Anakku Adalah Anakmu Dan Juga Anak Mereka

Agak terkejut, kali ini dia mengajak mengisi perut di tempat yang agak jauh. Sebuah rumah makan nuansa pedesaan dengan ornamen ala pulau Dewata. Meja dihias lilin cahaya redup, sentuhan musik klasik mengalun indah di telinga. | Cerpen Lucu Anakku Adalah Anakmu Dan Juga Anak Mereka

Ah! Ini hari apa? Hanya Jum'at biasa, di mana aku berangkat ke kampus dan kantor sekretariat pers. Mengerjakan tugas, lalu dikumpulkan. Juga bercengkrama dengan sesama mahasiswa. Hingga ajakannya yang tiba-tiba --waktunya kurang tepat karena setelah ini masih banyak tugas harus dikerjakan-- cukup membantu memperbaiki mood-ku, belakangan sedang buruk.

Dia menyantap lahap setengah bebek krispi dicocol dengan sambal matah. Sambil berceloteh, seperti biasa dia yang lebih banyak bercerita. Begitu semangat. Tentang cuaca, orang-orang yang ia temui, juga berbagai kesibukan lain.

Aku terkekeh, tersenyum, sesekali menimpali sambil menikmati sajian rasa rempah begitu khas. Nanti giliranku juga tiba untuk bicara lebih banyak.

"Kalau tiga gimana, Dek?"

Tiga? Apanya?

"Anak,"

Heump?! Ugh! Aku terbatuk. Air yang kuminum menyangkut di kerongkongan. Sakit sampai hidung. Masya Allah!

Dia tertawa, membersihkan mulut selesai makan. Dasar dia! Sebelumnya pernah bahas ini juga. Kukira dia bercanda.

"Menikah aja, belum!"

Masih lelaki itu tertawa, manis. Menopang dagu di atas meja. "Pipi kamu merah, kayak tomat segar."

"Abang mempermainkan, ya?!"

"Jangan galak-galak, Dek. Masih aja begitu."

Menarik napas, membersihkan mulut dan tangan. Kutenggak habis segelas air. Berharap reda panas dipipi. Dia sudah banyak tahu kekuranganku, anehnya dia tetap bertahan di sini. Memaafkan setiap kali aku kelepasan.

Rasanya masih terlalu dini membahas keturunan. Tapi Ibu saja, di usia yang sama sepertiku sekarang, sudah punya buku nikah.

Seniorku di depan ini pernah bilang, 'tak ada solusi lain bagi laki-laki dan perempuan yang saling mencintai, selain ikatan pernikahan.'

Ya. Dakwah juga sering menyampaikan demikian.

"Bang,"

"Hm?"

Ini mungkin saat yang tepat, dia harus tahu pandanganku terhadap anak-anak. Apa dia mau menerima cara berpikirku kali ini.

Membuka browser ponsel, mengetikkan sesuatu. Hasil pencarian kutunjukkan pada dia.

"Data statistik terbaru jumlah penduduk Indonesia, hampir 262 juta jiwa," kataku. Dia berdehem. Matanya menunjukkan ketertarikan.

"Diantara jumlah penduduk itu, ada banyak anak terlantar. Data terakhir yang Nyla cari, 16 ribu lebih. Belum lagi masalah kesejahteraan belum merata. Permasalahan bangsa kita terlalu kompleks, solusi ada ... tapi tanpa tindakan, percuma."

"Hm. Lalu?"

"Nyla miris sama kepadatan penduduk, setiap hari anak lahir, tumbuh ... berkembang, tapi gak disuplai dengan ilmu, akhlak, dan gizi yang baik."

"Perkembangan ekonomi kita masih belum stabil, itu salah satu sebab. Jurang pemisah antar golongan jauh banget. Kelihatan dari banyaknya rumah-rumah penduduk belum layak. Waktu Abang ikut-ikutan ke Amerika dulu, tampak kesetaraaan antar warga. Bentuk setiap rumah di sana hampir semua sama. Di sini ... ada rumah gubuk, rumah sederhana, mewah, mewah banget, banget mewah." Dia terkekeh menggeleng.

Baiklah. Tembakanku bisa-bisa meleset. Dia mulai serius membahas lebih luas kesemrawutan Indonesia.

"Nah, balik ke jumlah penduduk dan anak tanpa orang tua. Kalau setiap orang cuma peduli sama kehidupannya sendiri. Siapa yang peduli sama kehidupan anak-anak itu, Bang?"

Dia diam.

"Kalau Nyla punya banyak anak juga, nanti jadi sulit ngasih kesempatan ke anak kurang beruntung, kasih sayang utuh orangtua."

"Tiga gak banyak, Dek," jawabnya polos.

"Nyla mau punya satu, lainnya adopsi. Dua atau tiga anak adopsi."

"Dua anak sendiri, satu anak adopsi," sanggahnya.

"Satu anak sendiri, dua anak adopsi," | Cerpen Lucu Anakku Adalah Anakmu Dan Juga Anak Mereka

Matanya berkaca-kaca. Ah! Dia tampak kecewa.

"Membantu menghindari bertambahnya kepadatan penduduk, mengurangi jumlah anak terlantar."

Kutatap jingga dibalik nyiur hijau menghampar rumah makan lesehan. Pemandangan indah nan syahdu.

"Berat, apalagi sebagai orang bermarga yang mementingkan penerus silsilah seperti Abang."

Tersenyum, ada rasa masam. Mungkin sulit menerima cara berpikir ini. Pernah kubahas juga dengan keempat sahabat perempuanku. Tak ada satupun yang setuju.

Mereka bilang, aku bisa beranggapan begitu ... tapi si suami? Apakah bisa mengerti? Lalu mengurus anak orang lain bukan perkara kecil. Apalagi sampai mengambil tiga?!

Aku mengerti hal ini tidak semudah membalik telapak tangan.

Dia menghela napas panjang. Tersenyum penuh keikhlasan, "insya Allah. Bismillah. Ayo kita lakukan,"

"Apanya?"

Dia menyeringai.

"Muka mesum!"

Si Abang tertawa terbahak. Kesal juga malu kurasa.

"Tahun depan ya, Dek. Selesai wisuda."

Aku mengangkat bahu. Kalau saja tidak menunda penyusunan skripsi, mungkin akhir tahun ini ada kata sah! Apalagi dari beberapa sisi dia sudah cukup mampu membangun keluarga.

"Anak nyusul setelah Nyla lanjut S-2 di Eropa."

"Bukan masalah. Tapi satu anak sendiri, dua adopsi. Kalau mengejar karir, bisa urus semua?"

"S2-nya pake buat ngajar anak-anak."

"Alhamdulillah. Bener ya, jadilah istri salehah. Ladang ilmu untuk anak-anak. Kalau begitu mau nambah anak adopsi pun, bukan masalah," senyumnya merekah.

Ya ... banyak lelaki tentu ingin istri utuh menjadi ibu. Tapi tentu dia tidak terlalu berharap, sudah tahu aku terbiasa tak bisa diam menunggu. Semoga Allah gerakkan tangan dan kaki ini kelak agar menjadi guru dan sahabat terbaik pasukan kecilku.

"Nanti Abang harus bisa menyamaratakan kasih sayang, bantu Nyla mendidik anak-anak."

"Iya, Nyonya, Bismillah...." lelaki usia dua tahun diatasku itu merapikan kemeja putihnya. Menyeruput sekali lagi es kelapa muda, bangkit dari lesehan menuju kasir.

Hari ini awalnya biasa, tapi waktu luang yang dia punya juga pembicaaran barusan, menjadikan jumat sore ini terasa begitu khusus dan istimewa. Tak perlu menunggu malam minggu.

Berbicara tentang anak-anak, rasanya menyenangkan. Apalagi dengan sang pujaan.

Ah! Teringat tugas masih menumpuk!

"Abang harus bantu mengerjakan sebagian tugas Nyla!" celetukku waktu dia kembali.

"Siksa aja Abang terus, Dek." | Cerpen Lucu Anakku Adalah Anakmu Dan Juga Anak Mereka