Spesial untuk Bang Said Ibnu. Ini orang diminta satu kata aja, malah banyak. Walhasil, digabung saja. 'Hujan, kereta, stasiun dan kamu'. Iya kamu, tolong krisan ya..
Desember, Kamu dan Stasiun Kereta. | Cerpen Romantis Antara Kau Dan Stasiun Kereta
Kali ini tak ada yang nampak berbeda, layar langit masih menampakkan biru yang sama seperti hari-hari kemarin, dihiasi gumpalan awan berarak, seperti permen kapas berwarna putih. Menjelang siang, kelabu mulai menguasai langit, terkadang sampai senja datang dan tak menutup kemungkinan, hujan selalu menyapa di pagi yang buta.
Hujan bulan Desember dan aku suka.
Kamu tahu, kali pertama kita bertemu di Stasiun Jakarta Kota, kala itu kita tidak saling mengenal apalagi untuk peduli, duduk terpisah dengan jarak bebeberapa meter. Kita terlalu sibuk dengan isi kepala masing-masing. Sibuk memikirkan jalan hidup yang berliku, juga mimpi yang belum tergapai.
Lalu hujan datang tanpa peduli menghujami persada dan aku suka, tapi tidak segila kamu. Di saat semua orang berlarian, berteduh menghindari hujan. Kamu justru mendatanginya, menengadahkan kepala sembari merentangkan tangan. Itu gila, tapi aku suka.
Kali ini, rasa penatku terbayar sudah, tingkahmu berhasil mencuri perhatianku, lantas meciptakan lengkung di wajah. Ingin rasanya, aku berhambur bersamamu, namun akal sehatku berhasil mencegahnya. Kesan pertama yang kusandangkan padamu, kamu keren dan berbeda. Maka kunamai kau, gadis penyuka hujan.
Menghela napas panjang, barangkali bisa mengurai rasa bosan karena melakukan rutinitas yang diulang-ulang. Pergi ke kampus, mengurus BEM, menemui dosen pembimbing, dan rinai hujan selalu setia menemani.
Kulirik sejenak tempatmu duduk seperti kemarin. Kosong, selain dirimu, tak juga seseorang yang mau mendudukinya, lebih memilih berdiri sembari menunggu keretanya datang, membawanya ke tujuan.
"Ah, ada apa denganku?" gumamku. "Kenapa juga harus peduli?"
"Aww!" Seseorang memekik, sambil terlonjak. Baru saja sebelah kakinya tersangkut kakiku.
"Maaf!" ujarku.
"Tidak, tidak apa. Aku yang salah."
Sedikit terbelalak aku, kala mendapati bahwa itu adalah kamu dan ekor mataku tak lepas memandangi punggungmu yang menjauh.
Insting priaku berjalan. Meski sebenarnya aku bukan tipe pria perayu, tapi ini kulakukan demimu, hei gadis penyuka hujan!
"Kopi?" Aku menyodorkan secangkir kopi tepat di wajahmu dan itu berhasil membuatmu melirikku sejenak, meski memasang wajah bingung. "Ah, hanya bentuk permintaan maafku saja, tak ada maksud apa pun." Aku mengambil duduk di sebelahmu.
Kamu meraihnya, lantas berkata, "ada racunnya? Atau pelet?" Sembari memutar-mutar gelas plastik itu, menatap curiga.
Aku tergelak, demi mendengarnya. "Apa tampangku seperti orang jahat?"
Kau mengangkat bahu. "Mungkin. Penampilan tak bisa dijadikan patokan untuk melihat isi hati seseorang, karena tidak ada yang tahu hati setiap orang, bukan? Bahkan mereka yang berpendidikan, memiliki kekuasaan, justeru tukang curi sebenarnya. Pencuri kesejahteraan rakyat."
"Uhuk!" Aku tersedak karena belum sempat menelan, namun terkejut dengan kata-katamu. Sungguh, tak ada korelasinya antara aku yang memberi kopi cuma-cuma sebagai tanda permintaan maaf dengan semua hal yang kau sebutkan itu. Hal itu menunjukkan betapa menariknya pemikiranmu yang spontan terucap.
"Ini jelas tak hubungannya dengan semua itu."
"Memang tak ada." Kau menunjukkan senyum, lantas bibirmu yang tanpa pewarna buatan itu menyeruputnya sedikit.
"Apa kamu suka hujan?" Tanpa basa-basi aku bertanya dan kamu langsung menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
Aku mengelus leher. "Kemarin tak sengaja, melihatmu hujan-hujanan"
Kamu tak mampu menahan tawa. "Pasti aku terlihat konyol sekali."
"Tidak. Justeru bagiku itu keren."
Kamu menatap lurus ke dalam mataku, seperti mencari sebuah pembenaran, lantas menggeleng, membiarkan ujung kerudungmu terlambai angin. "Aneh."
"Apanya yang aneh?"
"Siapa namamu?" Kamu malah balik bertanya.
"Aku Ibnu."
"Unik." Seraya mengangguk.
Aku tidak tahu, di mana letak uniknya dari namaku, tapi aku tapi bisa menahan untuk bertanya siapa, "Namamu?"
"Amelia."
"Nama yang bagus," ucapku jujur.
Langit kelabu mulai bergelayut di antara kita, diam-diam rinai jatuh menimpa apa saja, menciptakan suara bergemeletuk manakala menyentuh dinding hati.
Sejurus kemudian, keretamu datang dan kamu beranjak dan pamit dari hadapanku. Punggunmu yang kecil semakin menghilang di balik peron.
Pertemuan ini, kuharap menjadi awal dari cerita kita, tentang kamu si gadis penyuka hujan, juga beberapa puisi yang akan menghias dan mewarnai. | Cerpen Romantis Antara Kau Dan Stasiun Kereta
Barangkali, akan kurangkai puisi dari banyaknya kata romantis, seperti hujan, desember, stasiun, kereta dan juga ... kamu. Tentu saja.