Sebuah Cinta yang Diawali Dengan Benci

Ada banyak opsi untuk menghancurkan hidup seseorang. Tidak peduli seberapa besar pengaruh dan kekuasaan yang ia miliki.

"Kau tidak akan mampu menghancurkanku, Sarra."

Aku, Sarra Hamada. Terjebak oleh sebuah pernikahan dengan seorang pria dingin dan kejam di seluruh planet ini. Dia yang menghancurkan segalanya. Dan aku pun akan membalasnya.

Masahiro Higashide.

"Aku menikah denganmu untuk memastikan hidupmu akan sangat menderita," ucap Masahiro kasar setelah pernikahan kami usai.

"Terserah apa yang kau katakan."

Aku menertawakan dirinya. Tanpa rasa takut, mendekat dan menatap nyalang sepasang mata kelam yang sama kelamnya dengan pemiliknya.

"Lagi pula, aku tahu kelemahanmu, Masahiro," tambahku dengan senyuman manis yang dibuat-buat.

"Tck!"

"Kenapa?"

"Kau tidak akan pernah tahu kelemahanku, Sarra."

Sanada Fujiwara.

Wanita yang selama ini pria itu cintai. Perempuan yang memiliki hati seperti arang, sama dengan Masahiro. Wanita yang dulu membully dan menyiksaku. Sekarang, kita lihat apakah ia sanggup melihat kekasihnya menikah dengan gadis yang sering ia aniaya?

Wanita itulah alasan Masahiro membenciku. Pria seperti dia akan melakukan apapun untuk seorang wanita penggoda yang licik.

"Bagaimana kalau wanitamu."

Ekspresi Masahiro tidak bisa di baca. Begitu datar.

Tidak ada malam pertama atau bulan madu. Aku sudah putuskan kalau kami tidur berpisah meski sudah menikah sekalipun.

Lagi pula baik aku atau pun dia sama-sama tidak saling mencintai. Jadi, tidak ada alasan untuk tidur di tempat yang sama.

Satu bulan pernikahan, Masahiro tetaplah sama. Kasar dan dingin. Dia sungguh tidak tersentuh dan aku sama sekali tidak ingin menyentuhnya seujung jari pun.

"Tetaplah bersamanya, Sarra."

Kalau bukan karena pria tua yang menatapku penuh harap itu, aku tidak akan pernah sudi menikah dengan lelaki jahat.

Tidak akan.

"Kenapa kau memintaku untuk menikah dengan cucumu, dia punya kekasih yang lebih kaya dan cantik dari pada diriku."

Yamato Higashide.

"Dia sendiri yang memintanya, Nak."

Benarkah? Dia pasti berniat menghancurkanku sejak awal. Dia menyuruh kakeknya untuk menyulikku dan berpura-pura menentang saat kakeknya menyuruh dirinya untuk menikahiku.

Permainan yang apik untuk seorang pria egois seperti Masahiro.

"Dia ingin menghancurkanku."

Hari ini dia pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Masahiro meracau tidak jelas sambil berjalan sempoyongan. Aku berdiri di lantai dua, melihat beberapa pelayan mencoba membantu tapi berakhir pada bentakan yang membuatku sedikit bergetar ketakutan. | Cerpen Misteri Sebuah Cinta yang Diawali Dengan Benci

"Enyah dari hadapanku!"

Sampai tatapan kami bertemu. Sekilas kerutan di dahi itu menghilang namun kembali memperlihatkan ekspresi dingin yang menusuk.

"Apa yang telah kau lakukan pada Sanada, huh?!"

Sanada? Ah, ya aku baru ingat. Wanita itu datang kemarin di rumah sakit tempatku berkerja. Datang dengan pakaian setegah jadi dan memarahiku di depan pasien. Bahkan menamparku.

"Aku hanya menamparnya, apa dia mengadu padamu?"

Matanya menatapku tajam. Langkahnya cepat menuju tempat aku berdiri.

Plak!

Satu tamparan itu kuterima tanpa perlawanan.

"Itu untuk perbuatanmu padanya."

Masahiro menarik dan membawaku ke dalam kamarnya. Aku terjebak. Ya Tuhan! Apa yang akan dia lakukan padaku, pikirku mulai kalut.

Tiba-tiba dia membawaku ke atas ranjang dan menindihku. Aku ketakutan.

Bagaimana tangan itu mengerayai tubuhku yang masih terbalut pakaian. Dan tatapan penuh nafsu membuatku seperti wanita yang tidak ada bedanya dengan wanita di luar sana.

Menelanjangiku dengan tatapan tajam. Menciumi tengkuk, pipi dan bibir. Aku memukul dadanya keras, tapi tidak ada yang berubah meski sekuat tenaga aku mememukul drinya. Apakah ini kodratnya menjadi seorang perempuan.

Lemah.

Aku menangis.

"Aku ingin memilikimu seutuhnya," bisik Masahiro parau.

Paginya aku terbangun dalam keadaan telanjang di dalam selimut tebal. Rasanya sakit dan sesak. Dia telah mengahancurkanku. Mengambil sesuatu yang sangat berharga dariku secara paksa.

Aku kotor.

Masahiro bertelanjang dada, dan jangan menebak lagi apa dibalik selimut itu.

Aku menangis sepanjang hari setelah pergi dari kamar sialan itu. Mengunci pintu kamar dan membuang kuncinya entah kemana. Membersihkan diri dengan deraian air mata yang tiada hentinya. Lalu meringkuk dalam kesunyian.

Entah berapa kali sebuah ketukan keras kudengar sejak beberapa menit yang lalu. Rasanya seperti mati rasa.

Ceklek.

Sebuah langkah pelan membuatku tetap dalam posisi meringkuk dan tidak berani membuka mata. Terlebih saat ibu jari yang sangat familiar menghapus jejak air mata di pipi.

Apa yang dia lakukan?

Cup.

Deg. Dia?

"Maafkan aku, Hime." (Hime: Sayang)

Apa yang Masahiro lakukan padaku? Apa. Tidak, tidak seharusnya aku berpikir kalau sebuah batu bisa berubah menjadi tanah.

Masahiro tidak akan pernah punya sisi baik dalam hidupnya sekalipun. Tidak. Tapi, dia menciumku!

Perdebatan batin membuatku merasakan hal yang lain. Aku tidak ingin bersikap lemah setelah apa yang ia lakukan terhadapaku.

Tidak ada senyum atau tawa. Aku berusaha menghindar setiap kontak apapun dengan Masahiro sejak saat itu. Sampai sebuah kenyataan memukulku telak.

Aku hamil.

Sebagai dokter aku bisa merasakannya.

"Bagaimana ini," pikirku, sekarang aku benar-benar merasa tidak menentu. Terlebih mood-ku mudah sekali berubah layaknya roler coaster.

Dan sikap Masahiro akhir-akhir ini membuatku sedikit risih. Dia berubah, tidak lagi membentak atau melayangkan tamparan di salah satu pipiku. Atau, menyondongkan pistol seperti empat bulan yang lalu saat aku membangkang dan berniat bunuh diri dengan terjun dari lantai tiga ke kolam renang.

Kalian ingin tahu siapa yang menolongku saat aku telah putus asa dan lebih memilih mati? Pria yang aku benci.

Masahiro.

Alasannya? Entahlah aku tidak tahu. Mungkin, baginya tidaklah menderita jika aku langsung mati. Jadi dia menolongku dan akan membunuhku dengan perlahan-lahan.

Kini dia seperti bukan Masahiro, tapi entah kenapa aku menyukai perubahan itu.

Sampai suatu hari seorang pria yang selama ini menghilang datang memberiku sebuah bukti baru tentang pembunuhan orangtuaku empat tahun lalu, saat aku akan lulus dari bangku SMA.

"Tidak. Mana mungkin dia," air mataku tidak bisa terbendung lagi.

"Itulah kenyataanya, Sarra."

"Jangan bohong padaku. Kau yang membunuh mereka!"

Cobaan apa lagi ini. Setelah aku membuka hati dan mencoba memulai, satu lagi kenyataan membuatku menahan sakit.

"Kau terlihat pucat, Sarra."

Masahiro menghampiri meja makan saat aku sudah duduk di kursi untuk makan malam. Sayangnya tidak ada tanggapan apapun. Apa dia tahu tentang kehamilanku?

Tidak.

Karena satu bukti lain membuatku ingin membunuh pria yang kini berdiri di sampingku. Dan menyembunyikan kehamilan ini. |

Cerpen Misteri Sebuah Cinta yang Diawali Dengan Benci

"Aku baik," jawabku malas.

Setelah makanan datang bau amis masakan seafood membuatku ingin muntah. Dan sebelum hal itu terjadi aku bangkit untuk pergi ke kamar.

"Makan dulu,"

"Tidak."

"Bukan aku yang membunuh Ayah dan Ibu, sungguh. Dengarkan aku, Sarra. Dia yang membunuh mereka karena balas dendam saat cabang perusahaannya kalah ketika tander proyek di Jerman di menangkan oleh Hamada Corp. "

"Lalu kau pergi kemana setelah itu?"

"Aku di penjara."

Benarkah dia adalah pembunuh itu?

"Bunuh dia Sarra. Hanya kau yang bisa."

Ingatan tentang percakapanku dengan kakak membuat aku bangkit dan pergi menuju kamar sebelah. Melihat dan memastikan Masahiro telah tertidur pulas.

- Bersambung -