagi. Aku merutuk dalam hati. Bagaimana tidak, esok hari EBTANAS dilaksanakan, sedangkan ibu menyetel televisi, yang sedang menayangkan film India, dengan suara yang demikian kencang untuk mengalahkan campursari yang kala itu ditanggap tetangga kami.

Kau akan tetap mendapat nilai terbaik meskipun tidak belajar, katanya saat itu.
Ibu macam apa kau ini, umpatku dalam hati.

“Siapa?” seru suara itu lagi. Aku tak menjawab. Hanya menunggu.

Dari dalam rumah terdengar suara orang berjalan menuju pintu. Mengiringi dengup jantung yang tak mau diatur dalam rongga dada. | Cerpen Cinta Hingga Cinta Piya Dan Puja Akan Bersatu Part 2

“Puja..!?” kata pertama yang keluar dari mulut ibu begitu pintu terbuka. Antara terkejut dan bahagia.

Ya. Namaku Puja. Korban pertama keegoisan ibu akan kecintaannya pada film India.

Wanita yang berdiri dihadapanku terlihat bugar. Tak ada sedikitpun tanda bahwa dia pernah sakit parah. Wajahnya masih sama persis seperti lima tahun lalu, saat terakhir kali terlihat sebelum pintu yang sama di banting menutup sekuat tenaga oleh Piya. Wajah oval dengan kulit kuning langsat itu masih terlihat kencang di usia yang ke 46. Rambut lurus hitam legam, digelung seenaknya dibelakang tengkuk. Hidung bangir dengan alis tebal yang tercetak sempurna di atas mata belo, nanggal sepisan. Meski tanpa riasan sedikitpun, wajah ibu seolah masih memancarkan pesona. Sesuatu yang sering kubenci.

Aku hanya terdiam, sambil tetap berdiri kaku di depan pintu.

“Ayo. Masuk!” ucapnya sambil membuka daun pintu semakin lebar, kemudian balik kanan.

Aku masih membeku, hingga ibu sampai ke tengah ruangan dan kembali menengok ke belakang.

“Kau akan tetap berdiri di sana?” tanyanya kemudian. Lalu kembali ke tempatku berdiri dan mengambil alih pegangan koper. Membawanya masuk. Terus menyeretnya melintasi ruang depan dan masuk ke sebuah ruangan di limasan belakang. Kamar yang dulu milikku.

Mau tidak mau kaki ini ikut melangkah. Mengikuti.

Memasuki kamar, aku tertegun. Bersih. Tak terlihat sama sekali kamar itu kosong selama bertahun-tahun. Dan tak ada tanda-tanda mendadak dibersihkan. Seperti memang setiap pagi dan sore disapu, dilap, tapi tidak dihuni.

Selain karena ruang itu demikian bersih, terasa ada sesuatu yang kukenal tertinggal di sana. Sangat samar, tapi tetap ada. Mencoba mengingat-ingat, tapi sampai ibu bicara lagi tak kutemukan jawabannya. Dan terlupakan begitu saja.

“Istirahatlah dulu. Rebahkan tubuhmu. Kau mau mandi dengan air hangat? Biar ibu jerangkan air.” Kata ibu tanpa mengharapkan jawaban.

“Tidak perlu ibu. Puja bisa mandi dengan air dingin,” jawabku.

“Kau bisa masuk angin nanti.” Katanya sambil berlalu.

Apa ini? Kenapa kau tiba-tiba melayaniku bagai seorang putri? Setelah semuanya. Setelah semua kata-kata padamu lima tahun lalu.

Terasa masih seperti mimpi bahwa aku benar-benar duduk di atas ranjang, di sini, di rumah ibu. Pesan whatsapp Piya kini jadi misteri. Karena itu sepenuhnya adalah suatu kebohongan. Apa maksud semua ini.

Di luar sana terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Lalu suara celoteh Piya menggoda seorang bocah yang tertawa terkekeh-kekeh.

“Utiii, kenapa pintunya tidak ditutup?” teriak Piya dari pintu depan.

“Utiiii...” suara seorang bocah menirukan.

Aku melangkah keluar kamar. Lalu pandangan kami bertemu. Piya tertegun.

Dibahunya menggelayut bocah perempuan berpipi gembil. Di belakang Piya menyusul seorang laki-laki yang masih menggoda bocah perempuan itu sampai menjerit-jerit. Otakku berpikir lambat.

Kami masih saling memandang saat ibu datang dari dapur.

“Oohhh, Lintang sudah pulang...? Sini sama Uti. Beli apa tadi sayang?” kata ibu sambil memonyongkan mulut, mengambil alih bocah perempuan itu dari gendongan Piya.

“Bagas, ibu menjerang air. Coba kamu lihat di dapur! Kalau sudah mendidih buat teh ya!” Perintah ibu sambil menggendong bocah perempuan itu ke belakang.

Lelaki dibelakang Piya, yang sejenak bingung saat menyadari keberadaanku, langsung bergerak menuju dapur sambil menjawab, “ya, Bu.”

Tinggallah aku dan Piya, yang masih saling memandang canggung, di ruang depan. Nafas mulai memburu di dadanya. Sambil mengeraskan rahang dan mengepalkan tangan dia berjalan cepat melewatiku, menyusul ibu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun. | Cerpen Cinta Hingga Cinta Piya Dan Puja Akan Bersatu Part 2

- Bersambung -