Satria. Pemuda rupawan setara Narcissus putra Cephissus. Malam ini namanya dilolongkan dengan pedih dari bibir gadis putihku. | Cerpen Cinta Aku Punya Rahasia Aku Jatuh Cinta 5
Nama yang sama dilafalkan dari mulut mbak Tarsih, perawat senior di ICU, minggu lalu. Mbak Tarsih ini setara intelejen dalam mencari info. Kecepatannya mencari info secepat dia memasukkan jarum infus kedalam vena. Terutama info pergosipan. Apalagi yang menyangkut cowok-cowok tampan. Satria termasuk kriteria yang terakhir.
Mbak Tarsih mengetahui nama Satria saat Satria datang menjenguk dengan masih menggunakan seragam kerjanya. Nametag masih tergantung di depan saku baju kerjanya.
"Namanya Satria Wiwaha," ucap mbak Tarsih mengawali hasil investigasinya.
Aku manggut-manggut. Sebagai seorang pejuang cinta tangguh, aku harus mengetahui seluk beluk lawan dahulu.
"Kayaknya dia kerja di perusahaan asing migas yang lambangnya warna biru sama merah itu lho mas," mbak Tarsih melanjutkan laporannya sambil mengunyah brownis lapis keju yang kubawa. Sogokan supaya informasi lancar diterima hehehe.
"Mobilnya aja SUV keluaran terbaru. Kuereen lah mas. Mana dia perhatian banget sama tunangannya. Cowok idaman lah," tutup mbak Tarsih sambil mengelap sisa brownis di mulutnya.
Maka, saat nama itu terucap dari bibir Gayatri malam ini, labirin otakku dengan cepat menemukan namanya di hippocampusku.
Ternyata selama ini Satria selalu datang menjenguk, penuh perhatian hanya untuk meyakinkan bahwa Gayatri tak akan sempat terbangun lagi. Supaya kejahatannya tak pernah terbongkar.
Dan sejak Gayatri terbangun dari tidur panjangnya, dia tak pernah menampakkan dirinya. Bayangnya pun tak tampak di sekitar ICU ini. Mungkin dia sudah melarikan diri. Jauh tak terlacak.
Terrlaaaluuu..... Aku menggeram dalam hati. Tanganku terkepal penuh amarah.
Tak hanya aku yang mendengar teriakan gadis putihku itu. Mungkin seluruh penghuni ICU mendengarnya. Termasuk perawat-perawat jaga yang ikut mematung sepertiku. Udara berbau clorin di ICU serasa ikut membeku.
Tiba-tiba Gayatri terkulai lemah. Bak ada aba-aba dari Napoleon, kami menyerbu dari segala arah. Aku segera mengecek nadi dan denyut jantungnya menggunakan stetoskop. Kulirik monitor jantungnya. Irama sinus takikardi. Tak ada yang lainnya. Respiratory Rate nya agak cepat. Masih dalam batas normal.
Sejauh ini kondisinya aman. Kami mendesah lega. Aku dan para perawat saling berpandangan.
"Mas Budi tadi dengar kan?" Tanyaku pada perawat bongsor berkulit hitam di sebelahku.
"Ho oh mas. Gak nyangka ya," sahutnya sambil mengelap keringat yang menggantung di pelipisnya.
"Tapi apa gak karena masih efek oedem otaknya mas. Kan pasca SDH plus craniectomy"sambungnya sambil memperbaiki posisi plester infus Gayatri yang sempat bergeser tadi.
Perkataan mas Budi barusan mengembalikan kewarasanku. Bisa jadi. Sudah biasa kami melihat pasien dengan cedera kepala memgalami halusinasi, meracau, dan berteriak-teriak di keheningan malam.
Tapi kecemburuanku mengambil alih otak sehatku. Entah kenapa ada nada jujur dalam teriakan gadis putihku itu. Dia harus diselamatkan.
Bisa jadi nanti Satria akan datang kembali, dan coba mengulangi perbuatannya. Melenyapkan saksi sekaligus korbannya. Untuk selamanya.
"Wis mas. Lapor residen bae. Ntar biar dikonsulkan ke psikiatri,"tambah mas Budi. Dia sudah selesai merapikan plester Gayatri dan bersiap memonitor pasien yang lain. Beberapa pasien ikut terbangun akibat insiden tadi.
Pikiranku semakin kusut. Kupandangi gadis putihku yang mulai terlelap. Teriakannya tadi memangkas banyak ATP dari mitokondrianya. Lelah membuatnya lelap dengan mudah.
Hai gadisku. Pedih sekali cinta tak bermuara. Ren dextra dan sinistra saja bermuara di vesica yang sama. Kuharap rasa kita pun begitu jua. Apakah sanggup kubiarkan engkau berlalu begitu saja? Pergi dari dunia fana?
Sudah kuputuskan. Jalan yang terbaik. Kukepalkan tanganku,mengumpulkan sisa keberanian.
"Mas Budi, aku keluar sebentar ya. Ada perlu,"kataku sambil melambaikan tangan. Mas Budi membalas dengan anggukan. Kedua tangannya sedang mengganti cairan infus.
Aku berjalan cepat hingga ke depan koridor. Koridor ini tampak sepi. Hanya tampak satu dua keluarga pasien menggelar tikar atau selimut di tepi koridor dan berbaring diatasnya.
Kucari tempat yang jauh dari daya tangkap membran tympani mereka. Lalu kukeluarkan selular perak dari sakuku. Memencet nomor yang kuketahui dari daftar nomor darurat. Dan menunggu suara menyapa dari ujung sana.
Tak lama ada respon. Segera kujabarkan dengan singkat dan jelas. Hatiku lega saat sudah tersampaikan maksudku. Setengah beban terangkat dari sternumku.
Aku bersiap kembali ke ICU saat kulihat dia. Bagai hantu. Berlari dengan langkah lebar tak beraturan ke arahku.
"Anda mau kemana?"tanyaku geram.
"Apakah Gayatri sudah terbangun?Bagaimana kondisinya?Apakah saya bisa bertemu sekarang?"Dia bertanya patah-patah di sela ekspirasi dan inspirasi tak beraturan.
Aku memandangnya tajam.
"Dan untuk membungkam Gayatri sekali lagi?" Dalam cerebrumku suara-suara itu memprovokasi. "Tak akan kubiarkan. Tak akan" Suara itu bergema di antara calvaria dan basis craniiku.
"Maaf mas. Gayatrinya sedang beristirahat," dan suara inilah yang melucur dari bibirku yang gemetar. Bagaimanapun juga, dihadapanku ini adalah seorang kriminal. Yang dengan tangan dinginnya mendorong makhluk bernyawa ke jurang kematian. Akan mudah baginya mengulangi hal yang sama kepadaku.
Dia tampak kecewa. Bahunya melemas. Tangannya terayun canggung di badannya.
Aku harus berani. Dengan menghisap dalam-dalam oksigen ke dalam alveolusku, kuberharap menyedot juga aura keberanian dari semesta.
"Bisa kita bicara sebentar, mas?" Ucapku dengan berusaha menekan tremor pada linguaku.
Dia menatapku heran. Tampak dari matanya, dia berusaha menggali pusat informasi hipocampus tentang siapa diriku. Kemudian dia melirik nametag di dadaku. Tertera namaku disana beserta institusiku. Dokter muda dari fakultas kedokteran suatu Universitas ternama di Jawa.
Tampak maklum, dia tersenyum padaku. Mungkin dipikirnya, aku akan menjelaskan tentang kondisi terkini Gayatri. Tentang kemajuan yang sudah dicapai dan rencana terapi kedepannya. Padahal ada yang jauh lebih besar yang akan kukatakan. Rahasianya.
"Kita ngobrol disana aja ya mas,"ajakku sambil menunjuk ke sebuah bangku di depan UGD. Tampak beberapa penunggu pasien UGD mengisi perut di lapak penjual nasi goreng depan UGD.
"Paling tidak, dia tidak akan berani berbuat yang membahayakan di keramaian,"pikirku bergidik.
Satria mengangguk setuju, lalu mengikutiku ke arah bangku yang kumaksud.
Kami duduk berhadapan di bangku tersebut. Dalam sorot lampu depan UGD yang terang benderang, terlihat jelas raut wajah Satria. Tampak kantung mata yang menggantung berat. Rambutnya pun tak tersisir rapi.
Hening beberapa saat. Bibirku parese sesaat. Tak mampu mengucap kata. Takut. Perasaan itu menggelinding di urat nadiku.
Aku menarik oksigen dalam-dalam hingga penuh alveolusku, lalu mengucapkan kata-kata dalam sekali hembusan. "Aku tahu rahasia mas."
Dia tak bergeming. Tak tampak rona terkejut di wajahnya. Setenang samudera hindia.
"Saya gak ngerti maksud mas?" Jawabnya kalem.
Jawabannya membuatku gemas. Ingin kupasangan detektor kebohongan untuk menelanjangi kata-katanya.
"Saya tahu mas yang berusaha membunuh Gayatri!" ucapku penuh geram.
"Mas tahu dari mana? Jangan asal tuduh mas. Saya itu tunangannya. Saya sayang dia" tegasnya. Dia merogoh-rogoh sakunya, mencari sekotak nikotin. | Cerpen Cinta Aku Punya Rahasia Aku Jatuh Cinta 5
"Disini kawasan bebas rokok mas,"selaku. Dia menghentikan gerakan tangannya. Lalu menautkan kedua tangannya di atas bangku. Aku menyadari dia itu tampak lelah. Mungkin itu yang membuat dia tampak tenang. Tak ada energi untuk tersulut emosi.
Dia diam. Menungguku meneruskan kata-kata.
"Gayatri sudah tersadar. Barusan dia katakan semua. Andalah yang berusaha membunuhnya," kutegaskan setiap suku kata yang kuucap.
Dia tertegun sejenak. Kemudian tersenyum lelah.
"Mas, saya ini baru pulang dari Myanmar. Sembilan jam yang lalu saya masih berdiri di bandara international Yangon. Saya masih capek. Besok saya jelaskan."
Aku menggeleng. Tak kan kubiarkan dia pergi melenggang setelah apa yang telah dilakukannya.
"Sekarang aja mas. Atau mau ke kantor polisi saja," ancamku.
Dia menghela nafas. Kemudian merogoh saku celananya. Dia meletakkan buku kecil hijau bersampul garuda itu.
"Mas bisa baca disana," dia menyodorkan buku itu ke hadapanku.
"Mas bisa lihat tanggal berapa saja saya di Myanmar. Perusahaan saya sedang ada project disana. Tiap beberapa minggu saya harus ke sana."
Aku segera meraih buku itu. Membukanya secepat kilat, dan mengamati baris tanggal yang tertera disana. Tampak stempel resmi negara yang dimaksud. Dan aku membaca tanggal kejadian memilukan itu. Dan saat itu, memang Satria berada di sana. Kubaca berulang-ulang. Dan yang tertera tetap tak berubah.
Aku mendongak. Tampak Satria melihatku dengan pandangan lelah. Tampak conjungtivanya kemerahan.
"Salah saya," ucapnya perlahan. Bibirnya bergetar.
"Semua salah saya. Seandainya saya menjaganya saat itu, mungkin tak akan terjadi kejadian itu."
Aku menutup buku hijau kecil itu. Dan menyorongkan kembali padanya. Tak tentu perasaanku saat ini. Siapa yang harus dipercaya?
"Gayatri....dia mulai mendengar seseorang berbisik padanya. Awalnya sekali-sekali. Lama-lama suara itu mengganggunya. Suara itu menyuruhnya untuk mengakhiri hidupnya. Beberapa kali dia mencoba suicide. Setelah mengkonsumsi obat dari psikiater, berangsur-angsur dia kembali seperti yang dulu,"Matanya menerawang penuh cinta. Aku iri.
"Bundanya sudah tiada. Ayahnya menitipkan pada saya sebelum stroke merengut nyawanya. Harusnya hari naas itu hari pernikahan kami. Tapi satu minggu sebelum tanggal tersebut, saya harus mengunjungi project di Yangon." Matanya berubah getir. Api membara di pupilnya.
Aku mulai bisa membayangkan potongan puzzle kehidupan mereka. Terasa nyeri sternumku, betapa bahagia hampir mereka raih.
"Saya segera kembali saat mendengar berita tersebut. Mereka menemukan Gayatri... sudah..sudah,"Kata-katanya bergetar.
Aku tercekat. Seakan esofagus dan tracheaku terekat menjadi satu. Menyisakan apneu di dadaku. Hujan turun di hatiku.
Dia terdiam sejenak. Kemudian meneruskan dengan suara parau.
"Mereka menemukan obat-obatan yang seharusnya diminumnya. Dia...dia tak meminum satupun. Dia simpan di bawah bantal." Pria dihadapanku tampak begitu rapuh. Sacus lacrimalisnya terendam banjir bandang.
Aku membisu. Seakan afasia tiba-tiba menderaku. Aku mulai membayangkan Gayatri sebagai sosok yang berbeda. Berbeda dengan bayangan yang tercipta di anganku. Akulah sang dalang. Dan lakon yang kuciptakan dalam angan tiba-tiba hancur tak terdefinisikan.
"Saya harap semua jelas. Boleh saya bertemu Gayatri?" Pria dihadapanku menunggu persetujuanku.
Aku mengangguk berat. Bangkit dari bangku dan mulai melangkah kembali ke ICU. Satria mengikuti di belakangku. Kami beriringan dalam sunyi penuh kecanggungan.
Aku menghentikan langkahku tiba-tiba. Menengok ke belakang. Satripun berhenti sejenak. Wajahnya penuh tanya.
"Maaf," hanya itu yang terucap lirih dari linguaku. Prasangka telah memberangus akal sehatku. Asal menuduh tanpa menghimpun bukti.
Satria tersenyum maklum. Dia mengangguk perlahan. Maaf sudah diberikan. Hatiku terasa seluas tatasurya. Membuat langkahku lebih ringan.
Saat kami kembali, tampak ada yang berbeda. Dua wanita berambut sebahu beserta satu lelaki berambut cepak berdiri di sekitar tempat perawatan Gayatri. Baju mereka tertutup jubah pengunjung ICU yang berwarna hijau.
Gayatri menoleh kepada kami berdua. Matanya menatap tajam.
"Dia, Pak. Dia yang merayu saya saat saya koma. Dan baru saja, saat saya lemah, dia juga ...juga meraba dada saya!" Suara Gayatri yang serak menusuk membran tympaniku.
Telunjuknya tertuju padaku. | Cerpen Cinta Aku Punya Rahasia Aku Jatuh Cinta 5
Nama yang sama dilafalkan dari mulut mbak Tarsih, perawat senior di ICU, minggu lalu. Mbak Tarsih ini setara intelejen dalam mencari info. Kecepatannya mencari info secepat dia memasukkan jarum infus kedalam vena. Terutama info pergosipan. Apalagi yang menyangkut cowok-cowok tampan. Satria termasuk kriteria yang terakhir.
Mbak Tarsih mengetahui nama Satria saat Satria datang menjenguk dengan masih menggunakan seragam kerjanya. Nametag masih tergantung di depan saku baju kerjanya.
"Namanya Satria Wiwaha," ucap mbak Tarsih mengawali hasil investigasinya.
Aku manggut-manggut. Sebagai seorang pejuang cinta tangguh, aku harus mengetahui seluk beluk lawan dahulu.
"Kayaknya dia kerja di perusahaan asing migas yang lambangnya warna biru sama merah itu lho mas," mbak Tarsih melanjutkan laporannya sambil mengunyah brownis lapis keju yang kubawa. Sogokan supaya informasi lancar diterima hehehe.
"Mobilnya aja SUV keluaran terbaru. Kuereen lah mas. Mana dia perhatian banget sama tunangannya. Cowok idaman lah," tutup mbak Tarsih sambil mengelap sisa brownis di mulutnya.
Maka, saat nama itu terucap dari bibir Gayatri malam ini, labirin otakku dengan cepat menemukan namanya di hippocampusku.
Ternyata selama ini Satria selalu datang menjenguk, penuh perhatian hanya untuk meyakinkan bahwa Gayatri tak akan sempat terbangun lagi. Supaya kejahatannya tak pernah terbongkar.
Dan sejak Gayatri terbangun dari tidur panjangnya, dia tak pernah menampakkan dirinya. Bayangnya pun tak tampak di sekitar ICU ini. Mungkin dia sudah melarikan diri. Jauh tak terlacak.
Terrlaaaluuu..... Aku menggeram dalam hati. Tanganku terkepal penuh amarah.
Tak hanya aku yang mendengar teriakan gadis putihku itu. Mungkin seluruh penghuni ICU mendengarnya. Termasuk perawat-perawat jaga yang ikut mematung sepertiku. Udara berbau clorin di ICU serasa ikut membeku.
Tiba-tiba Gayatri terkulai lemah. Bak ada aba-aba dari Napoleon, kami menyerbu dari segala arah. Aku segera mengecek nadi dan denyut jantungnya menggunakan stetoskop. Kulirik monitor jantungnya. Irama sinus takikardi. Tak ada yang lainnya. Respiratory Rate nya agak cepat. Masih dalam batas normal.
Sejauh ini kondisinya aman. Kami mendesah lega. Aku dan para perawat saling berpandangan.
"Mas Budi tadi dengar kan?" Tanyaku pada perawat bongsor berkulit hitam di sebelahku.
"Ho oh mas. Gak nyangka ya," sahutnya sambil mengelap keringat yang menggantung di pelipisnya.
"Tapi apa gak karena masih efek oedem otaknya mas. Kan pasca SDH plus craniectomy"sambungnya sambil memperbaiki posisi plester infus Gayatri yang sempat bergeser tadi.
Perkataan mas Budi barusan mengembalikan kewarasanku. Bisa jadi. Sudah biasa kami melihat pasien dengan cedera kepala memgalami halusinasi, meracau, dan berteriak-teriak di keheningan malam.
Tapi kecemburuanku mengambil alih otak sehatku. Entah kenapa ada nada jujur dalam teriakan gadis putihku itu. Dia harus diselamatkan.
Bisa jadi nanti Satria akan datang kembali, dan coba mengulangi perbuatannya. Melenyapkan saksi sekaligus korbannya. Untuk selamanya.
"Wis mas. Lapor residen bae. Ntar biar dikonsulkan ke psikiatri,"tambah mas Budi. Dia sudah selesai merapikan plester Gayatri dan bersiap memonitor pasien yang lain. Beberapa pasien ikut terbangun akibat insiden tadi.
Pikiranku semakin kusut. Kupandangi gadis putihku yang mulai terlelap. Teriakannya tadi memangkas banyak ATP dari mitokondrianya. Lelah membuatnya lelap dengan mudah.
Hai gadisku. Pedih sekali cinta tak bermuara. Ren dextra dan sinistra saja bermuara di vesica yang sama. Kuharap rasa kita pun begitu jua. Apakah sanggup kubiarkan engkau berlalu begitu saja? Pergi dari dunia fana?
Sudah kuputuskan. Jalan yang terbaik. Kukepalkan tanganku,mengumpulkan sisa keberanian.
"Mas Budi, aku keluar sebentar ya. Ada perlu,"kataku sambil melambaikan tangan. Mas Budi membalas dengan anggukan. Kedua tangannya sedang mengganti cairan infus.
Aku berjalan cepat hingga ke depan koridor. Koridor ini tampak sepi. Hanya tampak satu dua keluarga pasien menggelar tikar atau selimut di tepi koridor dan berbaring diatasnya.
Kucari tempat yang jauh dari daya tangkap membran tympani mereka. Lalu kukeluarkan selular perak dari sakuku. Memencet nomor yang kuketahui dari daftar nomor darurat. Dan menunggu suara menyapa dari ujung sana.
Tak lama ada respon. Segera kujabarkan dengan singkat dan jelas. Hatiku lega saat sudah tersampaikan maksudku. Setengah beban terangkat dari sternumku.
Aku bersiap kembali ke ICU saat kulihat dia. Bagai hantu. Berlari dengan langkah lebar tak beraturan ke arahku.
"Anda mau kemana?"tanyaku geram.
"Apakah Gayatri sudah terbangun?Bagaimana kondisinya?Apakah saya bisa bertemu sekarang?"Dia bertanya patah-patah di sela ekspirasi dan inspirasi tak beraturan.
Aku memandangnya tajam.
"Dan untuk membungkam Gayatri sekali lagi?" Dalam cerebrumku suara-suara itu memprovokasi. "Tak akan kubiarkan. Tak akan" Suara itu bergema di antara calvaria dan basis craniiku.
"Maaf mas. Gayatrinya sedang beristirahat," dan suara inilah yang melucur dari bibirku yang gemetar. Bagaimanapun juga, dihadapanku ini adalah seorang kriminal. Yang dengan tangan dinginnya mendorong makhluk bernyawa ke jurang kematian. Akan mudah baginya mengulangi hal yang sama kepadaku.
Dia tampak kecewa. Bahunya melemas. Tangannya terayun canggung di badannya.
Aku harus berani. Dengan menghisap dalam-dalam oksigen ke dalam alveolusku, kuberharap menyedot juga aura keberanian dari semesta.
"Bisa kita bicara sebentar, mas?" Ucapku dengan berusaha menekan tremor pada linguaku.
Dia menatapku heran. Tampak dari matanya, dia berusaha menggali pusat informasi hipocampus tentang siapa diriku. Kemudian dia melirik nametag di dadaku. Tertera namaku disana beserta institusiku. Dokter muda dari fakultas kedokteran suatu Universitas ternama di Jawa.
Tampak maklum, dia tersenyum padaku. Mungkin dipikirnya, aku akan menjelaskan tentang kondisi terkini Gayatri. Tentang kemajuan yang sudah dicapai dan rencana terapi kedepannya. Padahal ada yang jauh lebih besar yang akan kukatakan. Rahasianya.
"Kita ngobrol disana aja ya mas,"ajakku sambil menunjuk ke sebuah bangku di depan UGD. Tampak beberapa penunggu pasien UGD mengisi perut di lapak penjual nasi goreng depan UGD.
"Paling tidak, dia tidak akan berani berbuat yang membahayakan di keramaian,"pikirku bergidik.
Satria mengangguk setuju, lalu mengikutiku ke arah bangku yang kumaksud.
Kami duduk berhadapan di bangku tersebut. Dalam sorot lampu depan UGD yang terang benderang, terlihat jelas raut wajah Satria. Tampak kantung mata yang menggantung berat. Rambutnya pun tak tersisir rapi.
Hening beberapa saat. Bibirku parese sesaat. Tak mampu mengucap kata. Takut. Perasaan itu menggelinding di urat nadiku.
Aku menarik oksigen dalam-dalam hingga penuh alveolusku, lalu mengucapkan kata-kata dalam sekali hembusan. "Aku tahu rahasia mas."
Dia tak bergeming. Tak tampak rona terkejut di wajahnya. Setenang samudera hindia.
"Saya gak ngerti maksud mas?" Jawabnya kalem.
Jawabannya membuatku gemas. Ingin kupasangan detektor kebohongan untuk menelanjangi kata-katanya.
"Saya tahu mas yang berusaha membunuh Gayatri!" ucapku penuh geram.
"Mas tahu dari mana? Jangan asal tuduh mas. Saya itu tunangannya. Saya sayang dia" tegasnya. Dia merogoh-rogoh sakunya, mencari sekotak nikotin. | Cerpen Cinta Aku Punya Rahasia Aku Jatuh Cinta 5
"Disini kawasan bebas rokok mas,"selaku. Dia menghentikan gerakan tangannya. Lalu menautkan kedua tangannya di atas bangku. Aku menyadari dia itu tampak lelah. Mungkin itu yang membuat dia tampak tenang. Tak ada energi untuk tersulut emosi.
Dia diam. Menungguku meneruskan kata-kata.
"Gayatri sudah tersadar. Barusan dia katakan semua. Andalah yang berusaha membunuhnya," kutegaskan setiap suku kata yang kuucap.
Dia tertegun sejenak. Kemudian tersenyum lelah.
"Mas, saya ini baru pulang dari Myanmar. Sembilan jam yang lalu saya masih berdiri di bandara international Yangon. Saya masih capek. Besok saya jelaskan."
Aku menggeleng. Tak kan kubiarkan dia pergi melenggang setelah apa yang telah dilakukannya.
"Sekarang aja mas. Atau mau ke kantor polisi saja," ancamku.
Dia menghela nafas. Kemudian merogoh saku celananya. Dia meletakkan buku kecil hijau bersampul garuda itu.
"Mas bisa baca disana," dia menyodorkan buku itu ke hadapanku.
"Mas bisa lihat tanggal berapa saja saya di Myanmar. Perusahaan saya sedang ada project disana. Tiap beberapa minggu saya harus ke sana."
Aku segera meraih buku itu. Membukanya secepat kilat, dan mengamati baris tanggal yang tertera disana. Tampak stempel resmi negara yang dimaksud. Dan aku membaca tanggal kejadian memilukan itu. Dan saat itu, memang Satria berada di sana. Kubaca berulang-ulang. Dan yang tertera tetap tak berubah.
Aku mendongak. Tampak Satria melihatku dengan pandangan lelah. Tampak conjungtivanya kemerahan.
"Salah saya," ucapnya perlahan. Bibirnya bergetar.
"Semua salah saya. Seandainya saya menjaganya saat itu, mungkin tak akan terjadi kejadian itu."
Aku menutup buku hijau kecil itu. Dan menyorongkan kembali padanya. Tak tentu perasaanku saat ini. Siapa yang harus dipercaya?
"Gayatri....dia mulai mendengar seseorang berbisik padanya. Awalnya sekali-sekali. Lama-lama suara itu mengganggunya. Suara itu menyuruhnya untuk mengakhiri hidupnya. Beberapa kali dia mencoba suicide. Setelah mengkonsumsi obat dari psikiater, berangsur-angsur dia kembali seperti yang dulu,"Matanya menerawang penuh cinta. Aku iri.
"Bundanya sudah tiada. Ayahnya menitipkan pada saya sebelum stroke merengut nyawanya. Harusnya hari naas itu hari pernikahan kami. Tapi satu minggu sebelum tanggal tersebut, saya harus mengunjungi project di Yangon." Matanya berubah getir. Api membara di pupilnya.
Aku mulai bisa membayangkan potongan puzzle kehidupan mereka. Terasa nyeri sternumku, betapa bahagia hampir mereka raih.
"Saya segera kembali saat mendengar berita tersebut. Mereka menemukan Gayatri... sudah..sudah,"Kata-katanya bergetar.
Aku tercekat. Seakan esofagus dan tracheaku terekat menjadi satu. Menyisakan apneu di dadaku. Hujan turun di hatiku.
Dia terdiam sejenak. Kemudian meneruskan dengan suara parau.
"Mereka menemukan obat-obatan yang seharusnya diminumnya. Dia...dia tak meminum satupun. Dia simpan di bawah bantal." Pria dihadapanku tampak begitu rapuh. Sacus lacrimalisnya terendam banjir bandang.
Aku membisu. Seakan afasia tiba-tiba menderaku. Aku mulai membayangkan Gayatri sebagai sosok yang berbeda. Berbeda dengan bayangan yang tercipta di anganku. Akulah sang dalang. Dan lakon yang kuciptakan dalam angan tiba-tiba hancur tak terdefinisikan.
"Saya harap semua jelas. Boleh saya bertemu Gayatri?" Pria dihadapanku menunggu persetujuanku.
Aku mengangguk berat. Bangkit dari bangku dan mulai melangkah kembali ke ICU. Satria mengikuti di belakangku. Kami beriringan dalam sunyi penuh kecanggungan.
Aku menghentikan langkahku tiba-tiba. Menengok ke belakang. Satripun berhenti sejenak. Wajahnya penuh tanya.
"Maaf," hanya itu yang terucap lirih dari linguaku. Prasangka telah memberangus akal sehatku. Asal menuduh tanpa menghimpun bukti.
Satria tersenyum maklum. Dia mengangguk perlahan. Maaf sudah diberikan. Hatiku terasa seluas tatasurya. Membuat langkahku lebih ringan.
Saat kami kembali, tampak ada yang berbeda. Dua wanita berambut sebahu beserta satu lelaki berambut cepak berdiri di sekitar tempat perawatan Gayatri. Baju mereka tertutup jubah pengunjung ICU yang berwarna hijau.
Gayatri menoleh kepada kami berdua. Matanya menatap tajam.
"Dia, Pak. Dia yang merayu saya saat saya koma. Dan baru saja, saat saya lemah, dia juga ...juga meraba dada saya!" Suara Gayatri yang serak menusuk membran tympaniku.
Telunjuknya tertuju padaku. | Cerpen Cinta Aku Punya Rahasia Aku Jatuh Cinta 5
- Tamat -