"Anto, aku pinjam sepedamu ya?" pinta Rahmat. Anto teman baiknya, pasti tidak keberatan sepedanya dipinjam sebentar saja. | Cerpen Motivasi Hidup Itu Sederhana Jangan Gengsi Digedein
"Gak boleh. Ini sepeda baru. Kamu pakai saja sepeda bapakmu atau sepeda kakekmu." Anto mengelus sepeda BMX nya. Di kampung ini cuma dia satu-satunya yang punya sepeda BMX, sepeda idaman setiap anak laki-laki di sini.
Rahmat tau, tak mungkin meminta sepeda kepada orangtuanya. Dia hanya menyimpan angan-angan itu. Dipandanginya sepeda itu, gagah. "Kalo mau, kamu bisa dorong sepeda ini di belakangku." Anto menawarkan, tapi Rahmat tidak tertarik.
Angin berhembus sejuk, membuat siapa saja nyaman untuk berlama-lama duduk santai menikmati anggunnya Gunung Merapi yang disorot mentari sore. Rahmat bersandar di pohon, sesekali mengawasi domba-dombanya, lalu kembali membaca lembar demi lembar buku pelajaran.
"Mat, di sini kamu rupanya. Belikan Kakek permen Davos. Ini bawa sepeda Kakek, domba-dombamu biar Kakek yang menjaga."
Rahmat berdiri riang. Saat akan naik sepeda, Kakek memegang stang sepeda, mengamati wajah cucunya.
"Kamu tuh kebanyakan puasa. Apa gak takut mati?" kata Kakek. Rahmat hanya menatap bingung.
"Kata Pak Dukuh, puasa Senin - Kamis itu ibadah. Mana ada orang mati karena ibadah? Yang ada orang mati karena kebanyakan makan." seru Rahmat polos.
"Wahahahahahahahaha! Pinter kamu Mat. Ya sudah, nanti kamu boleh beli Mi Sakura buat buka puasa."
Rahmat mengayuh sepeda jengki menyusuri jalan desa. Anak kelas 4 SD itu nampak kecil di atas sepeda tua kakeknya. Hatinya riang, rambutnya ditiup lembutnya angin sore. Jarang sekali dia bisa makan mi instan.
Dia harus cepat ke warung membeli permen Davos, kesukaan kakeknya, sebelum nanti kakeknya meminta pasta gigi. Kebiasaan kakek, kalo tidak nemu permen Davos, ya ngemut pasta gigi.
Di jalan, dia melihat Anto menaiki sepeda BMX nya. Di belakangnya, seorang anak berlari mengejarnya. "Anto, ayo! Katanya mau gantian. Aku capek!"
Tapi semua anak tau, Anto tidak mungkin meminjamkan sepeda miliknya.
Asap tungku memenuhi dapur. Rahmat memasukkan potongan sabut kelapa ke dalam tungku, menjaga apinya supaya tidak padam.
Tidak, dia tidak hanya menjaga api. Dia sedang menunggu mi matang. Di dalam wajan, nampak mi itu berenang di kuah yang banyak ditemani sawi hijau segar. Satu mi instan tak cukup untuk lima anak. Mamak memasaknya bersama sayuran supaya semua bisa menikmati.
"Psst...psst !" sebuah suara membuat Rahmat menengok ke belakang. Pemilik suara itu tersenyum, lalu mengacak rambutnya.
"Kayaknya ada yang mau pesta mi instan nih." si pemilik suara itu kemudian duduk dan mengipasi wajahnya menggunakan caping.
"Rahmat dibelikan mi Sakura sama kakeknya." sahut Mamak sambil memberikan segelas teh tubruk panas.
Adzan Maghrib berkumandang. Rahmat bergegas menenggak air putih, lalu duduk di samping Bapak, ikut menikmati teh tubruk panas.
"Lek Sardi habis beli motor. Hebat dia. Kemarin beli sepeda buat Anto. Sekarang beli motor." Mamak bercerita.
"Hebat apanya? Sawah dijual buat beli motor dan sepeda. Terus dia mau kerja apa?" Bapak membuang daun teh kering yang menempel di bibirnya.
"Jadi orang gak usah neko-neko. Kalo belum mampu beli motor, pake aja sepeda. Cuma ngejar gengsi supaya dipuji orang sekampung. Habis itu kelaparan. Helehhh...rugi!"
Hidup itu sederhana. Gengsi yang membuatnya rumit.
Buka puasa dengan mi instan dan nasi jagung. Rahmat menyantapnya dengan lahap. Keempat saudaranya tidak mau ketinggalan. Bapak menikmati pemandangan itu sambil menyuapkan nasi jagung dan tumis cabai serta tempe goreng. Cabai yang belum matang, tidak laku dijual, bisa jadi menu istimewa di tangan Mamak.
Penghasilan sedikit pun masih bisa untuk bertahan hidup. Tapi penghasilan banyak sekalipun tak cukup untuk memenuhi gaya hidup.
Beberapa hari terakhir, warga sering kehilangan ayam. Beberapa menduga, ayam dimangsa garangan, sejenis musang. Sebagian menduga, dimangsa ular. Sebagian berpendapat, ini ulah maling.
"Kemarin ayam Lek Narko yang hilang." kata Wagiyo, teman kakak Rahmat.
"Mungkin ulah maling. Gak mungkin ular bisa rakus gitu. Tikus di sawah kan banyak." tebak Bimo, kakak Rahmat. Dia memegang senter untuk menerangi jalan.
"Mungkin ular penunggu makam Mbah Poleng." sahut Wagiyo. Mereka tertawa sesaat, tapi kemudian bergidik ngeri. Ngeri membayangkan ular besar penunggu makam keramat desa, yang selama ini cuma mitos, tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
Rahmat berjalan di belakang mereka, membawa ember. Mereka bertiga hendak ke sawah, menangkap belut. Lumayan untuk sedikit penambah gizi dan sebagian bisa dijual.
Jalanan begitu gelap dan sunyi. Saat melintas belakang rumah warga, Bimo menangkap sesosok bayangan di dekat kandang. Wagiyo sudah ketakutan, karena dia sempat menyebut ular keramat itu. Tapi Bimo tetap memaksa maju. Mereka mengendap-endap dan mendekat. Bimo mengarahkan senter ke kepala sosok itu, lalu terlihatlah kilatan matanya.
"Anto !!!" pekik mereka tertahan. | Cerpen Motivasi Hidup Itu Sederhana Jangan Gengsi Digedein
Rahmat mengaduk adonan semen dan pasir di depan rumah. Deni, adik Rahmat yang membawa adonan semen itu ke dalam. Di dalam kamar, adonan itu disatukan dengan susunan batu bata, membentuk sebuah tembok yang menyekat kamar.
Dengan berbekal ilmu elektronika di sekolahnya di STM, Rahmat membantu Pak Narko, pemilik servisan elektronik di pasar. Upah yang diterima, sebagian diberikan kepada Mamak, sebagian dikumpulkan untuk membangun rumah. Kadang Rahmat juga menerima pesanan untuk membuat pemancar radio amatir.
"Pak, tadi dicari Lek Sardi, bapaknya Anto" kata Mamak sambil memberikan teh tubruk.
"Tumben. Ada apa?"
"Lek Sardi mau minjem duit. Nanti motornya ditinggal di sini, buat jaminan. Bisa dipake dulu sama Bimo atau Rahmat. Nanti kalo udah lunas utangnya, motornya diambil lagi."
"Sebenernya kasian juga sama dia. Sawah dijual, terus kerja serabutan. Kerja di Jakarta cuma sebentar, balik sini lagi, terus nguli sana sini. Itu BPKB motor paling udah disekolahke ke bank." Bapak menyeruput teh, membayangkan kerabat Lek Sardi yang mengeluh, bosan dengan janji-janji Lek Sardi untuk melunasi hutang.
"Aku gak berani minjemin duit. Lagian aku gak punya duit. Ini bisa mbangun teras sama kamar dari duitnya Rahmat semua."
Seumur hidup dikejar hutang. Risau di malam hari, terhina di siang hari. Hutang di bank untuk biaya hidup, hutang ke teman untuk melunasi hutang di bank.
Kadang hutang membuat gelap mata. Kebutuhan perut yang tidak bisa kompromi membuat sebagian orang nekat. Seperti kasus pencurian ayam beberapa tahun silam. Nama Anto sudah terekam buruk di memori warga desa, meskipun sekarang sudah tidak pernah ada yang membicarakan kejadian itu lagi.
Jalanan masih basah setelah diguyur hujan sejak siang tadi. Sisa-sisa air hujan masih menetes dari ujung daun pohon rambutan. Rahmat memperhatikan setiap inchi benda berwarna biru tua di hadapannya. Gagah. Dia mengelap sambil tersenyum, betapa dulu dia sangat mengidamkan benda ini.
Ting ! Ting !
"Sepeda siapa Bi?" tanya Buyung.
"Sepeda Abi lah. Mosok sepeda Pak RT."
Rahmat menggiring sepeda BMX itu keluar. Menaiki sepeda itu sambil tertawa lepas.
"Ummi! Lihat Abi! Itu sepeda siapa sih? Abi naik sepeda kecil tuh!" Buyung berseru. Aku buru-buru memakai jilbab lalu keluar.
"Ya Allah Bi! Woyy turun woyy nanti ban sepedanya meletus!" aku berseru, antara jengkel dan menahan geli.
"Abi, sepedanya kekecilan....hahahaha!" Jona, teman Buyung berseru sambil tertawa.
"Nih, sepeda baru Buyung. Dijaga baik-baik ya!"
"Asiiik...sepeda baru! Terimakasih Abi. Abi naik motor aja. Ini sepeda buat anak kecil, tau!"
Buyung memeluk suamiku. Suamiku mengacak rambutnya lalu menjitak pelan.
"Bagus, kuat, masih seperti baru." kata suamiku.
"Iya kan, gak usah beli yang baru. Yang second aja cukup, asal spek nya bagus. Anakmu tuh cepet banget gede. Nanti bentar lagi harus ganti sepeda lagi." sahutku sambil memetik rambutan yang sudah merah.
"Besok aku bawa sepeda Buyung yang lama ya? Kemarin Anto, temenku bilang, butuh sepeda untuk anaknya. Kasihan dia."
"Ya udah bawa aja. Dimasukkan ke mobil cukup kan? Sekalian belikan roda samping. Siapa tau anaknya Anto masih belum bisa naik roda 2."
Aku masuk ke dalam rumah. Meninggalkan suamiku yang tengah memperhatikan Buyung dan Jona bermain sepeda di lapangan. | Cerpen Motivasi Hidup Itu Sederhana Jangan Gengsi Digedein
Kita tidak tahu takdir apa yang telah ditulis di kehidupan mendatang. Tapi yang pasti, akan selalu ada jalan bagi mereka yang mau mendekat ke Penciptanya dan mau berusaha keras.