Awas Jangan Lupa Untuk Bahagia

[Mba, ada hal-hal di masa kecil yang belum kesampaian sampai sekarang?]

Sebuah pesan masuk dari seorang teman yang berprofesi sebagai psikolog. Saat itu saya sedang membantu di kliniknya dan sekaligus berkonsultasi soal diri saya.

[Seperti apa, Bu?] balas saya kurang paham. | Cerpen Motivasi Awas Jangan Lupa Untuk Bahagia

Dia membalas,

[Misalnya dulu pengen main hujan tapi dilarang, atau mau sesuatu tapi belum kebeli, atau mau apa gitu.]

Saya berpikir keras. Apa ya? Tiba-tiba saya ingat satu barang. Saya membalas pesan itu,

[Waktu SMP, teman-teman saya beli sepatu warrior, saya tidak karena tidak punya uang.]

Kenangan itu tiba-tiba tergambar jelas di depan mata.

Selepas baba saya meninggal dunia, otomatis keluarga kami menghadapi kesulitan keuangan. Emak, yang seorang ibu rumah tangga, harus berjuang dengan 8 anak yang masih sekolah. Saya yang sebenarnya diterima di SMP negeri hampir tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya. Alhamdulillah ada teman Baba yang merekomendasikan saya ke pengurus Muhammadiyah. Biaya SPP saya ditanggung 100% jika ranking 1. Jika saya tidak mendapat ranking 1, SPP hanya ditanggung separuh. Alhamdulillah akhirnya saya bisa melanjutkan ke SMP.

Soal sepatu.
Karena tidak ada biaya, saya tidak bisa membeli sepatu sekolah. Alhamdulillah ada saudara yang memberikan sepatu bekas anaknya. Melangkahlah saya setiap hari dengan sepatu itu. Ujian datang setiap kali hari hujan. Jalanan yang becek dan sepatu yang agak berlubang, membuat kaos kaki basah dan kotor. Seharian di sekolah dengan kondisi kaki yang lembab sangat tidak nyaman, tetapi saya menjalaninya saja hingga menjadi terbiasa.

Sebenarnya tidak ada rasa iri melihat teman-teman lain bergonta-ganti sepatu, tetapi ternyata kenangan masa kecil itu masuk ke alam bawah sadar saya. Hingga saya dewasa, setiap kali saya ke mall, tanpa saya sadari mengapa, saya sering melirik sepatu jenis warrior seperti yang dipakai teman-teman saya dulu.

[Kalau begitu, segera beli sepatunya Mba. Jangan ditunda!] teman saya mengirimkan pesan lagi.

[Duh Bu, sekarang saya udah emak-emak. Apalagi banyak kebutuhan nih. Belum bayar SPP anak dan kotrakan. G usah beli gapapa ya?] saya berusaha berkelit.

[Harus beli. Itu salah satu utang masa kecil Mba Fitri. Sudah 24 tahun, lunasi segera!] teman saya bersikeras.

Jadilah besoknya saya mencari sepatu itu. Bertepatan sekali dengan beberapa hari sebelumnya saya melihat seorang teman baru saja membeli sepatu sejenis bermerek Con*****. Saya menanyakan harganya ke dia. Lumayan mahal ternyata.

Saya pergi ke sebuah mall di bilangan Senen, mencari toko yang menjual sepatu itu. Di sana ada sepatu yang teman saya pakai, dan harganya sama dengan yang dia sampaikan. Saya tidak segera membelinya walaupun uangnya sudah bawa di dompet. Jiwa emak-emak saya masih berharap ada diskon atau harga yang lebih murah. Saya mencoba mencari alternatif lain.

Saya keluar dari mall tersebut dan dengan ojol saya pergi ke mall di Blok M, dekat tempat saya mengajar. Sebulan lalu saya membelikan Miqdad sepatu seperti itu bermerek Le*** dengan diskon yang lumayan. Setiba di sana, di area produk yang didiskon ternyata tidak ada sepatu yang sreg di hati.

Naiklah saya ke lantai atas, menuju toko sepatu Con***** lagi. Tujuannya membeli sepatu yang sudah saya lihat di mall sebelumnya. Ketika masuk ke toko, mata saya malah tertuju ke sepasang sepatu yang limited edition. Kacau nih, pikir saya. Kenapa malah naksir yang lebih mahal.

Tiba-tiba seperti ada firasat, teman saya menelepon.

"Sudah dapat sepatunya, Mba?" todongnya ke saya.

"Belum Bu. Ini rencananya nyari yang diskon, eh kok malah naksir yang mahal hahaha." jawab saya sambil menertawakan diri sendiri.

"Ya udah beli sekarang. Jangan ditunda, jangan diganti sama yang lain ya" berondongnya cepat.

Uang saya kurang Bu. Yang saya naksir harganya lebih mahal. Kapan-kapan aja ya saya balik lagi." saya berusaha mengelak. Berharap uang yang ada di dompet tidak perlu keluar untuk sepatu itu.

"Kurang berapa?" dia terus memburu saya.

"Beberapa ratus ribu. Nanti saya telepon teman dulu minta transferin." jawab saya cepat sebelum dia menawarkan diri meminjamkan uang. Usaha saya mengelak dari membeli sepatu ini ternyata sia-sia.

Akhirnya saya menghubungi seorang teman dan dia mentransfer uang ke rekening saya. Jantung saya berdegup kencang ketika membawa sepatu itu ke kasir. Bukan apa-apa. Belum pernah saya mengeluarkan uang sebesar ini hanya untuk "kesenangan" saya. Rasanya kok boros banget.

Bismillah.. Bismillah.. Saya coba menguatkan hati.

Selesai pembayaran, teman saya menelepon lagi.

"Gimana perasaan Mba Fitri sekarang?" suaranya menujukkan dia bertanya sambil tersenyum.

"Dada saya deg-degan Bu. Seneng sampai mau jingkrak-jingkrak, tapi harganya bikin sakit perut." saja jawab sambil bingung mendeskripsikan rasa yang ada di hati.

"Mba Fitri berhak membahagiakan diri sendiri. Mba sudah bekerja keras. Boleh kok sekali-kali Mba berpikir untuk diri sendiri, sayang ke diri sendiri, tidak melulu untuk orang lain... Sekarang Mba pikirkan apa saja utang-utang masa kecil yang lain, cicil satu-satu ya."

Sayangi diri sendiri? Perlukah?

Seorang perempuan, entah kenapa, seperti terlahir dengan jiwa pengorbanan yang begitu besar. Mengandung sekian lama, mempertaruhkan nyawa untuk bayinya, kurang tidur demi keluarganya, mengalahkan keinginannya, sepertinya sudah menjadi sesuatu yang mengalir bersama darah, berdenyut seirama jantung seorang perempuan.

Berkorban dan perempuan adalah kata yang tidak terpisahkan.

Hingga sering kali, seorang perempuan, terutama yang sudah berkeluarga, merasa bersalah ketika melakukan hal untuk kesenangan dirinya, entah membeli barang yang dia suka, pergi ke satu tempat untuk relaksasi, atau sekadar "me time" sejenak di rumah.

Akhirnya banyak yang terjebak dalam situasi jenuh, tidak berdaya dan berujung tidak bahagia. Padahal seseorang yang tidak berbahagia, tidak akan bisa membahagiakan orang lain.

Teko hanya mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.

Jika hati seorang perempuan penuh berisi kasih sayang kebahagiaan, maka dia akan menumpahkan kasih sayang itu kepada seisi rumah. Jika hati seorang perempuan dijejali dengan rasa sakit ketidakbahagiaan, maka atmosfir rumah layaknya akan seperti kuburan, lebih buruk lagi seperti neraka. Baiti jannati, rumahku surgaku, tidak tercipta.

Kembali ke pertanyaan di atas:
Sayangi diri sendiri? Perlukah?

Pernah seorang perempuan datang ke saya dengan wajah yang sangat tertekan. Usianya menjelang kepala lima dan belum juga menikah. Keluarganya sudah mendesak. Dia bingung. Sudah pasti dia akan bingung karena mencari pasangan tidak semudah mencari sepasang sepatu di mall.

"Kenapa Mba mau menikah?" tanya saya hati-hati sambil menatap mata sendunya.

"Keluarga saya mendesak terus karena malu dengan tetangga. Dan saya juga mau bahagia seperti orang lain." jawab dia sambil menunduk.

"Mba sudah merasa bahagia sekarang?" tanya saya dengan suara agak ditekan, memastikan dia mengerti pertanyaan saya.

Yang ditanya tidak menjawab. Malah makin menunduk.

"Kalau Mba belum bisa bahagia sekarang, bagaimana Mba yakin bahwa dengan menikah Mba akan bahagia?"

"Kalau Mba tidak tahu caranya membahagiakan diri sendiri, bagaimana Mba yakin bawa suami Mba kelak bisa tahu caranya membahagiakan Mba?

"Kalau Mba tidak merasa bahagia, bagaimana Mba akan membahagiakan orang lain?"

Saya memburunya dengan pertanyaan.

Dia diam. Menangis.

"Menikahlah karena Mba memang ingin menikah, bukan karena orang lain. Ini kehidupan Mba, bukan keluarga Mba. Jika Mba tidak bahagia karena asal cepat menikah, siapa yang akan menderita? Mba juga kan? Mba bisa kok bahagia sekarang tanpa harus menunggu menikah dulu. Menjalani hidup sendiri, ada ujiannya. Menjalani pernikahan, juga ada ujiannya. Memiliki anak, ada pula ujiannya yang lain. Yang kita cari berkah-Nya Mba. Apa pun kondisi yang Allah takdirkan atas diri kita."

Panjang lebar saya berbicara mencoba membuatnya melihat hidup dengan sudut pandang berbeda.

Mungkin dia bukan satu-satunya yang berada dalam kondisi itu. Ada banyak perempuan di luar sana yang berharap orang lain bisa menolongnya keluar dari kondisi yang dia tidak mengerti harus bagaimana, selain sekadar menjalani hidup tanpa bisa menikmatinya. | Cerpen Motivasi Awas Jangan Lupa Untuk Bahagia

Padahal, tidak ada yang bisa menolong diri kita selain kita sendiri.
Sayangi diri kita, barulah kita bisa menyayangi orang lain.

Hargai diri kita, barulah kita bisa menghargai orang lain.

Apresiasi diri kita, barulah kita bisa mengapresiasi orang lain.

Karena kita berarti.

Sebuah pesan whatsapp masuk dari seorang teman,

[Mbaa, jangan lupa bahagia yaa! :)]

Saya tersenyum.