Kutukan Warisan Ilmu Hitam Keluarga

Diana menggeliatkan badan, ketika matahari menyorot ke wajahnya dari jendela yang terbuka. Dengan lunglai, Diana menuju kamar mandi. Semenjak ulang tahunnya yang ke 18, mimpi buruk selalu dialaminya.

" Pagi, Ma ... pagi, kak Via." Sapanya seraya mengecup pipi kedua orang kesayangannya.

Terlihat kedua pipi mereka nampak merona. Diana menarik nafas panjang.

"Diana berangkat kuliah dulu ya," pamitnya berlalu, setelah menghabiskan segelas teh manis.

Disambarnya kunci motor yang tersimpan di atas televisi.

Hembusan angin pagi menyapu. Sejenak mampu melonggarkan paru-parunya. Saat - saat tidak di rumah seperti inilah yang paling membahagiakan bagi Diana. | Cerpen Misteri Kutukan Warisan Ilmu Hitam Keluarga

"Koran ... koran ... koran ... pembunuh berantai beraksi lagi ... koran ... koran. Mau beli, Kak?"

Bocah penjual koran mengangsurkan dagangan setelah menerima uang pembelian Diana.

Ada rasa sakit yang menyeruak di hatinya. Sejak keluarganya pindah ke kota ini -- dua bulan yang lalu -- berita pembunuhan wanita hamil yang diambil janinnya selalu menghiasi bagian depan surat kabar. Sama seperti peristiwa di berbagai kota yang pernah di tinggalinya dulu.

"Sampai kapan aku berpindah tempat tinggal, heeehh ...!" Gumamnya.

Menjelang malam Diana buru-buru pulang. Kesibukan di kampus di lanjut dengan jalan-jalan menyusuri kota barunya, membuat dia pulang lebih lambat dari biasa.

Dengan berlari dilaluinya anak tangga teras rumah. Lampu ruang tamu tidak menyala. Ada rasa khawatir menyergap.

BRUUAKK!

Dihempaskannya pintu lalu menekan tombol lampu.

"Ma, Mama ..., Kak Via! di mana kalian?".

Diana menuju dapur dan ruang tengah. Kosong! Bergegas dia menuju kamar utama.

"Ma ... Mama ..." ketuknya perlahan

"Masuk saja, Di!"

Dipeluknya perempuan paruh baya yang telah membesarkannya. Orang yang paling dekat, setelah kematian Pak Hendra, papa Via dan Diana.

"Mana kak Via, Ma?"

"Kakakmu keluar sejak senja tadi, Sayang! Mungkin tidak sampai larut malam sudah pulang, kenapa? Sudah laparkah kamu?" Pertanyaan mamanya hanya dibalas dengan senyum tipis. Terdengar helaan napas bu Hendra yang terlihat berat.

"Kasihan kakakmu, dia yang menopang kebutuhan kita sehari -hari, mama tidak tega, seandainya tenaga mama masih kuat ...." Ada nada sesal dalam perkataan mamanya hingga membuat Diana merasa bersalah.

Terdengar pintu belakang rumah terbuka lalu tertutup. Disusul suara sesuatu yang dijatuh di lantai kayu.

"Pergilah, Nak! kakakmu sudah datang ... makanlah. Tidak usah menunggu Mama!" Ucap Bu Hendra, seraya mendorong halus bahu Diana agar keluar kamar.

Dengan lesu Diana menuju kamar, nafsu makannya lenyap. Diempaskannya tubuh ke pembaringan tanpa menyalakan lampu kamar. Dengan mata terpejam, pikirannya melayang. Mengingat tingkah aneh kakak dan mamanya selama ini. Setiap senja, Via selalu pergi, lalu pulang dan kembali keluar lagi beserta mamanya. Menjelang pagi atau dini hari mereka baru pulang.

"Ah, aku tidak rela jika orang yang kusayang melakukan pekerjaan hina untuk memenuhi kebutuhan keluarga ini. Malam ini aku harus mengikuti mereka, aku ingin tahu aktivitas mereka itu apa!" Batin Diana menyusun rencana. Tidak lama kemudian, dia pun terlelap.

Sesosok tubuh dengan rambut meriap berjalan mengendap. Mengendus udara sekitar, mencari sumber aroma yang membuatnya gemetar menahan dahaga dan lapar.

Clap ...

Clap ...

Sruuup ...

Claap ...

Claaap ...

Dahaga makhluk tersebut, sejenak terlampiaskan saat mendapati seonggok daging segar yang kini sudah tak bernyawa. Giginya telah memutus urat nadi tubuh tak berdosa, mengisap darahnya dan mengorek biji mata yang menatap kosong lalu mengunyahnya. Belum puas, dicabik kembali jasad di hadapannya dengan buas.

Arrggghk ...!

Arrrggghk ...!

Nyamm ...

Nyammm ...

Sluuurrp ...

Hemmm ...

Arragh ...!

Dikunyahnya jantung yang telah berhasil direnggut dari dalam rongga dada. Setelah menuntaskan nafsu laparnya, dengan berjalan gontai, makhluk itu pun keluar.

Diana terbangun dengan perasaan kacau. Mimpi buruk menghantuinya setiap malam . Matanya melirik jam meja yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Terdengar pintu belakang terbuka lalu tertutup. Suara percakapan mama dan kakaknya membuat Diana segera keluar kamar. Namun kedua perempuan cantik itu hanya tersenyum lalu menuju kamar masing - masing. Dengan hati dongkol karena di acuhkan, Diana menuju dapur . Diraihnya sebotol air dingin dan meneguk dengan nikmat.

"Aaa ..., Mama! Tolooong ...!" teriak Diana begitu melihat tubuh bayi berlumuran darah dengan kepala rengkah, dada terkoyak serta biji mata yang sudah hilang di sudut dapur.

Sementara, di sebuah klinik bersalin terjadi kehebohan. Seorang wanita yang diperkirakan akan segera melahirkan, menghilang secara misterius. Pihak keluarga dan petugas klinik yang mencari, akhirnya menemukan wanita tersebut di semak belukar, berjarak 500 meter dari klinik dengan kondisi tidak bernyawa serta perut terbelah. Polisi memasang police line di sekitar lokasi. Guna penyelidikan kasus tersebut. Pasien lainnya berhamburan keluar, ketika kabar penemuan mayat perempuan tersebut merebak.

Kepolisian mengorek keterangan dari pemilik klinik, dokter dan bidan yang bertugas malam, namun tidak mendapatkan keterangan berarti. Keluarga pasien yang menunggu familinya di klinik pun tidak tahu menahu. Lagi - lagi polisi menemukan jalan buntu untuk mengungkap kejadian di wilayahnya. Keberadaan pembunuh berantai semakin meresahkan masyarakat.

Para wanita hamil gelisah, sebagian besar warga mengungsikan keluarganya yang sedang hamil ke daerah lain.

Bu Hendra yang hendak membaringkan tubuh, terhenyak mendengar teriakan putrinya. Lalu dengan tergesa menuju sumber suara.

"Kenapa, Sayang. Ada apa?" Dipeluknya tubuh Diana yang gemetar. Terlihat Via, putri sulungnya membersihkan sisa - sisa darah di lantai seraya tersenyum penuh arti.

"Ma, wanita setan dalam mimpiku, benar-benar datang, Ma! Dia membawa bayi dan memakannya di sini, di dapur rumah ini, aku melihatnya dalam mimpiku dan sekarang mayat bayi itu ada di sini!" Ceracau Diana dengan histeris.

"Sssst ...tenanglah, Di ... tenang Sayang, tidak ada wanita seperti dalam mimpimu, Nak!"

"Bagaimana tidak ada? Lalu ... kenapa ada mayat bayi di dapur rumah kita? Seperti kejadian yang sering kita alami di rumah kita dahulu. Aku harus telpon polisi!" Dengan kasar Diana menepiskan tangan yang memeluknya.

"TUNGGU!" teriak Via, berlari menghadang langkah Diana.

"Tunggu, Di! Jangan gegabah, kamu kira dengan menelpon polisi urusan akan selesai? Tidakkah kamu pikir, bisa saja polisi mencurigai kita! Kamu mau semua orang menganggap salah satu dari kita sebagai pembunuh wanita hamil dan mengambil bayinya yang sekarang sedang heboh di masyarakat?"

"Tapi ... Kak, pembunuh itu sepertinya mengikuti keluarga kita," jawab Diana sambil mengusap air mata.

"Jangan menutup mata, Kak! Jangan seolah - olah tidak mendengar dan mengingat kejadian di setiap kota yang kita tinggali." Masih dengan terisak Diana mencoba mengingatkan Via.

Mamanya yang berdiri tidak jauh dari mereka hanya menatap sendu. Via segera bergegas keluar dengan membawa bungkusan mayat bayi yang tidak utuh itu, sebelum langit terang. Dia menuju pinggiran kota yang sepi. Dan memberikan sarapan pada anjing - anjing liar di sana, seperti dua bulan terakhir ini.

Lalu dipacunya mobil dengan kencang. Air mata menetes membasahi pipinya yang semakin tirus. Aib di dalam keluarganya di pendam rapat, hanya dia dan mamanya yang tahu.

Ketika malam menjelang, mereka tidur bertiga. Via dan Diana berbaring mengapit bu Hendra. Masing-masing larut dengan pikirannya sendiri.

"Ma ..." Diana memecah kesunyian.

"Ya, Sayang ..." Perempuan tua itu berbalik dan memeluk putri bungsunya.

"Aku merasa wanita dalam mimpiku itu nyata, Ma. Aku melihatnya memakan bayi seperti dalam mimpiku."

"Sudahlah, Diana. Sejak kepergian papa, kamu selalu meracau dan bercerita yang tidak masuk akal!"

"Tapi ... Ma. Aku selalu mimpi yang sama! Apa itu wajar?"

"Sudahlah, Diana! Sudah tengah malam. Mama capek, nggak usah bicara masalah yang tidak jelas!" Jawab beliau dengan tegas.

Keesokan pagi, Diana bangun agak lambat dari biasa. Semalam mimpi buruk tidak mengganggunya lagi. Setelah mandi, dibukanya lemari baju untuk mencari pakaian terbaik.

Diana ingin terlihat cantik hari ini. Setelah mendapatkan pakaian yang ia cari, ia meraih gantungan baju yang berisi sekumpulan syal koleksinya. | Cerpen Misteri Kutukan Warisan Ilmu Hitam Keluarga

Dahinya mengernyit. Merasa ada yang beda dengan syal-syalnya.

"Syalku sepertinya berkurang ... atau mungkin kak Via meminjam tanpa ijin kepadaku?" Gumamnya bergegas menuju kamar Via, yang terlihat sudah siap dengan seragam dinas.

"Kak Via meminjam syal-syalku ?" tanya Diana.

"Nggak, Di! Kenapa?" jawab Via seraya menggelung rambut.

"Jumlah syalku berkurang, banyak yang tidak ada!" Sungut Diana dengan cemberut.

"Oh ... nanti kalau kakak gajian, kakak belikan lagi yang lebih bagus! Kakak mau kerja dulu, banyak pasien yang menunggu!" Via menjawab cepat dan bergegas keluar kamar.

Setelah sampai di klinik bersalin -- tempat kerjanya -- Via memeriksa beberapa perempuan yang hendak melahirkan. Jantung Via berdegup. Dipandanginya setiap wajah pasien dengan perasaan bersalah. Namun segera dia tepis.

Via berkeliling dari kamar ke kamar lain. Keluarga pasien memenuhi tempat khusus untuk menunggu. Satpam klinik pun kini bertambah personilnya.

Jumblah pasien memang tidak sebanyak dulu --sejak peristiwa berdarah menghantui kota kecil ini -- Namun setidaknya klinik masih beroperasi. Dan itu cukup melegakan Via.

"Hati - hati, Nak! Maafkan Mama yang tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga kamu harus melakukan semua ini, tenaga Mama tidak sekuat dulu lagi ..." ucap Bu Hendra dengan air mata berlinang ketika Via berpamitan untuk keluar lagi di malam hari.

"Iya, Ma. Doakan Via ya ..., semua Via lakukan demi keluarga kita."

"Hati - hati, Nak ..." pesannya sekali lagi. Via hanya mengangguk dan mencium pipi Bu Hendra, sebelum dia masuk ke dalam mobil lalu melesat menuju tempat kerjanya.

Sementara itu, di dalam kamar Diana merasa udara kamarnya mendadak gerah. Diambilnya syal sifon biru tua, untuk mengikat rambutnya yang terurai. Namun upaya itu tidak juga meredakan hawa panas yang dia rasakan. Dibukanya jendela. Semilir angin mengibaskan anak- anak rambut di kening. Bulan bersinar terang.

Diana menikmati embus angin serta pantulan cahaya bulan di kulitnya yang kuning langsat. Dibukanya jendela lebih lebar, lalu membaringkan tubuh. Embusan angin membuat pikiran Diana rileks. Angannya terbang entah kemana, tanpa menyadari sepasang mata menatap dari balik kegelapan. Menunggu saat tengah malam tiba.

Setelah satu jam perjalanan, mobil gadis berambut ikal kemerahan itu, memasuki halaman klinik.

"Selamat malam, Bu Via." Sapa seorang satpam ramah ketika melihatnya melintas. Via hanya mengangguk dan terus melangkah.

"Bukankah kamu masuk pagi ?" Tegur temannya yang melihat kedatangan Via.

"Iya, aku mau menjenguk family yang akan melahirkan di sini," jawabnya tersenyum. Via pun memasuki ruangan, di mana calon-calon ibu menunggu saat melahirkan, berbaring.

Sementara teman yang menyapanya, kembali berkutat dengan data dan hasil pemeriksaan pasien. Via melewati ruang bersalin, terdengar jerit kesakitan calon ibu yang sedang melahirkan, diselingi suara rekan sesama bidan yang memberi semangat. Via memasuki bilik kamar tempat pasien yang belum melahirkan berbaring. Ada tiga ranjang terisi. Didekatinya ranjang terdekat, di mana terbaring perempuan muda dengan perut membuncit yang menggigit bibir menahan rasa mulas.

"Ada yang dikeluhkan, Bu?" Sapa Via sembari berdiri di samping ranjang.

"Sakit ... Bu Bidan. Tadi sudah diperiksa oleh Bidan Heny, tapi kata beliau masih pembukaan awal." Keluh perempuan itu sambil memegang perutnya yang membulat.

"Lebih baik Ibu jalan- jalan, supaya cepat pembukaan mulut rahimnya, maka cepat juga melahirkan," jawab Via.

"Ayo ... saya temani jalan-jalan di sekitar sini, jangan hanya berbaring menunggu, lebih cepat lebih bagus, jadi tidak perlu lama Ibu merasakan sakit, ya kan?" Bujuk Via.

Perempuan muda itu pun mengangguk lalu turun dari pembaringan. Dengan langkah perlahan, Via menggandeng pasien. Mereka keluar ruangan sambil ngobrol ringan. Teman Via yang tadi menyapa, hanya tersenyum melihatnya menuntun pasien, berjalan menuju taman di sekitar klinik. Lumrah pemandangan seperti itu. Keluarga pasien pun tidak menaruh curiga. Mereka kembali berbaring di ruang tunggu yang disediakan.

"Lho ... mau kemana, Bu Via?" Satpam yang melihat Via keluar klinik bersama salah satu pasien, bertanya.

"Menemani jalan-jalan ringan saja, Pak. Biar cepat persalinannya, sekalian mau ambil phonsel saya di mobil," jawab Via. Petugas keamanan tersebut hanya mengangguk dengan raut heran.

Sesampainya di samping pintu mobil, Via mengeluarkan sesuatu dari dalam tas -- yang terselempang di pundak -- dan dibekapkan ke indera pernapasan pasien, yang seketika terkulai. Dengan sigap Via merengkuh tubuh yang hampir terjatuh dan mendorongnya masuk ke dalam mobil. Postur kecil wanita pingsan itu, tidak menyulitkannya. Posisi parkir mobil yang terlindung mobil ambulance, semakin mempermudah aksi via tanpa takut ketahuan siapapun.

Mobil Via memasuki garasi. Bu Hendra keluar menyongsong. Lalu membantu membopong tubuh yang terkulai pingsan, ke dalam gudang tua di belakang rumah. Kemudian ... Via pun segera memakai sarung tangan karet yang telah tersedia.

Kilauan pisau di genggamannya, terpantul cahaya lampu, berkilat. Dihunjamkannya dengan cepat dan tepat di jantung perempuan hamil nan malang di hadapannya.

Dengan wajah beku, Via mencabut pisau yang kini memerah. Kemudian membelah perut buncit wanita tersebut. Darah membanjiri lantai gudang, orok yang masih terbungkus plasenta diangkatnya.

Bu Hendra yang sedari tadi memperhatikan tingkah polah anak sulungnya, segera mendekat. Diambilnya sosok bayi dari tangan Via dan segera masuk rumah melalui pintu belakang.

Jam di dinding berdentang nyaring, menunjukkan waktu tengah malam. Via bergegas menyusul masuk dan dengan cepat membersihkan tangan serta wajahnya yang berlumuran darah.

Bu Hendra menaruh jasad mungil pada baki perak, di atas meja dapur.

Dengan wajah pias, Bu Hendra beserta Via, segera masuk kamar dan mengunci pintu. Tidak lama kemudian, suara geraman terdengar.

Aarrrgh ...

Aarrrgh ...

Arrrgh ...

Lolongan anjing di kejauhan, membuat suasana malam kian mencekam. Angin berhenti berembus. Bulan bersembunyi di balik awan hitam. Suara burung malam seolah menyanyikan lagu duka cita.

Sesosok makhluk perempuan dengan cakarnya yang tajam serta pandangan merah menyala berjalan perlahan menuju meja, di mana tubuh bayi berada. Rambut terurai tidak beraturan menutupi wajah.


Dengan sigap, makhluk itu mengangkat janin tersebut lalu dengan buas menggigit serta mencabik plasenta serta tubuh bayi malang itu. Daging pun terkoyak, darah muncrat menutupi muka Sang Perempuan Iblis, darah segar diisapnya dengan rakus. Dengan kuku panjangnya, makhluk itu mengorek jantung, mata dan otak si Bayi, lalu melahapnya tanpa sisa. Ada seringai kejam terbias. Dahaga dan lapar kini telah terpuaskan.

BRRAAAKK ...!

THAR ...!

THAR ...!

THAR ...!

Suara dobrakan bersamaan dengan tembakan memenuhi ruangan. Aparat kepolisian berhamburan memasuki rumah. Mengejar sosok hitam, yang secepat kilat melesat, memasuki salah satu kamar lalu melompati jendela yang terbuka, menembus kegelapan malam.

Via dan Bu Hendra ditahan dengan tuduhan persekongkolan pembunuhan berencana.

Kesaksian satpam dan petugas klinik -- yang melihat Via menuntun pasien keluar klinik, membuat aparat kepolisian mendatangi rumah Via -- ketika salah seorang pasien tak kunjung kembali ke ruangan.

Dengan tertunduk lesu, Via menyesali kecerobohannya dalam mencari mangsa. Selain itu, batinnya pun tersiksa memikirkan nasib Diana, adik satu-satunya. Pewaris aib keluarga yang tak mampu menolak, tubuhnya dikendalikan oleh iblis.

Tidak ada lagi yang akan mencarikan bayi yang masih terbungkus plasenta, di kala haus dan lapar Diana kembali membuncah.

"Akankah nasib Diana akan sama seperti Pak Hendra, papanya. Yang meregang nyawa karena memangsa dirinya sendiri saat tidak mendapatkan mangsa untuk makanannya?" Batin Via. Tinggal menunggu waktu.

Kutukan keluarga warisan leluhur akibat menganut ilmu hitam dan bersekutu dengan iblis -- yang menimpa anak bungsu di keluarganya membuat Via tidak dapat hidup tenang.

Karena bila suatu saat dia menikah, anak bungsu yang akan dilahirkannya pun, kelak akan mewarisi kutukan dari leluhurnya, bila tiba waktunya. | Cerpen Misteri Kutukan Warisan Ilmu Hitam Keluarga