Wanita Mana Yang Ingin Bergelar Janda

Namaku Kartijem, anak perempuan satu-satunya dari enam bersaudara. Berparas menarik dengan tinggi badan 160cm asal Surabaya. | Cerpen Ibu Wanita Mana Yang Ingin Bergelar Janda

Mengenal Indra sebagai sosok lekaki idaman dari kota yang sama. Berwajah tampan, tutur katanya lembut, bermata elang. Berkulit putih dengan postur tubuh atletis. Langsung saja kuterima ketika ia datang ke rumah orang tua melamarku. Tak lama setelah itu, aku pun menikah dengannya.

Di rumah, pesta perkawinanku dengan Indra, berlangsung meriah. Betapa bahagianya saat itu, aku dapat melepas masa lajang dengan pria gagah nan berwibawa pilihan hatiku sendiri.

Mulailah aku berlayar mengarungi samudera kehidupan luas nan menantang dalam biduk rumah tangga kecil yang didayung oleh Indra sebagai nahkoda. Biduk rumah tanggaku melaju dengan tenang. Indra begitu sayang dan perhatian. Beberapa hari setelah pesta pernikahan, Indra memboyongku ke rumah orang tuanya.

Bulan pertama pernikahan, aku mendapat amanah dari Yang Maha Kuasa berupa benih cinta bersama Indra dalam kandungan. Wajah Indra tampak ikut senang mengetahui aku hamil. Masa-masa kehamilan adalah waktu yang sangat kubutuhkan untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang.

Kasih sayang Indra tak berlangsung lama. Bulan ketiga suamiku itu menunjukkan sifat aslinya yang semula lemah lembut dalam bertutur kata, jadi suka membentak. Tak hanya itu, di samping pencemburu berat, dia pun berubah jadi monster yang ringan tangan.

Komitmen awal untuk saling terbuka dan menyayangi setiap saat, kini telah dilupakannya. Setiap kali ada dering telefon selalu diterima dengan cara menjauh dariku. Ponselnya dipasang password dan selalu dimatikan saat di-charge ataupun tidur. Bahkan, melihat layar monitor ponselnya saat ia memakainya pun, aku kena marah.

Sembilan bulan kemudian, Dino anak lelaki pertamaku lahir dengan selamat. Berwajah tampan mirip bapaknya.

Perlakuan Indra terhadapku tak berubah. Bahkan ia lebih sering pulang kerja larut malam, sesuatu yang di luar kebiasaannya. Sepulang kerja waktunya dihabiskan di depan layar ponsel miliknya hingga menjelang pagi, di teras rumah atau ruang tamu. Uang yang didapatnya dari bekerja tak lagi diberikan padaku, kecuali aku memaksanya dengan membeberkan segala kebutuhan anak.

Anakku beranjak balita. Kebutuhan hidupnya makin meningkat. Indra tak kunjung memberi biaya cukup. Padahal ia memiliki penghasilan yang cukup. Selain itu, tiada penjelasan apa pun ke mana uangnya berlari selama ini. Hanya kemarahan yang kuterima jika aku menanyakannya.

“Kamu bantu aku cari uang dong, Mah! Jangan Papah aja. Mencari uang itu susah, tahu?! Dan kebutuhan kita banyak,” katanya suatu hari.

Aku sedih mendengar perkataan itu. Mengingat Dino masih kecil. Mungkin saja aku dapat bekerja. Tapi bagaimana dengan anakku ini?

“Ya, sudah. Aku mau melamar kerjaan untuk membantu Papah,” jawabku.

Kukirimkan beberapa surat lamaran dengan mengandalkan ijazah sarjanaku ke berbagai perusahaan. Satu perusahaan di Jakarta menerima lamaranku itu.

 “Mamah diterima kerja di sebuah perusahaan di Jakarta, Pah,” kataku.

“Ya, kerja aja, Mah. Tapi kalau di Jakarta Papah gimana? Papah kan, kerjanya di sini,” jawabnya.

“Lah, terus gimana solusinya?” tanyaku.

Indra terlihat berpikir beberapa saat.

“Ya, sudah, Mah. Begini saja, Papah juga sebetulnya mau berhenti kerja dari kantor ini. Papah bosan. Pengen cari kerjaan juga yang menyenangkan dan lebih menghasilkan tentunya,” jawabnya.

Lagi-lagi aku dibuat heran atas jawabannya. Bagaimana mungkin seorang suami ingin berhenti bekerja begitu saja saat istrinya diterima kerja. | | Cerpen Ibu Wanita Mana Yang Ingin Bergelar Janda

Sementara, istrinya saja belum memulai pekerjaan yang diterimanya.

“Hloh! Papah gimana, sih? Katanya Mamah suruh bantu Papah? Kok, malah Papah mau berhenti kerja?” tanyaku.

“Papah ingin kerja juga di Jakarta, Mah. Kita sama-sama kerja di sana. Tapi di sana tinggal di mana?” katanya.

“Mamah punya kakak di sana. Mungkin kita bisa menumpang tinggal untuk sementara waktu. Setelah kita punya uang, bisa menyewa rumah,” ujarku. “Ya, sudah terserah Mamah aja, deh!” jawab Indra singkat.

Indra berhenti kerja. Setelah bicara panjang lebar melalui telefon dengan kakak, aku Indra dan juga malaikat kecilku berangkat ke ibu kota.

Kakak menyambut kedatangan kami dengan gembira. Beberapa hari kemudian, aku pun mulai bekerja. Anak dan suami menunggu di rumah.

Dengan bekerja, kebutuhan anakku tercukupi. Namun Indra tak kunjung mencari kerjaan. Semua kebutuhannya mulai dari merokok hingga pulsa di ponselnya aku yang tanggung, meski tak jelas untuk apa. Sebab juga jarang berinteraksi denganku lewat telefon. Kebiasaannya tak hilang, cemburu buta, suka marah dan selalu menyendiri memainkan ponselnya. Aku masih tetap bersabar. Namun, berlama-lama menumpang tinggal di rumah saudara, tak nyaman juga. Apalagi ditambah bersama anak juga suami yang pengangguran.

“Mamah sudah punya penghasilan. Kita pindah dari sini dan menyewa rumah aja, Pah. Gimana?” tanyaku suatu hari.

“Ya, baiknya seperti itu,” jawabnya.

Tinggal di kontrakan. Diam-diam, aku menyisihkan uang penghasilan di bank. Demi anakku. Hari-hari kujalani pekerjaan di kantor meski dengan memendam berjuta kesedihan. Pikiran penat, kerinduan terhadap anak di siang hari, juga tersiksa di saat air susuku menggumpal. Namun bahagia rasanya saat pihak perusahaan mengizikan untuk membawa serta anakku ke kantor. Kali ini Indra berubah jadi seorang yang over protektif. Aku terganggu dalam pekerjaan sebab terlalu sering mendapat telefon darinya. Untuk membuatnya tenang, aku mengajukan suami untuk turut bekerja di tempat yang sama. Pihak perusahaan merekomendasikan agar suamiku mengirimkan surat lamaran ke perusahaan lain. Diterima.

“Papah diterima kerja. Cobalah datangi saja! Itu keberuntungan, Pah,” kataku.

“Iya, nanti Papah pikirkan lagi dulu,” jawabnya.

“Katanya Papah mau cari kerja. Ini sudah ada kerjaan kok, malah Papah begitu?” ujarku.

Aku mendapat satu tamparan keras di pipi. Perih! Ini untuk kesekian kalinya.

“Mamah sekarang sombong, ya! Mentang-mentang punya kerjaan. Mentang-mentang punya penghasilan! Lihat nanti Papah bakal punya lebih banyak uang dari yang Mamah punya. Jangan sombong kamu!” jawabnya sambil melotot.

Aku tak mengerti. Sungguh sulit dinalar. Apa salahku, Tuhan?

Hari berganti. Bulan berlalu. Indra tak kunjung bekerja. Hanya diam di kontrakan tak melakukan apa-apa untukku. Kecuali makan, sex dan tidur. Selebihnya sibuk dengan ponselnya.

Suatu malam aku terasa sangat lelah seusai bekerja di siang hari. Indra hendak meniduriku. Walau bagaimana pun, sebagai istri aku berusaha keras melayaninya dengan sekuat tenaga. Mungkin karena kelelahan, gairahku menurun. Indra marah-marah tak jelas.

“Mamah mulai tak cinta sama Papah?” ujarnya.

“Maksud Papah?” tanyaku heran.

“Bilang saja kalau Mamah punya selingkuhan!”

“Jaga mulutmu, Pah! Mamah tak selingkuh,” jawabku.

“Ha-lah! Mamah akui sajalah! Kalau Mamah bekerja itu untuk cari kesenangan di luar, kan? Apa dikira Papah enggak tahu. Ha?!” tuduhnya.

“Aku capek bekerja, Pah! Dan …,” kataku tersendat.

“Nah, ketahuan, kan?" potong Indra. "Mamah itu mau bilang, memang sudah malas melayani Papah, kan? Akhir-akhir ini Mamah alasan capek, terus enggak lagi mau melayani Papah. Kamu dingin banget sekarang. Ketahuanlah sekarang kalau Mamah itu punya selingkuhan,” tuduhannya makin menjadi.

“Buktinya apa, Pah? Mamah enggak …,” kalimatku kembali terpotong. “Buktinya Mamah tidak seperti dulu lagi. Tahu?!” bentaknya. | Cerpen Ibu Wanita Mana Yang Ingin Bergelar Janda

“Mamah enggak tahu. Mamah Cuma capek.” Plak!

- Bersambung -

* Author : Jev Indra Delcandrevidezh