Hingga Cinta Piya Dan Puja Akan Bersatu

Aku sudah duduk nyaman, saat pramugari mulai menutup bagasi kabin. Tersenyum saat salah satu dari mereka lewat. | Cerpen Cinta Hingga Cinta Piya Dan Puja Akan Bersatu 

Memastikan bagasi di atasku tertutup dengan sempurna. Setelah itu para awak kabin akan mengecek segalanya, meminta semua penumpang duduk sehingga salah satu dari mereka bisa memastikan jumlah. Lalu memperagakan prosedur keselamatan penerbangan, seperti bagaimana menggunakan sabuk pengaman, menunjukkan tempat pelampung serta bagaimana memakainya, cara memakai selang oksigen dan juga menunjukkan jalur pintu darurat jika keadaan memaksa.

Lalu, ah.... Aku tidak sedang bekerja, kenapa tidak menikmati saja perjalanan ini sebagai seorang penumpang, seperti seharusnya.

Sesaat kupejamkan mata. Telinga menikmati bisingnya mesin yang seolah dengan kekuatan penuh membuat pesawat mengudara. Ketika membuka mata dan mengarahkan pandangan keluar, sayap terlihat membelah awan.

Kursi disamping kananku kosong, sangat ajaib untuk penerbangan di jam sibuk seperti sore ini. Mungkin calon penumpang terjebak macetnya Jakarta, hingga tak bisa datang tepat waktu di bandara. Atau dia berhalangan hadir karena berbagai alasan. Istri melahirkan, suami ketahuan selingkuh, ibunya tiba-tiba sakit. Aku menelan ludah saat memikirkan kemungkinan terakhir.

[Mbak, ini Piya. Pulanglah! Ibu sakit.]
pesan WA dari adikku tiga hari lalu.

Perlu waktu tiga hari berpikir hingga akhirnya kuputuskan membeli tiket. Sengaja dari maskapai yang berbeda dengan dimana aku bekerja. Hanya tidak ingin bertemu dengan seseorang dari sana dan menjawab mereka yang sibuk bertanya. Sengaja pula tiket ekonomi. Untuk hal ini hanya ada satu alasan, ingin mengenang kembali saat pertama kali menginjakkan kaki di dalam pesawat. Karena setelah kepulangan kali ini, aku menduga tak akan pernah bisa kembali lagi.

Piya kemungkinan sudah memikirkan tindakannya dengan sungguh-sungguh. Bagaimana tidak, setelah lima tahun dia menepati janji yang dibuat sendiri, bahwa tidak akan menghubung lagi, Piya akhirnya mengirimkan pesan dengan isi begitu singkat dan jelas.

Tersenyum memikirkan pilihan kata yang ditulis. ‘Mbak, ini Piya.’ Aku menduga, dia berpikir nomornya sudah terhapus dari daftar kontak, seperti yang dilakukannya saat marah pada seseorang. Lalu aku membayangkan dia diam-diam membuka handphone ibu untuk menyalin nomor dan berkutat dengan smartphone, berulang kali menulis dan menghapus, hingga menghasilkan kalimat yang dia kirimkan.

Ah... Piya, seperti apa kau kini?

Lamunanku buyar ketika seorang pramugari dengan ramah manyapa. Aku minta maaf sambil menerima kotak makanan yang diberikan. Gadis manis itu masih tetap tersenyum, meski mungkin sudah letih untuk penerbangannya hari ini. Pramugari harus tetap tersenyum menghadapi setiap ulah penumpang. Itulah yang diajarkan kepada kami. Bahkan menghadapi laki-laki iseng, mulai dari yang seorang bocah hingga kakek-kakek bau tanah. Kami tetap harus tersenyum sambil memendam nafsu untuk melayangkan sepatu.

Kotak kardus yang tadi diberikan terbuka di pangkuan. Isinya roti dan segelas air mineral. Aku mengambil sedotan dan menusuk plastik bagian atas kemasan. Meminum sampai habis air di dalamnya. Kemudian menyimpan roti di dalam tas tangan. Tetap memangku sampah kardus dan plastik kemasan air mineral. Berniat membuang nanti-nanti di bandara. Entahlah, kenapa aku melakukan itu. Padahal bisa saja aku meletakkannya di kursi kosong di sebelah, nanti pramugari akan mengambil.

Empat puluh lima menit penerbangan. Sebentar lagi pesawat mendarat. Aku memasang sabuk pengaman. Tapi ternyata keliru, pesawat justru membelok berputar di atas ketinggian. Antri pendaratan adalah hal biasa di bandara kecil dengan penerbangan yang sibuk. Aku menunggu, apa yang akan dikatakan oleh sang kapten penerbangan tentang ini. | Cerpen Cinta Hingga Cinta Piya Dan Puja Akan Bersatu 

Speaker menyala, suara sang kapten meminta kami memakai sabuk pengaman, menerangkan bahwa kami telah sampai tujuan dan menerangkan bahwa tak ada perbedaan waktu, kemudian menerangkan karena bandara sedang sibuk, maka kami menunggu antrian pendaratan. Sang kapten benar-benar menerangkan dengan jujur tentang kejadian teknis ini kepada penumpang.

Aku menyukainya. Membayangkan, kalau menilik dari suaranya, kapten satu ini adalah seorang laki-laki paruh baya yang sangat menyenangkan untuk diajak bicara. Humble. Aku selalu menginginkan punya ayah yang seperti itu.

Diluar dugaan, setelah menerangkan prosedur pendaratan dalam dua bahasa, sang kapten masih melanjutkan bahwa dia ingin menghibur kami dengan bernyanyi. Ah, ide bagus. Pasti tentang kota ini. Bukankah banyak sekali penyair terispirasi membuat lagu karena keelokannya. Nanti jika mungkin bisa kembali lagi, aku akan mengusulkan ide tentang bernyanyi kepada Kapten Erick. Bukankah dia sangat jago dalam urusan ini.

Tiba-tiba ada lubang yang menganga di dalam hati. Erick. Mungkinkah aku berani menemuinya lagi? Setelah semua yang terjadi? Juga setelah kepulangan kali ini. Keputusan ini kubuat dengan segala kemungkinan terburuk, mengakhiri karir.

Sang kapten berjanji, kami akan mendarat sesaat setelah nyanyiannya selesai. Aku tersenyum. Menunggu.

Hampir malam di Jogja
Ketika ‘pesawat’ku tiba

Deg. Tidak terduga, sang kapten akan memilih lagu ini.

Remang-remang cuaca
Terkejut aku tiba-tiba

Dua mata memandang
Seakan-akan dia berkata
Lindungi aku pahlawan
Dari pada sang angkara murka

Sepasang mata bola
Dari balik jendela
Datang dari Jakarta
Menuju medan perwira

Kagumku melihatnya
Sinar sang perwira rela
Hati telah terpikat
Semoga kelak kita berjumpa pula

Sepasang mata bola
Seolah-olah berkata
Pergilah pahlaanku
Jangan bimbang ragu
Bersama doaku...

Kupalingkan wajah ke jendela. Mencoba menahan buncah di hati. Bulir air tak mau menuruti. Dia tetap keluar, membuat jalur dipipi. Kemilau ditimpa cahaya senja.

Di bawah sana terlihat tugu Jogja di tengah keramaian. Di cakrawala ufuk barat, sang mentari bulat semerah saga mulai masuk ke peraduan.

Jogja, selalu ada haru dikotamu.
Ibu, anakmu pulang. | Cerpen Cinta Hingga Cinta Piya Dan Puja Akan Bersatu 

- Bersambung -