Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 3

Aku membolak-balik buku dalam pangkuan tangan, sebentar-sebentar melirik jam di pergelangan. Sebelumnya menyibukkan diri dengan berbagai aplikasi hiburan terpasang di gawai. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 3

Hampir satu jam berlalu dari waktu yang dijanjikan. Usai adzan dan melaksanakan isya, kami berjanji bertemu di satu restoran kecil tak jauh dari apartemen.

Dia memenuhi undangan makan malam dengan keluarga kekasihnya terlebih dulu – kusimpulkan gadis itu kekasihnya melihat kedekatan mereka – entah di mana. Setelah itu kami bicara. Itu katanya ketika aku sampai ke apartemen tadi sore, di waktu yang sama dia hendak keluar dengan gadisnya. Apa ini suatu kebetulan? Bagaimana bisa kami saling tidak tahu selama ini bertetanggaan? Pikiranku mulai macam-macam, ah! Jangan Ge’er Nura!

Pyaarr!

“Laki-laki tidak bertanggung jawab!” seorang wanita muda bangkit dari kursinya, tampak dia baru saja menjatuhkan gelas dengan sengaja. Mengusap-usap perutnya yang tipis, ia lantas berjalan gusar meninggalkan restoran. Lelaki semeja dengannya hanya diam di tempat mengurut-urut dahi.

Mengabaikan kegaduhan yang mereka ciptakan. Aku melempar pandang ke luar jendela kaca yang menghadap jalanan, tepat di sebelah kanan. Saat itu pula terlihat sosok yang kutunggu, berdiri di seberang jalan. Berancang-ancang hendak menyeberang. Mengamati pemuda bertubuh tinggi proporsional itu dari kejauhan, kulit pucatnya malam ini bersembunyi di balik kaos berlapis jaket kulit dan celana jeans panjang. Rambut ikal membingkai wajahnya yang oval dimana alis hitam melengkung sempurna disana. Sinar lampu jalan menyiram wajah sayunya tanpa ekspresi.

Dia bergerak melangkahkan kaki beralas sepatu boots itu. Pelan.

Tin! Tiiiinnn!

“Ali!” aku bangkit menempel ke jendela, seolah ingin menembus kaca dan segera berlari kesana. Ali ... dia meringkuk di jalanan. Aku bergegas menuju pintu keluar. Sampai ke trotoar aku menyebrang jalanan yang mendadak kacau. Suara klakson kendaraan berlomba memekakkan telinga.

“Woi! Gila kau, ha?!” Seorang lelaki berperut buncit keluar dari mobil yang hampir menyentuh tubuh Ali.

Aku berjongkok mendekat pada pemuda itu, tubuhnya gemetar ketika kusentuh.“Ali....”

Dia menatapku, manik hitam kelam miliknya tergenang air. Sepasang tangannya yang panjang membentang dan menarikku ke dalam pelukan. Dapat kurasa kepalanya membenam. Apa yang terjadi? Lidahku ikut kelu bersama waktu.

Pemuda itu melepas jaketnya lalu dilempar secara asal. Menghempaskan tubuh ke atas ranjang, dia berbalik badan memunggungiku. Aku mengamatinya dari mulut kamar. Malam ini kami jadi pusat perhatian. Aku membantunya menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah lalu-lalang orang.

Lalu kami kembali ke apartemen berjalan kaki, Ali menolak menaiki taksi. Sepanjang jalan wajah Ali terus menunduk menghindari setiap tatapan. Setelah memastikan dia baik-baik saja, aku meninggalkan apartemennya. Sekilas teringat pada wajah merahnya tadi meminta maaf karena refleks memelukku.

Ada yang tidak beres dengan Ali. Kejadian malam ini menunjukkan satu sisi yang jauh berbeda dari pertemuan kami sebelumnya. Ali ... sebenarnya siapa dia? Dan ada apa dengannya?

Suara bel pintu apartemen memaksaku buru-buru mengenakan kerudung. Ini masih terlalu pagi untuk menerima tamu. Mengintip lubang kecil di daun pintu. Ali?! Pemuda itu berdiri dengan tenang di luar.

“Ali? A-ada apa?”

Dia bergumam, menggigit bibir atasnya yang tipis. “Mbak sibuk hari ini? Semalam saya mengacaukan semuanya. Maaf. Oh ya, saya ada informasi lowongan pekerjaan. Mbak bersedia jadi pengajar di sebuah lembaga kursus? Kalau bersedia kita ke sana sekarang.” Katanya langsung ke pokok persoalan.

Suaranya terdengar tenang. Tidak bergetar seperti semalam. Tapi aku masih penasaran, ada banyak hal dalam diri pemuda ini yang harus digali.

“Ok! Menarik! Beri waktu tiga puluh menit, kita ketemu di depan pintu lift,” kataku. Ia mengangguk kemudian berjalan sedikit ke samping, membuka pintu apartemen miliknya.

Dua puluh menit lebih sedikit, aku siap dengan atasan warna nude dan celana kulot coklat. Pashmina warna senada baju menutup rambut. Mengaitkan tas ke bahu kanan, aku membawa kaki yang beralas casual shoes coklat menuju tempat yang di janjikan.

Tak di sangka Ali sudah berada di sana, bersandar di tembok memainkan Iphone miliknya. Busananya tidak kalah santai, hanya pakai sweater panjang dan celana jeans, berwarna serba gelap. Seperti merasakan kehadiranku, dia menoleh dan pada saat itu pandangan kami bertemu. Aku berjalan ketempatnya.

“Sudah siap?”

Aku mengangguk sebagai jawaban. Kami memasuki lift dan menekan tombol menuju lantai dasar. Saat ini hanya ada kami berdua. Ada banyak pertanyaan mengitar dalam benak. Bingung ingin mengeluarkan yang mana lebih dulu.

“Ali ... kebetulan sekali kita bertetanggaan, sungguh sebelumnya kamu tidak tahu saya tinggal di sini?”

Dia diam. Masih dengan wajah tanpa ekspresi. “Mbak ... tidak berpikiran saya menguntit mbak, ‘kan? Membayangkannya saya merasa seram sendiri.”

“Hah?” aku terperangah, kemudian tertawa kecil. Ah! Begitu kecilnya bumi ini, benar kata orang, tidak selebar daun kelor.

“Saya minta maaf, kamu harus kehilangan pekerjaan karena menyelamatkan say-”

“Saya memang berniat resign. Jadi tidak menyesal karena sebelum resign bisa memberi lelaki itu pelajaran, beraninya dia mengambil kesempatan,” potongnya, tidak sopan.

“Kenapa mau resign?”

“Jadi auditor melelahkan, susah nemu waktu buat santai.” Apa adanya jawaban Ali membuatku terkekeh geli. Jelaslah! Seharusnya ia sudah tahu resiko itu, apalagi kalau masih junior. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 3

Lift mendarat mulus ke lantai dasar, pintu terbuka. Berjalan keluar aku kembali bertanya, “sudah berapa lama kamu di sini? Saya sudah dua tahun, dan memang kurang memperhatikan tetangga.”

“Baru sebulan, tapi sepertinya saya harus pindah. Sewanya terlalu mahal untuk fresh graduate seperti saya,” jawabnya lagi-lagi tanpa menoleh padaku. Ia hanya fokus menatap ke depan. Dia lantas mengambil gadget. “Saya pesan ojek, mbak punya aplikasinya?”

“Hm? Ojek? Kenapa bukan taksi?” Aku lagi-lagi penasaran, semalam dia juga menolak menaiki taksi.

“Saya ... takut kendaraan roda empat.” Suaranya lirih, kali ini dia menatap wajahku. Aneh, sangat aneh. Ali ... pemuda misterius! Akhirnya aku pun memesan ojek, hah!

“Sepertinya saya pernah lihat mbak naik mobil sendiri,”

“Ya! Mobilnya mau dijual,” potongku cepat.

“Karena butuh uang.” Lanjutku karena yakin dia akan bertanya ‘kenapa?’

“Ngomong-ngomong ... punya kenalan yang suka mobil antik?”

Dia diam sesaat, lagi. Kemudian, “Besok akan saya pertemukan.”

Kami kembali terbungkus kebisuan, hanya empat mata yang mencoba saling menyelami kehidupan satu sama lain. Aku tidak sadar, entah berapa lama kami berpandangan hingga dua sepeda motor datang beriringan. Ojek online pesanan kami tiba.

“Mbak Nura?”

“Mas Ali?”

“Ya!” jawaban kami serentak.

Aku tersenyum sumringah. Sebagai pengajar adalah pekerjaan yang kudambakan, meski tak memenuhi besaran penghasilan yang di harapkan. Sebenarnya ada dilema, ingin mencari posisi auditor baru. Di sisi lain, berhenti menjadi auditor dapat mendukung perjalanan hijrahku. Ah! Sunggu dilema. Mulai besok bimbel ini akan mengajarkan pengalamam baru. Di sini aku jadi pengajar ilmu ekonomi dan akuntansi.

Aku mengamati sekeliling, waktu menunjuk jam makan siang. Para pegawai dan beberapa murid mulai memasuki kantin yang jadi tempatku dan Ali makan siang ini. Ali duduk di depanku sedangkan pandangannya menatap layar empat inci dalam genggaman. Sedari tadi benda itu berdering.

“Pacar kamu? Angkat dong.” Ujarku seraya memasukkan beberapa sendok nasi berlauk rendang daging ke dalam mulut.

Dia menggeleng. “Saya tidak pernah pacaran, tidak akan pernah.”

“Heump?” argh! Aku hampir tersedak mendengar pengakuannya. Naluri kepo-ku keluar. “Lalu ... gadis cantik itu siapa?” aku teringat gadis bertubuh langsing, berkulit bening, dengan rambut pirang bergelombang kemarin.

“Dia ... anaknya teman ayah saya.” Begitu saja, ia meletakkan kembali ponsel itu ke atas meja. Mengaduk-aduk nasinya kembali.

“Tapi ... kamu masih normal, kan?”

Ali tersenyum, yang demi Allah baru kali ini senyum itu terlihat. Dan entah kenapa senyum itu jauh lebih cantik dari milikku.

“Jelas. Mbak jangan berpikiran aneh.”

“Em ... Ali, kamu punya semacam trauma, ya?”

Dia diam. Aku menghela napas panjang, merasa diabaikan! Rasanya ingin mengunyah piring yang isinya sudah habis ini. Kutenggak segelas air putih. Berharap amarah yang sempat tersulut, reda dibuat sensasi segarnya. Tapi mungkin Ali cukup peka, dia melirik dan ... entah salah lihat atau tidak. Tadi ada seringai di wajahnya. Aku bergidik ngeri.

“Saya pernah mengalami kecalakaan mobil sewaktu SMA.”

Kecelakaan mobil? waktu SMA? T-tunggu ...

“Dimana? Oh iya, sekarang umur kamu berapa?”

“Umur saya 25 tahun.” Jawab Ali sekenanya, lanjut mengangkut nasi ke dalam mulut. Mengabaikan pertanyaanku yang lain.

25 tahun? Pikiranku berputar-putar, menghubungkan setiap waktu yang mungkin bisa menjadi jawaban. “Waktu itu, kamu SMA ... umur 18 tahun?”

Kebiasaannya yang tidak langsung menjawab, seolah sengaja menimbun rasa penasaran. “Sepertinya, ya.”

“18 tahun, itu artinya ... tujuh tahun yang lalu?!”

Dia menghentikan sendokan makannya, dengan tenang berpangku tangan ke atas meja.

Menyorot mataku kian dalam. Entahlah. Cara itu takkan membuatku ingat siapa dia yang sebenarnya! Aku masih butuh banyak penjelasan. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 3

- Bersambung -