Kisah Secarik Catatan Yang Terserak Serak

Ia memandangi surat itu dengan air mata yang hampir tumpah. Rp9.000.000 tertera jelas di bagian bawah surat perjanjian tersebut. | Cerpen Sedih Kisah Secarik Catatan Yang Terserak Serak

Pikirannya gamang, ia tak punya uang sebesar itu di tabungan. Mimpikah aku? Ia membatin.

“Pak,” seorang petugas rumah sakit menyadarkannya dari lamunan.

“Eh, iya,” ujarnya tersentak.

“Silahkan ditandatangani di sini.” Petugas rumah sakit itu menunjuk bagian kanan bawah, persis di samping materai.

Kembali ia menahan gerakannya. Membuat petugas rumah sakit kembali mengingatkan. Lalu, ia merasa pundaknya tertepuk dengan lembut. Ia menoleh, dan mendapati sang mertua berada di sisi dan tersenyum padanya. Sang mertua mengangguk, seolah sedang berkata dalam isyarat, “Tandatangani saja, Nak.”

Tak ada pilihan, bukan? Ia pun segera menandatanganinya. Rasanya, malam ini akan menjadi malam terberat baginya.

Lelaki itu terduduk di sebuah kursi di samping tempat parkir rumah sakit. Pandangannya kosong ke arah langit. Harusnya malam ini adalah malam yang paling indah buatnya. Tapi ia tak menyangka bahwa ada kejadian lain yang membuat batinnya terombang-ambing seperti ini.

Tadi siang, istrinya yang sudah hamil tua mengeluh perutnya sakit. Dan lelaki itu segera sigap membawa sang istri ke bidan, saat mengetahui ada darah mengalir di kedua betis sang istri.

“Mungkin kau akan melahirkan, Sayang,” ujarnya kelu, meski di dalam hati ia merasakan kegembiraan yang luar biasa. Aku akan menjadi ayah, batinnya.

Sesampai di rumah bidan, yang hanya beberapa meter dari rumahnya, harap-harap cemas lelaki itu menunggu persalinan. Dibantu mertua, ia menyiapkan kain sarung, bantal, bahkan bak mandi, yang ia sendiri tak tahu untuk apa? Namun, di sela kesibukan, lelaki itu dipanggil oleh sang bidan.

“Ada apa, Bu?” tanyanya. “Apakah anakku sudah lahir?”

“Mas, saya tidak menemukan kepala si bayi,” timpal bidan.

Ia terhenyak, “Maksudnya?”

Bidan berusia lima puluh tahunan itu menyeka pelipisnya yang basah oleh keringat, “Sepertinya ari-ari si bayi, menutup jalan lahirnya. Sepertinya istrinya Mas harus dibawa ke rumah sakit.”

“B-baiklah, Bu.”

Segera lelaki itu membawa istri menuju rumah sakit. Dan ia langsung terkejut setelah mengetahui bahwa istrinya harus operasi caesar.

“Tak bisakah dengan jalan normal, Dok?” lelaki itu bertanya. Kentara sekali bahwa dia sedang bimbang.

“Tidak bisa,” Dokter menggeleng. “Tidak bisa. Hasil USG, jalan lahir bayi sudah tertutupi oleh ari-ari. Akan sangat membahayakan jika memaksa untuk lahiran dengan normal.”

“Tapi hasil USG dua minggu yang lalu menunjukkan posisi bayi saya normal kok, Dok?”

“Pergerakan bayi di dalam rahim, sangatlah cepat dan tidak bisa diprediksi, Mas. Mungkin tiga atau empat hari yang lalu, posisinya berubah.”

Tubuhnya mulai lemas saat menebak-nebak biaya operasi Caesar. Teman-temannya dahulu bilang bahwa pernah habis 10 juta, ada yang sampai 13 juta. Astaga, aku tak punya uang sebanyak itu saat ini, batinnya bergemuruh.

Kini ia menundukkan pandangan. Berusaha mencari cara. Berhutang! Ya, satu-satunya cara agar bisa melunasi biaya lahir sang istri hanya dengan berhutang, pikirnya.

Segera lelaki itu mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu dengan cepat mengetik beberapa kalimat, intinya ia butuh pinjaman untuk biaya operasi kelahiran anak pertamanya. Dan dengan sekali klik pesan itu terkirim ke beberapa orang yang dianggapnya tepat. | Cerpen Sedih Kisah Secarik Catatan Yang Terserak Serak

“Maaf, kami belum bisa memberi pinjaman, Pak. Karena yayasan melarang. Alasannya Bapak belum jadi karyawan tetap. Sekali lagi kami mohon maaf.” Balasan dari salah satu orang. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Kamu sudah nabung belum?” balasan dari salah seorang temannya. “Aku dulu 2 anak operasi Caesar semua, dan aku sudah punya tabungan. Makanya kamu harus nabung dulu sebelum berencana punya anak.”

Ingin rasanya ia menyumpahserapahi temannya itu dengan kata-kata yang lebih pedas, “Simpan saja ceramahmu itu untuk khotbah Jumat nanti, dasar batu.” Namun, ia akhirnya memilih untuk menahan diri. Tak ada gunanya meladeni orang itu, pikirnya.

Dan ia sudah mulai menyerah saat telinganya mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh? Mertua.

“Di sini kau rupanya,” sang mertua tersenyum. “Kau sudah makan, Nak?”

Lelaki itu mengangguk asal mengangguk

“Istrimu menunggu di kamar tunggu operasi. Temani dia, gih.” Sang mertua menepuk pundaknya lembut.

Ia kembali mengangguk, “Pak,” katanya pada mertua. “Maaf, saya masih punya uang lima juta. Itu pun baru bisa saya ambil besok lewat bank.”

Lelaki itu belum menyelesaikan kalimatnya saat sang mertua berkata, “Tak perlu kau risaukan itu, Anakku. Biar bapakmu ini yang melunasi uang operasi.”

Hampir tumpah sungguhan air mata lelaki itu kala mendengar kata-kata dari mertuanya barusan.

“Sudah, temani istrimu dulu.” Sang mertua mempersilahkan.

“Sayang, dari mana saja?” Istrinya bertanya.

Lelaki itu tersenyum, dipaksakan, “Dari parkiran. Cari udara segar.”

“Berapa biaya operasinya?” tanya sang istri kembali.

“Tak usah kau pikirkan itu, Sayang,” lelaki itu menggeleng.

“Mendekatlah, Sayang,” sang istri melambaikan tangannya. Lelaki itu menurut. “Di dalam dompetku, ada kalung emas. Jual saja buat menutupi biaya operasi ini.”

“Tidak!” timpal si lelaki tegas.

Istrinya menggeleng. “Dengarkan aku. Kita bisa cari uang lagi nanti. Aku tahu operasi ini berbiaya mahal.”

Mata lelaki itu tiba-tiba kabur, dan sekejap kemudian air matanya meleleh tanpa bisa dibendung lagi. “Aku lelaki tak berguna.”

“Sudahlah. Bukan salahmu,” ujar istri menenangkan.

“Maafkan aku.”

Istrinya mengangguk. Lantas dokter datang, dan mendorong tempat tidur istrinya ke dalam suatu ruangan. Operasi akan dimulai.

Lelaki itu terlonjak kala namanya disebut dengan kencang oleh perawat.

“Bayinya lahir, Pak,” ujar si perawat sembari menggendong si bayi mungil. Bayinya.

“Laki-laki atau perempuan?” tanya lelaki tersebut.

“Laki-laki, Pak. Empat kilo.”

“Wah besar sekali,” kali ini mertuanya yang berbicara, “hahahaha.”

Sang perawat memberi isyarat agar lelaki tersebut mengikutinya memasuki ruangan. Untuk diadzani dan diiqomati, katanya. Ia menurut. Namun sebelum benar-benar melangkah, ia melihat mertuanya sejenak. Lantas ia pun memeluk mertuanya dengan erat.

“Terimakasih, Pak,” katanya bergetar. Ia tak tahu harus bagaimana membalas kebaikan budi mertuanya ini.

Sang mertua menepuk-nepuk punggungnya, “Iya. Selamat ya, Nak.”

Melangkahlah ia ke dalam ruangan di mana bayinya berada. Sejenak ia menatap sang buah hati, wajahmu mirip sekali denganku, katanya dalam hati.

Dia pun mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri anaknya. Semoga kelak kau jadi anak shalih, Putraku. Ia berdoa lirih. | Cerpen Sedih Kisah Secarik Catatan Yang Terserak Serak