Sungguh, aku ingin sesekali engkau sudi menghampirkanku ke rumahmu. Saat seperti ini, mengenakan kemeja batik lurik warna coklat tanah dengan peci hitam yang melengkung menutup sisi separoh dahi. Seperti bertahun lalu. Ketika nasib berkenan merotasikan sebuah pertemuan dan kemudian memusimkan cinta di hati kita. Meminangmu, menjadikan kita sepasang 'papa mama' di istana sendiri.
Ah, bolehlah sesekali aku tersesat mengenangmu di masa lalu. Atau kau akan menamai ini sebagai kebinalan hasrat lelaki yang nyaris dipatahkan oleh berpotong-potong timpa kesunyian? Lebih dari sekedar kesunyian sebenarnya, Sum. Ini sudah merupa perih yang tertulis seolah tak berkesudahan. Dan merelakan takdir memuntirnya, meletakkan kisah yang harus hidup di dunia yang saling berseberangan.
Pagi aku pergi, meninggalkanmu yang tak sempat berdandan wangi. Untuk apa? Begitulah hidup, Sum. Betapa banyak orang yang ingin mencari teduh rindang kebahagian di setiap petak kebun yang bernama 'kesederhanaan'. Walau acap kali harus mundur dan tersungkur, diam-diam berbalik arah. Pada pantulan kilap sebuah megah.
Namun bukan karena itu. Kita sama-sama tahu, sembilan tahun berlalu tanpa ada desah bocah apalagi tangis bayi kembar laki-laki. Dan tiap malam betapa sunyi perjamuan makan kita, Sum. Sehidang makanan yang telah kau masak, tak jua mampu membujukku-membujukmu betapa merinduinya kita terhadap seorang momongan.
Satu waktu di sore, pada ujung bulan kemarau, sepulang aku meladang. Kau berdiri dengan garang. Menutup pintu dengan palang hatimu. Entah sengaja atau kebetulan. Kau korek aku habis-habisan.
Secarik kertas. Surat yang diam-diam kusimpan di bawah lipatan koran dalam laci lemari, kau temukan! Selembar surat yang kutahan dengan hati yang terus melumut. Hingga akhirnya kau datang kala itu, dan mampu menumbuhkan percaya ini, menjadikanmu sebagai permausuri. | Cerpen Sedih
"Pergilah, dasar pria mandul ...!"
Ucapanmu mengoyakku. Sudah berapa kali kau kusetubuhi, dengan menelan seduh reramuan, jamu dan obat-obatan, juga semua jenis pantangan, khasiat jampi-jampi dari wasiat para tetua. Sama saja. Bohong! Kau tak jua bunting di kesudahannya.
"Aku, atau kau ... hhaahh!."
Balasku yang merasa sudah kau gilas.
Meradang dada, mendengar dirimu sudah tak mampu membendung laju gelegak darah.
Kemudian pecahlah pertikaian, umpat caci silih berganti. Kata serapah tak sudah-sudah. Lalu malam, kita terlelap di bilik yang berbeda.
"Mungkin, inilah jalan." batinku.
"Mungkin, inilah saatnya." barangkali itu ucapmu.
Sementara kita, memang sama-sama tak pernah tahu. Seperti isi surat yang kau baca, namun tak ingin engkau mengerti dan berakhir di dalam lumat laknat remas genggaman. Ia wanita yang datang terlebih dahulu dari kamu, Sum. Yang mencintai aku, Handoko-mu. Perempuan malang yang kini telah lama tidur di liang pusara. Dan kau, tak percaya. Atau memang engkau sengaja ingin berlepas cinta dariku?
Pagi kita diam. Aku memutuskan pergi, berkemas lantas berlalu. Kupikir terlalu baik jika harus kusisakan kata selamat tinggal dari bibirku untukmu, setelah nyaris sepuluh tahun.
Dan lusa kita bercerai. Ketika itu kau mengangguk sudah tak hirau lagi ...
Kau tahu, Sum. Kadang aku ingin bertandang. Sesekali selepas hari raya reda. Sekedar ingin menghitung gurat-gurat di wajahmu. Sesekali aku juga ingin jujur, bahwa aku memiliki keriput itu jauh lebih banyak darimu.
Dan berkabar bahwa aku, tetap sendiri! Menyatukan perasaan bahwa semenjak kepergian tanpa aba-aba itu, kau pun enggan untuk bersuami lagi.
Aku, telah selesai merias diriku Sum. Dan meletakkan sepotong kaca itu kembali mengait pada paku di tembok. Dengan kawat penuh karat, tergantung mesra ke datar dinding. Menceritakan betapa ia memantulkan kejujuran dari setiap wajah yang bercermin di kilapnya. Utuh, tak bersisa.
Kini aku bersiap pergi, Sum. Mendatangi resepsi pengantin muda-mudi. Mesra mengalun bahagia pada sepasang kursi pelaminan. Berharap engkau ada di antara para tamunya. Dan mersai betapa masih sedap mencuri wajahmu, meski sudah tak bidadari lagi.
Dengan batik dan peci ini, Sum. Aku melangkah, menerima sapa ramah. Dari orang-orang yang memanggilku 'Mbah'. Dulu, mereka adalah anak-anak yang suka mencuri jambu di pekarangan kita, sebelum kini mereka pun menjadi orang tua. | Cerpen Sedih Bikin Nangis
Namun, kenapa dulu kau tak menahanku pergi dari rumahmu? Atau kenapa dulu aku sangat tergesa meninggalkanmu? Tanpa mengurai bening, dan memulihkan kemana hati nanti berpaling.
Mengenakan batik lurik dan peci hitam ini, Sum. Aku nanti akan lewat di depan rumahmu. Menikmati serambi yang sama, halaman yang sama, sepasang daun pintu tua yang sama. Seperti tiga puluh tahun lalu.
Kini saatnya lelah dan renta. Yang semoga engkau masih menyimpan gegasmu dan berujar pelan dengan kemesraan yang boleh terselubung kukira.
"Kek, Handoko ... mampirlah. Aku tadi memasak kue apem."
"Oh, tentu saja Nek, Sum. Tapi tolong papah aku ya. Entahlah, aku sudah tidak segesit dulu ...." Aku tahu, kita akan kembali tersenyum. Mengenang perceraian, sebuah kepergian tanpa adanya pesan.