Perbincangan Dua Orang Yang Beda Generasi

Ujung malam berangsur terang menyambut pagi. Mentari perlahan menyingkirkan gelap. Pasar desa menunjukkan denyut nadinya. Istri pak ustad sudah menggelar dagangannya, ketika Ning Arum tiba dipasar. Sedang Maryati, sibuk meladeni pembeli sayurnya. Maryati terbelalak, saat bola matanya menangkap wujud Ning Arum, begitu masuk pasar. | Cerpen Kehidupan Perbincangan Dua Orang Yang Beda Generasi

Rasa iri meningkat menjadi dengki berkecamuk di dadanya, membaur mengikuti aliran darah. Sifat setannya menggerakkan anggota tubuhnya, hingga ia tidak lagi memperhatikan pembeli yang memutari jualannya. Kebencian pada ning arum, tak hanya menguasai dirinya, tetapi sudah menular pada ibu-ibu didekatnya.

“Tuh tandaknya. kepasar nddeso saja berdandan. Enggak tahu malu,” ujar Maryati, ketus sambil melayani pembeli.

Ibu-ibu menoleh, matanya tak berkedip, Sorot mata mereka memancarkan kebencian. Ning Arum santai saja, seakan tidak terjadi apa-apa. Ia mememutari pasar mencari sesuatu yang akan dibeli. Sedang Maryati terus saja mengoceh. Ucapannya nylekit dan menyakitkan. Sifat baik yang tinggal sedikit mencoba melawan prasangka buruknya, tapi tak mampu.

Kalimat Maryati tak berpangkal. Ibu-ibu yang mendengar ucapan Maryati tanpa titik tak berujung. menanggapi. “Lah ya to jeng. Wong rumahnya dekat. Lagi pula, joko mana yang kepincut. La wong di sini laki-lakinya wis podo tuek-tuek lan wis manak,” salah seorang pembeli merespon ocean Maryati.

“Yo ra weruh lah. Joko mana yang mau sama dek e. Dia kan kerjanya tiap malam nandak di depan lanangan. Yo gak nari tok, pasti dijak begituan mau,” maryati makin jadi.

“La pancen pekerjaannya nggudo bojone wong. Berdandan sekirane laki-laki tertarik. Wong wedok, kalau disawer gelem, yo pastilah urusan yang lain juga mau,” ujar pembeli lain menimpali.

“Huuuss, enggak boleh suudzon. Tidak semua prawan begitu. Jangan menebar fitnah, enggak baik,” ujar pembeli yang risih dnegan ocehan ibu-ibu tersebut.

Walaah….sampaian mbelo. Oleh piro?, Percuma kalau enggak dapat apa-apa. Mending diam ra usah komentar,’ Maryati tambah ketus.

Kalau hanya nandak (Menari), berapa sih dapatnya. Yang banyak itu, sawerannya. Kalau enggak nerima saweran, dan dodol awak (Jual diri) enggak mungkinlah cukup menghidupi emaknya yang janda dan dua adiknya,” tambah yang lain

Ning arum suka memberi, menolong orang yang punya utang, ya karena ada maunya. Biar mereka diam. Tidak usil dengan pekerjaannya menjadi wanita malam penghibur kaum laki,” sergah yang lain

Ning Arum, menahan gemuruh amarah di dadanya. Ingin rasanya meludahi wajah Maryati Cs. Beruntung, nasehat ibunya datang menembus dadanya, bersemayam di kalbunya. Seketika itu ia menarik nafas dan melepasnya kealam bebas. Partikel ocehan Maryati beserta komunitasnya yang sempat memanasi darah, menjauh, ketika jiwa kesabaran Ning Arum datang,

Ning Arum tersenyum, Ibu-ibu yang doyan menggunjing orang itu, tetap menunjjukkan muka ketus. Bahkan ada yang mlengos (Membuang muka). “Assalaamualaikum ibu-ibu. Koq pada diam. Permisi ya bu…,” ujar Ning memecah kesunyian.

Sapaan akrab ning Arum tak dihiraukan. Mereka tetap sewot, mencibir mulut ada pula yang menggunakan isyarat dengan mengedipkan mata. Respon permusuhan yang diperlihatkan ibu-ibu, tidak dibeli ning Arum. Ia lebih fkcus beli ikan. “Lo…kok pada diam. Ayo ibu-ibu, pilih ikannya. Gak usah mikirin harganya. Ayo…ini ikannya segar-segar,” Ning Arum mencoba membuka kebuntuhan.

Ibu-ibu mematung. Tidak ad iyang tahu alasannya. Apa malu atau tidak suka ikan. Hanya Tuhan dan mereka yang mengetahui jawabannya. “Ini semuanya bu Maryati,’ ucap ning Arum sambil menunjuk ikan

“oh ya…koq beli banyak Ning,” Maryati heran

“Kebetulan dapat rezeki tadi malam. Tolong bungkuskan yang satu kilo.

“Koq hanya sekilo, katanya dibeli semua,” sela Maryati.

Ya, yang sekilo untuk saya, lainnya untuk ibu-ibu,” pinta Ning Arum

“Oooh…, Maryati manggut-manggut

“Ini uangnya. Kembaliannya enggak usah. Untuk ibu Maryati saja,’ ucap Ning.

Muka Maryati memerah. Penilaian buruk terhadap perawan yang ada di depannya, salah besar. Hatinya memberontak untuk segera meminta maaf. Namun, air kebaikan yang hendak memadamkan api ke-egoannya, menolak. Maryati lebih mempertahankan harga diri ketimbang menabur malu dihadapan komunitasnya.

Ning Arum pergi meninggalkan perempuan-perempuan yang tak pernah puas diri dn bersyukur tersebut. Mereka menilai sekitarnya memakai kacamata buram., sehingga penglihatannya kabur. Ajakan berbuat baik bu ustadah disetiap pengajian yang diikuti, tak mampu menggosok karatnya kedengkian yang menghitam kecoklatan.

Bebeberapa langkah Ning Arum meninggalkan tempat jualan Maryati, ibu-ibu yang menebar kebencian, berebut ikan yang ditinggal Ning Arum. Suara gaduh mereka, mengalahkan riuhnya pasar, berebut ikan, pemberian gadis yang distempel berlumur dosa karena profesinya tersebut.

Ning Arum, terus melangkah diantara meja pedagang pasar, disela para pembeli. Tiba-tiba benaknya teringat pesan pak ustad. Ning Arum menhentikan langkahnya, berbalik 180 derajat, menuju penjual botok, istri pak ustad yang sudah terlewati. “Loh kok mbalik jeng,” sapa bu ustad.

‘Mau beli botok, masih ada ya mik,” jawab Ning Arum

‘Tinggal tiga mbak ayu. Kebetulan, barusan ada yang borong. Enggak apa-apa kan,” ucapnya.

‘Bungkus saja semuanya. | Cerpen Kehidupan Perbincangan Dua Orang Yang Beda Generasi

Pas untuk ibu dan dua adikku,” tutur Ning Arum, seraya menyerahkan uangnya.

Tak banyak yang diomongkan dua perempuan beda generasi tersebut. Ning Arum kepingin segera tiba di rumah, karena ibu dan dua adiknya sudah menunggu lama. Sedang umi ustad keburu berkemas, Lantaran jualannya habis tak tersisa. Dengan langkah ringan Ning Arum meninggalkan pasar.