Aku Pulang Kampung

"Cik, Lur, bagi duit buat nambah beli air lah," belum sepuluh langkah masuk perkampungan, aku sudah kena palak. Luar biasa. | Cerpen Kehidupan Aku Pulang Kampung

"Duh, punten. Gak punya, Kang." Dengan sopan kutolak permintaannya. Sebenarnya ada uang di kantong, cuma tak ikhlas rasanya hasil kerja dipakai untuk orang mabuk.

"Yang bener, g**log! Mau gue geledah?" Si pemalak mulai nyolot. Perlahan mendekat.

"Silahkan aja, Kang." Masih santai kuladeni. Coba saja, berani dia menggeledah, kuplintir kepalanya.

"Wah, bener nantang, si a***ing! Sini, Bro! Ini ada yang nantang!" Merasa dilecehkan, si pemuda berteriak memanggil kawannya yang nongkrong di pos ronda. Gawat juga ini. Acara pulang kampungku terancam rusuh.

Dalam waktu singkat, enam orang pemuda tanggung mengerubungiku. Satu per satu bicara kasar, mengintimidasi. Situasi makin gawat. Mereka sesekali mengumpat.

"Bentar, bentar. Sabar dulu." Kucoba menenangkan. Dingin udara tak terasa. Mendadak panas. Kubuka hoodie, sambil mengusap keringat di pelipis.

"Kang Deni?" Kudengar seorang dari pemuda yang datang belakangan memanggil namaku, "ini Acil, Kang. Adiknya Dudung!" Sambungnya, mencoba menyungkil ingatanku.

Teringat sosok anak kurus, adik kandung Dudung, kawan sepermainanku. Dia yang selalu kujahili hingga menangis, tapi setelah itu selalu kujajani pecel atau cendol. Acil ternyata sudah besar. Dadaku terasa lega, ternyata ada seseorang yang mengenalku. | Cerpen Sedih Aku Pulang Kampung

"Iya, Cil. Ini Deni! Kirain siapa! Dah gede sekarang, udah bisa malak!" Kuucapkan kekagumanku tentang seberapa besarnya Acil, sambil tertawa, mencoba melunakkan suasana.

Para pemuda yang tadi terlihat marah tampak melunak. Berangsur mundur selangkah. Dari geraknya, samar mereka sedikit membungkuk, mungkin meminta maaf.

Acil tertawa, mendekat. Memelukku. "Kemana aja atuh, Kang?" Ucapnya. Bergetar.

"Biasa, Cil. Pemuda mah harus meran ... UGH!" Tiba-tiba terasa benda dingin menyentuh pinggang kiriku.

"Akang ... Saya gak akan lupa sakit hati yang akang bikin. Selama ini akang udah saya cari. Nyawa dibayar nyawa, Kang ...." Suara Acil makin hilang, semua makin kabur. Hanya rasa dingin di pinggangku berubah nyeri. Rasa dingin itu berpindah. Ke punggung. Perut. Dada.

Saat semua sunyi, pikiranku melayang. Bagaimana nasib ibu setelah aku pergi? Bagaimana nasib keluargaku? Dan Ningsih? Dan ... surat titipan Dudung dalam tasku. Bagaimana kuberitahu Emaknya Dudung bila anak sulungnya masih hidup dan sekarang ingin menikah?

Suara makin tak terdengar. Kampungku memang selalu gelap dan sepi, tapi ... tidak pernah separah ini. | Cerpen Kehidupan Aku Pulang Kampung