Sebuah Kisah Dari Kaki Gunung

Mengenang SMPN 3 Soreang tempo dulu, membayang bentangan jalan dari Kopo hingga ke batas yang disebut Desa Soreang. Untuk menuju ke sekolah ini, saya harus menempuh jarak sekian kilo meter. Panjang lurus, belok kiri, belok kiri lagi, sedikit belok kiri lagi; lalu memuncak sedikit. Maklum sekolahnya berada di ketinggian bukit. Tidak terlalu mendaki, namun lumayan membuat nafas tersengal.

Pada Tahun 2000, SMPN 3 Soreang merupakan sekolah baru. Lokalnya baru sedikit; berada di atas tanah bekas pekuburan. Tanah tersebut tidak merata, ada bagian yang tinggi, terdapat juga bagian rendah. Orang IPS mengatakannya berundak-undak.

Satu tahun saja bekerja di sini, dijamin kaki menjadi besar dan kokoh. Tidak hanya itu, bila seorang perempuan mengenakan rok pendek, tentunya bisa menjadi bahan tontonan laki-laki yang ada di belakang, dalam posisi berada diundakan bawah. Itu sebab, mengenakan pakaian panjang di sini, berasa lebih nyaman. Cerpen Kehidupan

Di samping berundak dan bercampur batu, tanah di sini juga berjenis tanah lempung; berwarna merah dan lengket. Jika musim hujan dan becek, tanah-tanah itu akan mengikut bersama sepatu; tentu saja lantai-lantai menjadi kotor dan awet. Itu sebab pada akhirnya guru dan siswa berinisiatif membuka sepatu jika musim hujan tiba.

Kendala yang paling besar sebenarnya adalah air. Di lokasi seputar tidak terdapat mata air. Pernah digali hingga kedalaman beberapa meter, yang ditemui masih batu. Jadi upaya penemuan mata air sering dihentikan; diganti dengan mencari dan menemukan cara lain. Menyambung paralon dan selang merupakan salah satu alternatif.

Bukan hanya lokal yang masih sedikit, dulu guru juga masih sedikit. Adakalanya kelas 1 (sekarang disebut kelas 7), harus belajar siang hari menunggu lokal kosong; sehingga guru-guru yang rumahnya jauh di kota terpaksa harus pulang sore, bahkan magrib di jalan. Mengenai hal tersebut kalau kebetulan naik angkot punya seni tersendiri. Kadang diangkot menyendiri, ke luar memandang kaca jendela, langit senja tampak jingga, hati berasa merana.

Dalam menempuh perjalanan pulang-pergi ke sekolah, guru dulu yang tak semakmur kini, banyak di antaranya yang menumpang andong. Jarang-jarang ada ojek, kalaupun ada, rasanya geli nebeng motor pada orang yang tidak dikenal. Akan halnya naik andong, ada beberapa pengalaman yang menimbulkan perasaan campur aduk; ada lucu, indah, ngeri, takut, dan kapok. Lucunya, waktu melihat rambut kuda dengan tatanan rambut disegi, duh rasanya lebih bagus daripada rambut sendiri. Lalu dia berjalan dengan gaya dan irama sendiri, membuat kita sebagai penumpang serasa jadi penari. Penjalanan pun menjadi indah dengan senyum dan gelak tawa.

Suatu hari yang tidak terduga Sang Kuda yang kami tumpangi, tiba-tiba saja menaikkan kedua kaki depannya ke atas. Terang saja bagian delman belakang jadi melorot. Para penumpang hampir tumpah; namun karena jalanan juga terjal berbatu, tinggi pula, kami ngeri untuk melompat. Jadinya sebagian dari kami menjerit, yang lain pucat paci, ada pula yang kaki dan sepatunya terperosok. Sungguh kami semua berada dalam ketakutan. Untuk saisnya yang sudah berpengalaman bisa tenang melompat, kemudian menjinakkan kuda.

Bukan sekali itu, ada kejadian yang berhubungan dengan kuda. Kadang sais muda sering lengah dan tergesa, tangan memecut, mata ke mana-mana; sedang jalan curam menurun. Akibatnya kaki kuda terpeleset. Dalam keadaan penumpang penuh, sedang kuda harus menyangga beban berat dengan kaki kecil, badan gede; tak seimbang!

Maka Sang Kuda menggelepak, tak berdaya; sedang andong rubuh, penumpang berserakan. Lagi-lagi cuma sais handal yang dapat mengatasi. Tetap pertolongan masyarakat di sekitar pun diperlukan. Merekalah yang bergotong royong mengangkat tubuh kuda, yang otomatis mengubah posisi andongnya pula. Alhamdulillah penumpang terselamatkan. Akhirnya dapat melanjutkan perjalanan. Bagusnya kali itu jadi penuh doa, efek dari kecelakaan tersebut. Demikianlah liku-liku pengalaman mengandalkan omprengan kuda. Bahkan dulu ada kuda penarik delman yang mabur, terlunta sampai tiba di Sungai Citarum dan terbawa arus air. Kejadian itu memakan korban. Ngeri! |  Cerpen Motivasi Kehidupan

Demikian waktu terus berjalan, perubahan demi perubahan pun terjadi. Keadaan SMP 3 pun mengalami fluktuasi. Pernah menggeliat, berdiri lumayan kokoh, kemudian sedikit oleng oleh gempa; lalu terbangun lagi. Terakhir mengalami mati suri. Tetap teronggok, namun di dalam keropos digerogoti penyakit. Makin lama, makin parah; Sang Gedung tinggal belulang yang hampir tiba dibatas ambruk. Warga yang terus menerus gelisah dalam serba kekurangan, boro-boro merasa ada kemajuan. Hidup menjadi seakan dalam tekanan. Udara panas meluap, memunculkan gerakan-gerakan pemberontakan; sampai akhirnya tiba di puncak, lalu terporak.

Dalam puing-puing yang terserak, seorang kepala sekolah baru diutus. Dia dipercaya, dia mencoba, dia meraba, dia hampir membuka. Namun perjalanan manusia berliku, kadang terbang tak terduga. Demikian Kepala Sekolah itu pun mengikuti nasibnya. Nasib yang baik bagi dirinya, nasib yang aneh bagi warga SMP 3 yang kemudian menamai dirinya SMP SORGA. Kepala Sekolah baru diangkat jadi Home Staff di KBRI untuk Yangon, Myanmar. Sekolah pun sendiri lagi mengasuh dirinya. Membiarkan warga-warganya mengembangkan kemandiriannya. Kemandirian yang sedikit bingung. Dan kebingungan itu berlanjut manakala didatangkan lagi kepala sekolah PLT.

Bingungnya itu bukan apa-apa, tetapi karena ganti pemimpin, juga ganti kebijakan. Ada gagasan-gagasan baik namun sepertinya beberapa warga belum sanggup. Lagi kondisi dan situasi belum kondusif. Akhirnya suasana sekolah jadi seperti samudra yang terdiri dari dua jenis air; yaitu air payau dan air asin. Sebentar hambar, sebentar penuh riak, sebentar mengambang, sebentar ribut keasinan. Sebuah dinamika yang luar biasa.

Kebijakan pemerintah daerah pun berubah lagi. Umur KS PLT hanya sebentar, kemudian didatangkan lagi seorang pembaharu. Ya meneruskan kedua pembaharu sebelumnya. Yang ini actionnya lebih ditampakkan. Uang belum terlihat, namun pembangunan bermunculan. Gedung ditata berwarna-warni, tanam menanam digalakkan. Program ini, program itu. Program satapok dan sebagainya. Warna mulai menyesuaikan diri dengan gerakan penghijauan yang dinamakan adiwiyata. Semua harus ikut, semua harus perduli, tak boleh ada yang berpangku tangan, semua bersama-sama menyingsingkan lengan. Itulah ajaran baru yang dibawa oleh Kepala Sekolah H. Agus Mulyana, S.Pd., M.M.Pd.

Semua bergerak, semua perduli, hasil harus terlihat, sekolah harus hijau. Keindahan, kesehatan, kebersihan. Semua berada dalam wadah Program Sekolah Berbasis Adiwiyata.

Semua warga mengikuti dengan optimistik; segala yang dibangun dengan niat baik untuk kepentingan umum, semoga menghasilkan keberkahan. Aamiin