Wanita Mana Yang Ingin Bergelar Janda Part 2

Satu tamparan lagi tepat mengenai pelipisku.

Aku mengaduh dan menangis. Indra beranjak dari tempat tidur dan meninggalkanku ke luar kamar. Tidur di ruang tamu. | Cerpen ibu Wanita Mana Yang Ingin Bergelar Janda Part 2

Pagi-pagi, setelah menyiapkan makan dan minum buat Indra, aku berangkat kerja menggendong si kecil sambil menahan air mata. Tak disangka, Indra yang jauh sebelum menikah kukenal sebagai sosok yang menyenangkan, ternyata hanyalah lelaki egois dan ringan tangan. Orang tuaku saja belum pernah sekali pun menyakiti meski aku salah. Oh, Tuhan!

Sepulang kerja, kulihat Indra memegang ponsel baru.

“Ponsel dari mana, Pah?” tanyaku heran, sebab selama ini dia tak punya uang.

“Makanya jangan sombong jadi orang! Meskipun Papah enggak bekerja, Papah bisa punya apa aja. Apalagi Cuma HP baru,” jawabnya sinis.

“Ya, syukurlah kalau gitu. Tapi apa enggak sebaiknya uang yang Papah punya buat bayar kontrakan ini aja? Udah tanggalnya, loh,” ujarku.

“Hloh! Kan, Mamah yang bekerja. Kok, Papah yang harus bayar kontrakan, sih? Papah uang dari mana? Beli HP ini uang simpanan Papah dulu yang sengaja buat persiapan kalau HP Papah rusak. Ngerti, gak?!” jawabnya dengan nada tinggi.

“Kontrakan perlu dibayar, Pah,” jawabku pelan.

“Kamu, lah! Yang duitnya banyak, lagian apa Papah suka pakai uang Mamah? Enggak, kan?” timpalnya.

Hari ini anakku agak demam. Tetap kubawa bekerja. Di kantor sakit Dino makin menjadi hingga membuat panik. Sehabis bekerja, aku tak langsung pulang. Meminta antar teman sekantor dengan mobilnya untuk mampir ke klinik 24 jam, agar lebih cepat sampai. Mengantri cukup lama. Aku pulang terlambat. Ponselku terus berdering dihubungi Indra.

“Mamah di puskesmas, Pah. Dino sakit, mungkin Mamah pulang telat,” kataku di ponsel.

Bukan empati yang kudapat dari suami, melainkan lagi-lagi kemarahan dan kecemburuannya.

“Kamu enggak usah banyak alasan, Mah, Bilang aja Mamah sedang selingkuh. Tadi pagi itu Dino enggak kenapa-napa. Cuma demam biasa aja. Ngapain juga dibawa kerja sampai malem? Lagi selingkuh juga,” suara Indra di ponsel.

“Papah, denger Mamah dulu. Dino sak …," Belum lagi kalimatku selesai, ponsel Indra dimatikan.

Dino selesai diperiksa. Diantar teman sampai depan rumah. Indra sedang asyik duduk dan merokok di teras. Aku turun dari mobil membobong Dino. Teman kantorku membukakan pintu mobilnya. Indra memandang sinis. Bahkan tak menghiraukan sapaan teman kantorku yang telah membantu itu. Setelah berterimakasih, mobil teman melaju pergi. Dino kubawa masuk dan langsung kubaringkan di tempat tidur.

“Siapa itu, ha?!” tanya Indra membentak.

“Itu teman kantor, Pah. ‘Nganterin Dino ke ...," sahutku pelan.

“Siapa!” suara Indra makin tinggi memotong perkataanku.

“Itu yang ‘nganter Dino ke Puskesmas, Pah,” jawabku lebih pelan.

“Apa?” Mata Indra melotot tepat di depan mukaku. “Nganter Dino katamu? Ha! Bilang aja, kalau itu selingkuhanmu!” lanjutnya.

“Bukan, Pah. Itu orang yang bantu Mamah tadi. Teman kantor,” jawabku gemetar.

Indra menjambak rambutku dan mendorongkan kepalaku hingga terhuyung. Aku terdiam dan menunduk. Indra terus memandangiku dengan kemarahan.

“Kenapa diam, ha?! Kenapa diaaam!!!” teriak Indra.

Aku hanya bisa menangis terisak. Tak tahu lagi apa yang harus kujelaskan padanya.

“Sekarang jelaslah sudah. Dengan alasan anak sakit, lalu cari kesempatan, ya?!” katanya lagi.

Kuelus kepala Dino sambil berlinang air mata. Indra menarik lengan bajuku hingga robek.

“Sini kamu! Dengar, ya!” Telunjuk Indra tepat di depan hidungku. “Mulai besok, Mamah tidak usah bekerja lagi. Ngerti?!” bentaknya.

“Maksud Papah apa?” Aku mengerutkan kening memandanginya heran.

Plak!

Tangan Indra mendarat di pipi kananku dengan keras hingga kepalaku tertoleh. Aku diam dan menunduk. Indra berlalu meninggalkanku bersama Dino dalam kamar.

Benar! Esoknya aku tak boleh lagi berangkat kerja.

“Urus anakmu dengan benar! Tidak usah sok belagu berangkat kerja! Tidak punya otak apa? Anak lagi sakit,” katanya. | Cerpen ibu Wanita Mana Yang Ingin Bergelar Janda Part 2

Berhari-hari aku tak bekerja. Akhirnya mendapat kiriman surat pemecatan dari perusahaan. Sama-sama menganggur akhirnya kembali pulang ke Surabaya. Di Kota Pahlawan, Indra mendapat pekerjaan. Tapi seperti biasa, keuangannya tak jelas. Dan aku tetap kesulitan membiayai anakku.

Keadaan makin berat lagi saat aku mengandung anak kedua. Perlakuan kasar suamiku tak juga berubah. Bahkan semakin menjadi. Namun, semuanya masih kuanggap sebagai ombak kecil yang mencoba membuat goyah biduk rumah tangga.

Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, suatu hari akan tercium juga. Suatu malam, suami tertidur di kursi ruang tamu dengan ponsel menempel di dada. Pelan-pelan kuambil dan memeriksa isinya. Dadaku berdesir! Inikah badai itu? Begitu banyak chat mesra dengan beberapa nama wanita di akun BBM, WA dan Facebooknya. Segera screenshoot dan mengirimkannya ke ponselku. Kusimpan sebagai bukti.

Nama-nama dan nomor ponsel wanita-wanita yang berhubungan dengan Indra kucatat. Akun BBM, WA dan Facebook mereka kumasukan sebagai daftar teman. Pelan-pelan kuhubungi mereka sambil mengumpulkan keterangan ada hubungan apa dengan Indra.

Suatu sore. Di rumah mertua. Saat Indra sedang chating kudekati. Ponsel langsung ditutup.

“Lagi ngapain, Pah?” tanyaku sambil berusaha tersenyum.

“Kamu ngapain sih, Mah? Ganggu orang aja!”

“Mamah kan, istri Papah. Kenapa sih, takut dilihat ponselnya?”

“Mamah enggak usah ikut campur urusan Papah kenapa, sih?”

“Bukan maksud ikut campur. Tapi kenapa Papah selalu ketakutan kalau Mamah lihat ponsel Papah? Itu aja.”

Indra langsung berdiri dan bertolak pinggang.

“Denger, ya! Papah enggak kayak Mamah. Tukang selingkuh. Gimana hubungannya dengan temen kantor Mamah dulu itu sekarang? Hah?! Masih berlanjutkah? Silakan kalau mau dilanjutkan!”

“Mamah enggak selingkuh. Papah itu yang selingkuh. Mamah punya banyak buktinya.”

“Apa kamu bilang?”

Plak! Plak!

Dua tamparan mendarat lagi di kedua pipiku. Aku terhuyung dan jatuh terduduk di lantai. Kedua mertuaku menghampiri. Lalu melerai aku dan Indra. Aku menangis tersedu. Lalu bangkit dan mengambil ponsel. Kutunjukkan semua bukti chatingnya pada Indra.

“Ini apa, Pah? Ini bukti kalau Papah selingkuh.”

Ponselku langsung direbut dan dibanting hingga hancur.

“Pergi kamu dari sini! Dan enggak usah bawa Dino! Pergi!!!” hardik Indra.

Aku pun langsung berkemas dan pergi meski mertuaku melarang dengan sekuat tenaga. Aku pergi kembali ke orang tua. Tak menceritakan situasi rumah tangga yang menyiksa. Hanya beralasan sedang bermasalah. Itu saja. Meski mereka memaksa agar aku menceritakannya.

Setelah beli ponsel baru, kakak di Jakarta kembali kuhubungi. Kuceritakan biduk rumah tangga yang mulai oleng ini.

“Datanglah ke Jakarta lagi, Dek! Kamu bisa cari kerja lagi di sini, biarkan dulu suamimu seperti itu. Mudah-mudahan nanti berubah,” katanya.

“Rasanya aku ingin cerai aja, Kak. Hiks!” isakku.

“Kamu mau jadi janda, Dek?”

“Aku juga enggak mau jadi janda, Kak, Tapi, punya suami kayak gitu aku tersiksa. Hiks”

“Sabarlah! Mudah-mudahan suamimu berubah jadi makin baik.”

“Aamiin. Hiks!”

Dengan modal tekad dan perut berisi janin anak kedua, aku kembali berangkat ke Jakarta. Kemudian membuka jasa les privat untuk anak-anak sekolah baik SD, SMP dan SMA. Setiap sore bahkan hingga malam aku menjadi guru les. Tak peduli meski hujan dan berjarak lumayan jauh dari tempat kakak. Terus kujalani demi kehidupan anak-anakku kelak. | Cerpen ibu Wanita Mana Yang Ingin Bergelar Janda Part 2

- Bersambung -

* Author : Jev Indra Delcandrevidezh