Harga Dari Sebuah Keperawananku

Sayup Adzan mengumandang di kejauhan, siluet kecil berjalan perlahan-lahan. Kubuka daun pintu dari papan berkarat "krieeeet," suara itu membuat terhenti sejenak. Berdebar dan telinga difokuskan pada keheningan subuh. Adzan sudah berhenti. Bunyi sekecil apapun bisa menyadarkan orang didalam rumah petak berukuran 4 x 6 meter ini. | Cerpen Sedih Harga Dari Sebuah Keperawananku

Yakin tak ada terdengar suara atau gerakan apapun dari dalam, merasa aman...kubuka pintu lalu segera menutup.

Ketika berbalik, terkesiap melihat sosok tersebut dihadapan. Inilah yang kuhindarkan. Perdebatan berulang-ulang.

"Sampai kapan mesti begini, nak?!?" tubuh tua itu seperti menahan sakit. Tapi kusadari bukan raganya yang sakit, melainkan jiwanya.

"Sudahlah Mak, aku malas ribut. Nanti anak-anak Mamak yang lain bangun. Yang penting aku ndak mengganggu."

Kuhempaskan penat ke kasur, selimut menutupi seluruh tubuh. Aku jenuh dengan pertengkaran kami. Tak perlu ibu memikirkanku lagi, masih ada tiga anaknya yang lain. Andi 14 tahun, Vera 10 tahun dan Fajar 7 tahun.

Kami yatim, entahlah yatim karena mati Bapak atau sebab alasan apa. Yang terdengar dari tetangga ketika menggunjingkanku "buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bapaknya bejat, anaknya sesat."

Seringnya jika mendengar sendiri, akan kuberi senyum termanis pada pasukan Ibu yang lebih senang menonton kehidupan orang lain itu. Berjalan berlenggak lenggok, leher baju diturunkan dan rok dinaikkan...sengaja membuat mereka kesal. Kalau sudah begitu, pergosipannya akan semakin merajalela.

Senang sekali bisa memberikan kebahagiaan buat sesama. Kasihan warga di sini haus hiburan, banyak keluarga kurang piknik dan rekreasi, sebab uang cuma bisa untuk makan seminggu sekali. Ironisnya hidup kami.

Ibuku bukan salah satu dari mereka, karena Beliau tak malu mengambil upah cucian orang kaya. Di gubuk kami tersedia kamar mandi, tapi Ibu tak berkenan memakai, adik-adikpun dilarangnya. Jadi setiap ingin mandi ataupun kebelet tengah malam, mereka harus ke wc umum atau ke lanting tepi sungai yang tak begitu jauh dari rumah.

Sebenarnya Ibu bisa menjahit, hasilnya lumayan rapi. Pelanggannya pun warga di sekitar sini, ada beberapa juga dari kampung sebelah. Tapi mesin jahit sudah dijual Bapak waktu Fajar 4 tahun. Aku dengar...kata tetangga lagi, untuk Bapakku melacur.

Pernah terlihat sahabatku berseri-seri berangkat di pagi hari memakai seragam putih abu-abu, kusapa dia "Ratna, sudah lama tak bertemu. Kenapa ndak pernah lagi main ke rumah? Aku rindu lho."

Tapi Ratna tak menjawab, malah terkesan tuli, dia beserta rombongannya berjalan cepat melewatiku seperti melihat virus. Padahal waktu SD hingga SMP kami sahabat karib.

"Eh, jangan pernah ngajak anak-anak sini main ke rumahmu, yah? Nanti dari satu anak kejangkit penyakitmu, lalu bisa-bisa seluruh warga kena. Kalau mau rusak...rusak sendiri saja. Jangan bawa-bawa yang lain. Dasar sundel," itu Bu Imah, yang mewakili Ratna menjawab. Dari dia jugalah aku tahu bahwa orangtua Ratna melarang berteman denganku. Bukan cuma Ibu Bapak Ratna saja, bahkan seluruh kampung.

Itu kejadian satu tahun lewat, tapi sekarang aku tak begitu peduli lagi.

Aku telah mahir mematikan rasa. Bukan hal yang berat untuk dipikirkan...telah terbiasa.

"Tina, Mamak malam ini ada Pengajian. Bisa ndak tolong jagakan adik-adik sebentar? Andi sedang tanding di sekolahnya. Mamak ndak lama, paling sampai jam 10."

"Lama itu Mak jam 10. Biasanya kan Pengajian dimulai selepas Isya, setelah itu makan-makan, ngolor ngidul, Jam 9 Mamak sudah di rumah."

"Iya biasa begitu. Tapi ini kan Mamak jalan kaki. Jadi mungkin jam 10 lah baru sampai."

"Masa' jalan kaki sampai satu jam? Macam-macam aja. Aku ndak bisa, Mamak kan tau jam 7 aku sudah harus mulai kerja."

"Cuma malam Jumat sajalah kau begini. Malam-malam yang lain kan ndak. Masalahnya Mamak Pengajian di kampung Bu Hajjah Danilah."

"Haaaa?!? Jauh amat, Mak? Dua kampung dari sini?"

"Iya, disana lebih nyaman. Ilmu dari Ustadzahnya lebih enak untuk otak Mamakmu ini cerna."

Aku tahu wanita yang terlihat renta ini berbohong. Sebab Ibu pun pasti tak diterima juga untuk mengikuti Pengajian disini. Penyebabnya aku. Bahkan manusia tak berdosa inipun ditolak karenaku. Harusnya pergi jauh dari Beliau, dahulu pernah kucoba. Tapi Andi menjemput karena kabarnya Ibu sakit-sakitan sebab tak tenang memikirkan berpisah dariku.

Aku hanya tamat SMP, tak melanjutkan jenjang berikutnya karena habis dana. Mendadak Yatim, adik-adik banyak...sedang semua mesti sekolah.

Bagaimanapun harus ada yang mengalah. Dan aku si sulung, biarlah bekorban demi mereka walau berat. Tokh Ijazah SMP masih bisa digunakan untuk bekerja di toko. Jadi kuputuskan berhenti sekolah. Ibu sedih berhari-hari, tapi tak punya daya lebih...Beliau pun menyerah. | Cerpen Sedih Harga Dari Sebuah Keperawananku

"Tina, kau mau ikut aku ndak? Ada lowongan kerja jadi penjaga warung." Suatu pagi Sinta teman SD yang sudah lama merantau mendatangi.

"Maulah, Sin, Berapa gajinya?" aku mulai tertarik.

"Lumayanlah untuk belanja." Teringat wajah bulatnya dulu, tapi dia sudah berubah bening sekarang, pakaiannya pun bagus sekali. Pertamakali melihat...aku seperti tak mengenal.

"Kerjanya boleh pilih jadwal sore sampai malam, kan? Masalahnya kalau ada uang, aku mau lanjut SMK, Sin." Hatiku benar-benar melambung senang karena disisipi secercah harapan.

"Kerjaannya malam. Mulai jam 7," cincin-cincin emas besar memenuhi jari Sinta, kilapnya menyilaukan.

Tak sabaran mendengar berita ini, ingin aku melompat-lompat kegirangan "wah, asyik dong. Berarti ndak ganggu jam belajarku nanti. Kapan kau mau kenalkan dengan yang punya warung?"

"Malam ini bisa kok kubawa kau kesana. Siap-siap saja." Sinta pamit pulang dan berjanji menjemputku jam 6 nanti.

Ternyata itu jebakan. Di usia 14 tahun aku dipaksa menyerahkan kesucian. Shinta bukannya membawa ke warung biasa, tapi itu warung remang-remang. Tak tahu berapa harga keperawananku dilelang. Yang tersadar malam itu, dalam remuk dan deraian...aku mengantongi satu juta rupiah. Jumlah yang fantastis, serasa kaya dibalut lembaran merahnya. Tak pernah melihat apalagi memegang uang sebanyak itu, dalam tawa histeris kupeluk uang darah tersebut.

Malam penyesalan seumur hidup. Kenangannya menghantui, bahkan mengikuti dalam tidur. Rusak, hina, ternoda. Seandainya waktu bisa diulang.

Aku tak berniat lagi mengikuti Sinta...bahkan diapun tak lagi menampakkan batang hidung. Tapi esoknya ada dua orang lelaki berperawakan besar serta berotot memaksa turun dari rumah. Aku menolak, Ibu sampai memohon. Andi tak di rumah karena berlatih di luar.

Namun seorang wanita gembrot yang kemudian kuketahui sebagai Mami berkata licik "kau akan kulepaskan jika mampu membayar hutangmu malam ini juga."

"Aku tak punya hutang apapun, malah kau yang menjualku. Kau pembohong. Sinta hanya modusmu. Kalian semua penipu," kesedihan sudah sampai ke ubun-ubun, matipun aku terima.

Lalu ditunjukkan kertas perjanjian yang bertandatangan aku dibawahnya. Dibacanya lantang dan tersadar bahwa semua ini perangkap. Kepercayaan pada Sinta membuahkan malapetaka, saat dia meminta menyetujui kertas itu, terpikir bahwa cuma surat kontrak kerja biasa. Begitulah disebutkannya ketika memberikan lembaran putih itu dihadapan. Jumlah hutang yang membuat sesak nafas, terbelalak.

Kami cuma punya dua pilihan...membayar hutang, atau Ibuku berakhir di penjara.

Alangkah bodohnya, gadis naif yang tolol. Semenjak itu duniaku kelam.

Hari ke-20 tak tertahankan lagi, setiap malam diwajibkan melayani beberapa lelaki hidung belang.

Pernah mukaku lebam dipelasah berkali-kali oleh tiga anak buah Mami yang berbadan raksasa, sebab aku mencakar wajah pelanggan. Saat itu benar-benar muak...depresi. Namun menginsafi muslihat ini bukan cuma mengancamku tapi juga keselamatan semua orang tercinta, akhirnya kumatikan rasa. Kubur saja yang bernama kesedihan, kebahagiaan, kekecewaan serta harapan. | Cerpen Sedih Harga Dari Sebuah Keperawananku

Kini sudah dua tahun dunia ini tergeluti, pada akhirnya aku telah lama berdamai dengannya. Memberontak hanya menambah jeratan semakin terasa perih. Apapun perlakuan manusia, akhirnya dapat kuterima. Bukan masalah yang berat lagi...tak perlu dipikirkan. Jalani saja sampai jantung berhenti dialiri darah.