"Mas, mas bangun, kamu harus kerja, sekarang sudah jam 6."
Suami ku bangkit dari tidur dan melangkah turun untuk mandi.
Aku berkutat dengan dapur menyiapkan bekal yang akan di bawa mas ahmad ke kantor. Sambil sesekali berusaha mendengar apa Amar sudah terbangun atau belum.
Tak lama aku dengar suara langka kaki menuruni tangga, mas ahmad sudah siap siap berangkat kerja. " ini bekal nya mas" "hmm ya" lalu berlalu dan beranjak pergi.
Tetap seperti itu, dingin, tanpa basa basi. | Cerpen Sedih Di Tepi Penantian Ini Aku Menunggumu
Padahal ini baru tahun ke dua pernikahan kami, harusnya masih terasa hangat dan romantis, tapi yang kurasakan sungguh berbeda.
Aku tersadar dari lamunan, mendengar suara tangis Amar, pangeran kecil ku bangun, setengah berlari ku naiki tangga.
"pangeran bunda sudah bangun, maaf ya bunda tinggal," ya... Hanya dia yang bisa ku ajak bicara lama dan hangat.
Aku menikah dengan mas ahmad tanpa tahapan pacaran, hanya perkenalan lewat medsos dan berakhir lamaran tanpa pernah berjumpa satu sama lain, dan itu cuma memakan waktu 2 bulan, singkat? Ya teramat singkat menurut orang kebanyakan, bahkan menurut teman teman ku aku nekat.
Aku menikah dengan banyak pertimbangan yang menurutku sudah matang, aku berterus terang kepada mas ahmad tentang penyakit kista ovarium ku, dan dia bisa menerima kekurangan ku itu, yang menurut vonis dokter akan susah memiliki keturunan. Mengetahui dia tak berkeberatan dengan penyakit ku, membuatku memutuskan, dan menjawab "Ya, aku bersedia mas" ketika ditanya apakah aku mau menikah dengan nya.
Aku tersadar Amar belum mandi, aku bergegas memandikan amar, karena pekerjaan Rumah tangga lain nya menanti.
Berembun mata ini menerima perlakuan seperti ini, di saat aku sangat membutuhkan dukungan dan tempat perlindungan dia justru mengabaikan dan menyalahkan aku atas semua yang keluarganya katakan tentang ku.
" Berhenti menyalahkan keluarga ku dan merengek seperti anak kecil, itu semua salah mu, kau tak pernah bisa memahami dan mencoba berbaur dengan keluargaku"
"Mas, ini bukan soal berbaur atau memahami, aku berkali kali mecoba untuk memahami dan masuk ke keluarga mas, tapi aku seakan tak pernah di terima dan selalu menerima sindiran yang terkadang keterlaluan menurutku"
"Stop Mirna, jangan sekali kali lagi kau menyalahkan mereka, atau kau akan menyesali perkataan dan keputusan ku, aku muak dengan mu"
Mas ahmad melangkah pergi dan membanting pintu kamar
Terguncang aku mendengar perkataan nya.
Dia membanting pintu kamar dan pergi, aku mendengar suara motor di nyalakan.
Sudah menjadi tabiat nya, jika ada masalah, dia akan pergi dari rumah dan pulang larut malam, jika di tanya dia menjawab "pergi menenangkan pikiran, daripada di rumah ini dan melihat mu, bisa bisa emosi ku memuncak" dan tak jarang dia tak menjawab pertanyaan ku, bahkan jika di tanya seringkali berakhir pertengkaran lagi.
Aku masih tak percaya mendengar perkataan nya, apa maksudnya? Apakah dia berniat menceraikan ku? Aku semakin terguncang, tanpa sadar aku menangis dan terisak dalam pelan, aku melihat Amar yang tidur pulas, tangis ku makin pecah melihat kepolosan dan lelap nya Amar.
"Ya Allah, kuatkan aku untuk mempertahankan rumah tangga kami Ya Allah"
Pertengkaran kali ini di picu perkataan mertua yang datang berkunjung ke rumah kami, ibu mertua ku menyindir ku sebagai menantu yang tak berbakti dan melupakan siapa aku dan darimana asal ku.
"Mirna, kamu jadi menantu bagaimana sih? Rumah berantakan bukan nya di bersihkan, bukan kah dulu di kampung mu kamu biasa bersih bersih rumah, jangan bawa kebiasaan dari kampung mu ke sini dong, ini rumah bagus bagus koq gak di jaga, bersyukur harusnya kamu di kasih tinggal di rumah sebagus ini, bukan seperti rumah bobrok mu di kampung sana"
Aku terdiam dan hanya bisa berkata " maaf ma, tadi saya kerepotan, amar rewel hari ini"
"Ahmad, kamu juga, sembarangan pilih istri, kayak gak ada wanita lain aja, harus pilih wanita kampungan seperti ini.
Mas ahmad tak perduli dan asyik dengan koran nya di tangan.
Jam menunjukkan pukul 23.45. Aku masih menunggu mas Ahmad pulang, tapi tak juga ku dengar suara motor nya. Ahh kemana kamu mas, pikiranku gak tenang.
Aku naik ke kamar dan duduk di tepi ranjang, tanpa sadar airmata ini menetes dan tangis ku pecah, aku sesenggukan pelan, takut membangunkan Amar yang tidur pulas.
Kembali memoriku memutar setiap pertengkaran kami, ya, aku selalu salah di matanya, tak pernah sekalipun dia membela ku dan berusaha melindungi ku dari cercaan keluarga nya. Kembali terbersit di hati, lalu buat apa dia menikahi ku Jika tak ada cinta diantara kami?
Aku kembali menangis dan kali ini lebih keras, aku berusaha menutup wajah ku dengan bantal agar aku bisa menangis lebih kuat tanpa membangunkan Amar.
Hingga tanpa sadar aku terlelap dengan mata sembab berair.
Aku bangun oleh suara adzan subuh, aku melihat di sebalah ku tak ada mas ahmad, dan tak ada tanda tanda dia pulang, aku berlari ke bawah siapa tahu dia tidur di ruang tamu, dan ternyata tidak, aku melihat keluar jendela di halaman juga tak ada motor nya. Dia tidak pulang malam ini, ini tak seperti biasanya, kemana dia? Tidur dimana?
Ah, sudahlah lebih baik shalat dulu pikirku.
Pukul 06.10 aku sudah berkali kali mencoba menghubungi ponsel nya, tapi juga di angkat.
Aku mencoba lagi, berharap dia menjawab. Ah tapi nihil.
Aku mendengar derit pintu pagar di buka, aku melihat dari balik tirai jendela, mas ahmad pulang. Aku mencoba besikap biasa saja, dan mencoba untuk tidak mencerca nya dengan pertanyaan yang menumpuk di benak ku.
Aku buka kan pintu dan berusaha tersenyum, walau ku tahu dia pasti tahu senyum ini terlihat di paksakan.
" Kamu darimana mas?, Kok gak pulang semalam"
"Aku capek, harus ke kantor mau mandi" dia naik ke kamar dan bersiap siap pergi ke kantor.
Aku menyiapkan bekal nya seperti biasa.
Aku mendengar suara derap langkah kaki menuruni tangga, bergegas dan berlalu, aku buru buru mengejar nya " mas, ini bekal mu" dia tak menghiraukan ku, dan kembali pergi dengan motor nya.
Aku terhenyak, ada apa ini? Biasanya walaupun kami bertengkar dia tak pernah mengabaikan dan tak membawa bekal yang ku buat.
Jam 18.10 aku sengaja menunggu mas ahmad pulang, aku harus bicara, dan bertanya ada apa dengan nya. Amar aku aku gendong dan kami duduk di ruang tamu sambil menunggu mas ahmad pulang.
Tak lama aku mendengar suara motor nya, aku bergegas berlari membuka pagar.
" Papa pulang Amar" kataku sambil tersenyum dan berusaha meraih tangan nya untuk ku cium, tapi dia tepis dan melangkah masuk ke rumah, bahkan amar pun tak di perdulikan. Ada rasa perih di hati, tapi aku mencoba bersabar, aku menyiapkan kopi hangat dan menunggu mas ahmad berganti baju di ruang makan.
" mas, kita perlu bicara " kataku sambil memberikan kopi hangat nya.
" kamu mau bertanya aku kemana? Dan tidur dimana? " " iya, dan aku juga ingin tahu ada apa dengan mu mas, kamu tidak seperti biasanya"
"Sebaiknya kamu jangan bertanya, aku yakin kamu tak ingin mendengar jawaban nya"
Aku semakin tak karuan mendengar jawaban nya, "maksud mu?" tanyaku tak sabar.
"Aku bermalam di tempat vera." jawab nya santai, seakan akan tak ada yang salah dengan apa yang dia ucapkan.
Aku seperti tersengat seribu lebah dan tenggelam didalam sungai terdalam secara bersamaan. " Ve.. Vera? Teman kantor mu? "
"Ya, aku lelah menutupi nya darimu, aku dan dia berhubungan sudah lebih 4 tahun, jauh sebelum aku mengenal dirimu dan menikahi mu, tapi hubungan ini tak mendapat restu keluarga ku, karena dia seorang janda, dan dia memutuskan hubungan kami, aku marah dan akhirnya mendekati mu dan mengajak mu menikah, itu semua untuk membuat vera cemburu dan membuat keluarga ku diam" dia menceritakan itu semua seakan akan tanpa beban dan rasa bersalah.
Aku terguncang, tak mampu berkata kata, aku melihat Amar telah tertidur di gendongan ku. Aku melangkah ke atas untuk meletak kan Amar di tempat tidur nya, aku diam, shock, hingga tak mampu berkata, persis seperti orang kehilangan akal dan pikiran.
Aku meletakkan Amar di tempat tidurnya, dan berjalan duduk ke sisi ranjang, terdiam dan diam. Mencoba mencerna apa yang terjadi dan apa yang dikatakan mas ahmad barusan. Menitik air mata ini dan pecah tangis ku tertahan, tak kuasa ku menahan emosi yang meledak di dada, tapi aku mencoba tetap waras, setelah mampu menenangkan diri, aku kembali turun.
Ku dapati mas ahmad masih terduduk di tempat yang sama dalam diam.
Tak ku dapati wajah menyesal di wajah nya, aku kembali duduk di hadapan nya, dan bertanya " Lalu, sekarang mas ahmad mau aku bagaimana? " dia sedikit terkejut dengan reaksi datar ku dan terlihat wajah nya penuh kebingungan.
" Aku tak akan menceraikan mu, tapi aku juga tak bisa melepaskan vera"
Aarrrghhh aku menahan emosi untuk tak meledak mendengar pernyataan egois nya.
Apakah dia kira aku tak punya perasaan dan hati? Butakah mata hati nya?
" Baik, jika itu keputusan mu, aku mencoba bertahan semampu ku, aku tak meminta cerai karena kita memiliki seseorang yang harus di pertahankan, Amar." aku sendiri terkejut darimana aku dapat pemikiran seperti ini? Dariman kekuatan ku? Tapi yang jelas aku tak ingin bercerai dari lelaki ini karena anak ku akan kehilang sosok ayah, walau terkadang dia juga tak peduli dengan Amar. | Cerpen Sedih Di Tepi Penantian Ini Aku Menunggumu
- Bersambung -