Cerpen Sedih Kisahku Dengan Lelaki Masa Laluku

"Lita?" sapa seorang laki-laki. Gagah, berkacamata hitam.

Untuk sesaat aku terdiam. Berpikir.

Ia membuka kacamatanya. Ah, aku bukan tidak mengenalinya. Hanya saja ... kini ia jauh berbeda.

"Ini aku Galang. Masa, sama pacar sendiri lupa?" selorohnya seraya mengulurkan tangan.

Aku tangkupkan kedua tanganku di dada isyarat memberi salam padanya. Dan Galang terlihat ragu menarik tangannya kembali.

Lima belas tahun sejak terakhir bertemu saat Galang hadir di pesta pernikahanku. Saat itu, ia hadir bersama teman satu genknya. Dengan berbesar hati menyalami aku dan suami yang telah menjadi pasangan resmi malam itu.

Dan kini, kami bertemu kembali. Di area pemakaman.

"Mau ke makam ibu?" tanyanya.

Aku ingat, Galang dulu ikut turun ke dalam lubang menyambut jasad ibu saat hendak dimakamkan. Sedang suamiku sendiri malah tak bisa hadir saat itu. Aku tahu Galang sangat perhatian, ia sangat mengerti lukaku kehilangan ibu. Tapi ia cukup tahu diri untuk tidak mendekatiku, karena aku sudah jadi milik orang lain. Dulu Galang sangat akrab dengan ibu. Saat apel di malam minggu Galang suka sekali mengajak ibu ngobrol, bercanda hingga membuat ibu tertawa sampai jengkel. | Cerpen Sedih

"Iya, kamu mau nyekar juga?" ucapku balik bertanya.

"Hmm, istriku ..." ucapnya pelan.

"Oh ..."

Kami berjalan beriringan dengan masing-masing membawa bunga dan air mawar yang kami beli di depan gerbang pemakaman.

Aku masih di makam ibu, saat Galang menghampiri.

Kemudian ia ikut berjongkok dan mengangkat kedua tangannya untuk berdo'a.

Hhhh...

Sepintas ada perih di dada. Mengingat masa lalu kami berdua.

"Suami kamu kenapa ngga ikut?"

Galang membuka percakapan kembali. Setelah bersikeras memaksaku untuk mau mengobrol sebentar dengannya di tukang es campur setelah aku menolak saat ia mau mengantarku pulang.

"Ngga, dia sibuk."

"Anak-anak?" tanyanya lagi.

"Si sulung di pesantren. Si bungsu sedang ada praktek renang."

Galang hanya mengangguk-anggukkan kepala.

"Istrimu. Sakit apa?"

"Kanker. Baru ketahuan setelah stadium akhir. Dua tahun yang lalu dia meninggal." ujar Galang sambil mengaduk pelan es campurnya tak selera.

.

Sekilas pandangan kami bertemu. Aku merasakan kesedihan di matanya.

"Kalian punya anak?" ucapku melebur kekakuan.

"Satu, laki-laki. Tapi tinggal dengan mertuaku."

Waktu begitu cepat berlalu. Lebih dari satu jam kami mengobrol, aku rasa.

Hingga...

"Kamu ngga berubah. Tetap cantik. Tapi sayang ..." ucapnya menggantung.

"Sayang kenapa?"

"Kayaknya pernikahanmu ngga bahagia."

"Sok tau!" aku pura-pura marah.

"Di pesta pernikahanmu, di pemakaman ibumu dan sekarang?"

"Kalo aku sering terlihat sendiri, itu bukan berarti pernikahanku ngga bahagia. Cuma saja ia terlalu sibuk," ucapku membela diri.

Galang menyodorkan kartu nama, saat kami hendak berpisah. Ia berharap aku mau menghubunginya bila butuh teman untuk bicara. Yang aku rasa itu sungguh tidak perlu.

Jauh di dalam hati, aku membenarkan ucapannya.

Terlihat sekalikah? Ketidakbahagiaan ini.

Pelan kuhapus air yang tiba-tiba merembes dari sudut mataku.