Aku Telah Mematahkan Cintamu Ibuku

Hari ini adalah pertama kalinya setelah delapan tahun bekerja di negeri ginseng, Korea Selatan. Desi kembali menginjakkan kaki ke rumah sederhana berdinding dan beratapkan anyaman bambu. Terdiri atas satu ruang tamu dan dua kamar juga satu dapur dengan luas masing-masing tak lebih dari tiga meter persegi. Sungguh sangat jauh dari kata layak. Alas yang masih tak terselimut oleh semen apalagi keramik. Masih dengan warna tanah yang kerap kali lembab saat hujan tiba. Berbeda dengan tempat Desi di Seoul. Meski kehidupan sosial di sana cukup berjarak karena kebanyakan penduduknya cendengung memiliki sifat individu, tapi Desi dapat tidur di kasur yang empuk setelah seharian bekerja. Memesan makanan sesuka hati ketika perut sudah mulai bersenandung ringan. Berlibur di tempat mana pun yang gadis itu inginkan. Membeli peralatan kosmetik yang mahal demi menjaga kemolekan wajahnya. Desi benar-benar menikmati keringat hasil kerjanya sendiri.

Desi melangkah ke ruang tamu lalu duduk dengan tatapan kosong hingga ia melihat remaja perempuan berusia sekitar lima belas tahun berada tepat beberapa langkah di depannya. Rambutnya disisir pelan namun rapi oleh seorang Ibu paruh baya. | Cerpen Ibu Aku Telah Mematahkan Cintamu Ibuku

"Pelan pelan, Bu," anak itu protes terhadap ibunya.

"Ini sudah hampir selesai, Nak," wanita itu dengan sabar mengikat rambut si anak dengan kuncir kuda.

"Nanti aku terlambat main!" sedikit membentak dan kemudian menjauh dari ibunya.

"Kemarin, Ani ulang tahun dapet sepeda baru. Mila juga dapet oleh-oleh boneka panda yang besar dari ayahnya. Ibu kapan ngasih aku hadiah?"

"Kalau buah nangka di belakang rumah kita sudah matang, Ibu akan bawa ke pasar, Nak. Sabar ya."

"Waktu itu dijanjikan mau jual ayam. Tapi belum juga dibeliin. Ibu ga sayang sama aku!"

"Kan uangnya ibu pakai buat bayar ngutang beras minggu lalu ke Bu Eti, sabar Nduk, kalau ada uang pasti Ibu beliin," Ibunya mencoba mengelus rambut sang anak tapi kemudian ditepis kasar.

"Halah, aku ga percaya sama Ibu!" kemudian ia pergi.

Sang ibu hanya duduk sembari mengusap kelopak matanya beberapa kali. Beliau menangis namun beliau malu menunjukkannya. Apa dia malu pada Desi? apakah dia melihat Desi ketika gadis itu melihatnya?

Geram. Ingin rasanya Desi menampar anak itu, apa dia tak paham raut wajah sendu sang Ibu? apa dia tak mengerti bahwa bentakannya meretakkan hati ibunya? sungguh, apakah dia terlalu kecil untuk tahu hal itu?

Desi sudah tak kuat melihatnya, matanya ikut berkaca. Desi memutuskan untuk memasuki ruang tengah. Sangat sempit, mungkin hanya bisa dilalui oleh dua orang. Dengan langkah kaki gontai, Desi terus menyusuri rumah hingga mendengar suara dari sebuah kamar. Ia mencoba mengintip dari balik tirai yang usang dan penuh jahitan di beberapa sisi. Tampak remaja tadi sedang berbaring, apakah dia melarikan diri ke kamar Karena kesal terhadap ibunya.

"Bu!"

Tak ada tanggapan, anak itu kembali berteriak.

"Bu!"

Ibunya dengan langkah terbirit-birit masuk kamar menghampiri si anak.

"Kemana aja, sih? masak harus dipanggil dua kali biar denger," ia mendengus kesal.

"Tadi ibu ketiduran, Nak, maaf," suara sang Ibu melemah.

"Aku pegel-pegel semua nih, Ibu sih gak beliin aku sepeda. Tega aku jalan tiap hari?"

Mata ibunya mulai meremang, beliau mau menangis namun tak ingin anaknya tahu. Ia tak boleh lemah. Menangis hanya akan membuat sang anak semakin acuh.

"Maafin Ibu, Nak. Sini mana yang mau Ibu pijitin?

" Maaf... Maaf lagi. Bosen, Bu! ia menunjuk betisnya, "nih, yang ini."

Dengan telaten sang Ibu memijat si anak. Beliau selalu merasa bersalah saat buah hatinya menderita. Ia merasa tak bisa mengurus anaknya dengan baik. Padahal, ketika sang anak baru lahir, telah ia bisikkan di telinga si bayi bahwa ia takkan membiarkan bayi perempuan itu menangis karena kelaparan atau kesusahan. Meski seorang diri karena sang suami meninggal sepuluh tahun silam, ia akan berjuang untuk membuatnya setara dengan yang lain meski kehidupan mereka serba kekurangan. Tapi sekarang? ia seolah merasa ingkar atas ikrar yang ia sepakati sendiri.

Tak terasa anaknya tertidur setelah mendapat pijatan yang sangat baik dari sang ibunda. Mungkin pijatannya terkesan biasa, namun rasa sayang yang begitu besar membuatnya menjadi luar biasa.

"Ibu menyayangimu, Nak." kemudian beliau mencium kening si anak.

Sungguh. Pemandangan yang menakjubkan. Andai gadis remaja itu mengerti bahwa ada malaikat bernama Ibu yang menjaganya setiap waktu. Selalu bersedia melakukan segala hal agar si anak bahagia bahkan nyawa ia pertaruhkan. Karena yang terpenting adalah, saat sang anak baik-baik saja dan bahagia, itu sudah cukup.

Beberapa jam berlalu, aku semakin tertarik pada keluarga ini. Langkahku terhenti di pintu dapur, tepatnya saat melihat remaja tadi menjatuhkan piringnya dengan sengaja. Tentu saja membuat ibunya khawatir.

"Nak, Kamu gapapa? gaada yang kena pecahannya, kan?" sang Ibu mengelus tangan si anak dengan gemetar, takut terjadi sesuatu pada remaja tersebut.

"Udah, ah! Ibu bisa masak ga sih? tiap hari makan tempe, kalau gak tempe, ya tahu. Aku bosen, Bu! Bosen!"

Remaja tersebut terus saja membentak sang Ibu. Tanpa ia ketahui atau sudah tahu tapi memilih tak peduli, bahwa ibunya memilih tidak memakan tempenya demi si buah hati supaya bisa makan dengan lauk, bukan hanya nasi. Karena ibunya tahu, rasanya akan sangat hambar.

"Cape aku, Bu! hidup miskin sejak dulu. Aku pengen pergi, cari kerja dapet uang banyak biar kaya."

"Hus, jangan ngomong gitu, Nak. Kita harus tetap bersyukur. Uang tidak akan bisa menggantikan kebersamaan kita, kebersamaan Ibu sama kamu."

"Tapi uang bisa bikin aku ga makan tempe tiap hari. Ibu sih, dulu males kerja. Miskin kan kita jadinya."

"Astaghfirullah ... Nyebut Nak, nyebut."

"Halah. Pokoknya bulan depan, aku udah mantap mau kerja jauh."

"Terus Ibu sama siapa, Nduk?"

"Ya, gak tau, bukan urusanku."

Sudah tak tahan lagi, bulir cair mengalir deras di pipi perempuan paruh baya tersebut. Anak semata wayangnya memilih untuk meninggalkannya. Padahal, jika sang anak ingin membantu perekonomian keluarga, ia tak perlu merantau. Remaja tersebut akan segera lulus dari Sekolah Menengah Pertama, tetangganya banyak yang menawarkan untuk menjadi buruh cuci, ada juga yang pernah menyuruh anak itu menjaga toko di desa tetangga. Namun keras kepala membuatnya memutuskan untuk meninggalkan sang Ibu, pergi ke tempat yang jauh.

"Desi ... jangan tinggalin Ibu, Nak," perempuan tersebut menangis tersedu, sejadi-jadinya.

Desi? iya itu dirinya. Setiap ruangan membuatnya mampu membaca atas kejadian dan sikapnya terhadap sang Ibu. Satu tamparan untuk dirinya sendiri tentu tak akan membayar semuanya. Membayar rasa sabar ketika sang Ibu merawatnya tanpa pamrih juga bentakan yang selalu menyalahkan ibunya karena tidak puas dengan kehidupan yang Desi jalani. Ia membenci dirinya sendiri, sangat. Diri yang tak pernah menghargai kasih sayang tulus dari sang Ibu. Memilih pergi jauh tanpa mengetahui bahwa setiap hari sang Ibu menderita menahan rindu.

"Mbak Desi, ayo, Nina antar," gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun tiba-tiba membuyarkan tatapan kosong bola mata Desi, gadis itu hanya menganguk pelan. Desi menyusuri jalanan setapak yang bagian kiri dan kanannya dipenuhi oleh rimbunnya pohon bambu, sampai tiba lah ia di sebuah tempat. Sepi, hanya nampak beberapa batu nisan. Kuburan tersebut memang bukan kuburan umum.

"Ibu .... " Desi berlari menghampiri batun nisan bertuliskan Fatimah, nama sang Ibu.

"Ibu ... Desi pulang Bu, kenapa Ibu ga nungguin Desi?" gadis itu menangis di pusara ibunya.

Terlambat sudah, sang Ibu telah meninggal satu bulan lal, awalnya tak ada yang berniat mmberi kabar pada gadis itu. Beruntung tetangganya berubah pikiran, kemudian menghubungi Desi seminggu yang lalu untuk memberi tahu tentang hal tersebut. Karena memang gadis itu telah lepas tangan semenjak ia memutuskan untuk bekerja di Seoul. Ia jarang sekali mengirim uang ke ibunya. Jadi selama kepergiannya, Bu Fatimah tetap pontang-panting bekerja serabutan. Kini, malaikatnya sudah pergi untuk selamanya. Tidak ada lagi yang akan mengelus dan menenangkannya. | Cerpen Ibu Aku Telah Mematahkan Cintamu Ibuku

Tak ada lagi sosok penyabar yang selalu siap 24 jam membantunya. Menjadi tukang pijat saat ia kelelahan atau juru masak ketika gadis itu kelaparan. Malaikatnya telah pergi, yang tersisa hanya kenangan yang semakin menikam. Kenangan yang selalu menjelaskan bahwa ia adalah manusia paling jahat.

"Maafin Desi, Bu," gadis itu masih saja memeluk nisan sang Ibu dengan erat.