Catatan Hati Seorang Playboy Sejati

Oh - thinking about all our younger years There was only you and me  We were young and wild and free  Now nothing can take you away from me We bin down that road before  But that's over now  You keep me coming back for more Baby you're all that I want When you're lying here in my arms I'm finding it hard to believe We're in heaven
And love is all that I need And I found it there in your heart It isn't too hard to see We're in heaven

Di atap sekolah, kumainkan jemari pada senar-senar gitar, seraya mendendangkan salah satu lagu dari penyanyi paling terkenal; Bryan Adams.  | Cerpen Lucu Catatan Hati Seorang Playboy Sejati

Di samping kanan, pria berkamata tebal turut duduk bersila dengan punggung membungkuk, fokus pada game yang beberapa bulan terakhir ini menjadi booming di kalangan para gamers. Terkadang ia bersorak, kadang mengumpat tidak jelas. Tidak jauh beda seperti orang gila.

Guru yang seharusnya mengajar pagi ini, tidak masuk karena terserang cacar, sehingga tidak bisa mengajar. Beliau juga tidak meninggalkan tugas atau semacamnya. Oleh karena itu, aku bisa bersantai ria di sini.

Tetiba, ponsel yang sengaja kusimpan di saku almamater merah, berkali-kali berdering, merusak kedamaian siang ini.
Beberapa pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Angel--kekasihku yang entah nomor berapa, muncul di layar selebar lima inchi ber-wallpaper animasi piano tersebut.

[Kak, aku udah ada di taman. Kakak di mana?]

[Kak, kok gak dibales? Kita jadi ketemu, kan?]

[Kaaaakkk...]

Ck… sial! Aku hampir lupa jika jam sebelas nanti ada janji dengan ketua cheerleader tersebut.

"Di, aku pergi dulu, ya," kuraih gitar akustik putih, lantas segera bangkit.

"Kau mau kemana, Za?" Dion mematikan game, menaikkan pandangan.

"Biasa, ada jadwal dengan Angel!"

"Jadwal mutusin?" pria bergaya rambut medium cut itu menaikkan sebelah alis. Aku mengedikkan kepala, tanpa berkata-kata. Kukira, kami sudah berteman lama, terhitung entah sejak kapan. Dion pasti sudah tahu apa yang hendak kulakukan, tanpa perlu penjelasan, "memangnya gak bisa lewat pesan atau telepon aja, Za? Kan lebih gampang!"

Aku menghela napas berat, menurunkan pandangan padanya, "dengar ya, hanya pria biadab yang memutuskan kekasihnya lewat pesan."

Mendengar perkataanku, Dion langsung memasang wajah idiot. Bibir terangkat sebelah, mata yang memperhatikanku dari atas sampai bawah. Tatapan merendahkan.

"A--"

"Oke, aku cabut dulu, ya!" tanpa memberi kesempatan berbicara, segera kulangkahkan kaki cepat, meninggalkannya sendiri.

Melihat bagaimana ekspresinya tadi, aku sudah tahu apa yang hendak ia katakan. Sesuatu seperti, ' ya, sebenarnya seorang Fahreza yang memiliki banyak kekasih hanya untuk ia pacari selama tujuh hari, sudah sangat biadab. Bagaimana, ia sok-sok'an tidak biadab dengan tidak mau memutuskan hubungan hanya melalui telepon?'

Sedikit menyakitkan, memang. Tetapi, itu fakta. Jadi, sepertinya aku tidak akan terlalu sakit hati jika Dion benar-benar mengatakannya hal demikian, tadi.

Lima menit tersisa.
Kami berjanji bertemu di taman siswa, yang terletak cukup jauh dari roof top. Oleh sebab itu, aku harus buru-buru agar tidak terlambat memutuskan hubungan kami.

Bruuukkk…,

Tanpa sengaja, aku menabrak seseorang hingga membuat barang-barang yang dibawanya jatuh.

"Aiissshh…, bukuku!" ia meringgis pelan, lantas segera berjongkok memunguti buku-buku dan kertas yang berserakan di lantai.

"Sorry, sorry, aku enggak sengaja!" tanpa dikomando, segera kubantu gadis yang aku tidak tahu siapa dia.

Novel setebal tiga jari, kamus Jhon Echole, kertas-kertas berisi tulisan tangan, dan beberapa buku tebal lain. Dari apa yang dia bawa, sepertinya aku baru saja menabrak seorang kutu buku.

"Ini," kuserahkan jendela-jendela dunia tersebut.

Aku nyaris tidak berkedip melihat seraut wajah polos tanpa make up dengan kacamata berbentuk lingkaran sempurna, ketika ia mendongak. Bibir tipis merah muda, cupid hidung ramping, iris mata hitam legam. Wajah itu….

"Lain kali kalau jalan hati-hati, selain pake kaki, matanya juga dipake!" ujarnya, sarkastik, lantas segera bergegas pergi meninggalkanku begitu saja.  | Cerpen Lucu Catatan Hati Seorang Playboy Sejati 

Aku membisu. Memperhatikan punggung yang kian lama kian menghilang di belokan koridor. Hingga dering telepon dari Angel mengembalikan kesadaranku.

Di balkon kamar, aku duduk menatap rembulan dan bintang-bintang. Agenda memutuskan Angel tadi siang, berjalan lancar. Tidak ada tamparan ataupun segelas air yang ia tumpahkan padaku, seperti yang sering kudapatkan dari beberapa mantan terdahulu. Hanya ada tangisan dan air mata.
Tetapi, entah mengapa rasanya ada yang sakit sekali.
Wajah gadis yang tidak sengaja kutabrak tadi siang, terus terngiang; mengingatkanku pada seseorang yang tidak seharusnya kuingat. Seseorang yang tidak pernah bisa kulupakan meski kenangan bersamanya kucoba kubur dalam-dalam.

Sebuah kotak kaca berisi origami angsa biru, yang sedari tadi dalam genggaman, kuangkat dan menyejajarkannya dengan letak bulan separuh. Angsa yang menjadi saksi bisu betapa menyedihkannya aku.

"Kakak, sedang apa?"

Aku terperanjat dan langsung menyembunyikan kotak tersebut di belakang punggung.
Entah sejak kapan Bunda berada di ambang pintu, suara langkahnya sama sekali tidak terdengar olehku.

"Enggak ada kok, Bunda. Cuma lagi nyari angin!"

Sekilas wanita berpiyama ungu bunga-bunga itu bergeming, lantas mendekat, menyerahkan sebuah amplop hitam dari sakunya, "tadi ada yang kirim ini ke rumah," lanjutnya kemudian.

Sepucuk surat dari Erlando. Umpatan-umpatan kasar dan tantangan untuk mengajakku berduel dengannya, tertulis dengan jelas di sana, menggunakan huruf kapital semua. Angel! Gadis itu pasti mengadukanku pada Kakaknya tersebut. Haiissshh, padahal seharusnya ia tampar saja wajahku! Itu lebih baik dari pada harus berkelahi dengan Erlando yang notabennya adalah preman sekolah.
Bukan karena aku takut melawan, tetapi itu hanya membuang-buang waktu. Lagi pula, tanpa berkelahi pun aku sudah tahu jika aku pasti babak belur dihajarnya.

"Bunda tidak mau, Kakak berkelahi." Bunda menatapku sendu, "bukankah sudah bunda katakan, jangan menyakiti hati perempuan?! Sekarang, begini akibatnya!"

Kudongakkan kepala,seraya memasang senyuman selebar mungkin.

"Tenang saja Bunda, Kakak tidak akan berkelahi, kok. Dan Kakak juga tidak pernah menyakiti perempuan, justru Kakak yang sering disakiti. Sering ditampar, bahkan ditinju. Di tempat umum, pula." ucapku, mencoba menghilangkan khawatirannya.

Perempuan beriris hitam legam itu menarik napas panjang, menatapku semakin dalam.

"Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dekat dengan hati, untuk dikasihi. Dekat dengan tangan, untuk dilindungi. Bukan untuk disakiti. Lagi pula, Bunda juga perempuan, bagaimana jika ada yang menyakiti Bunda, Kakak rela?"Aku membisu tidak biaa berkata-kata, "Bunda tahu, Kakak adalah pria yang baik. Jangan biarkan dendam menyamarkan kebaikan itu," lanjutnya seraya mengusap pucuk kepalaku lembut.


Kecupan hangat juga ia daratkan di sana, sebelum akhirnya keluar ruangan, meninggalkanku bersama pikiran-pikiran yang semakin menambah sesak di dada.

Perempuan diciptakan dari tulang rusuk, ya? Dekat dengan hati, untuk dikasihi. Dekat dengan tangan, untuk dilindungi.

Tetapi, jika tulang rusuk itu malah merobek hati, apakah tangan dan hati tetap harus melindungi dan mengasihinya, Bunda? | Cerpen Lucu Catatan Hati Seorang Playboy Sejati 

                                                                                      ~Bersambung~