Kutapaki jalanan "Apple City" dengan langkah gontai.
Lelah sekali rasanya, bukan hanya raga, tapi juga jiwa. Untuk kesekian kali ku alami kenyataan pahit, patah hati di saat cinta baru bersemi. | Cerpen Cinta Rengkuh Aku Pada Dekapan Cintamu Kasih
Bila kuputar kembali ke masa lalu setiap hari menghabiskan waktu sore merenung sendiri di pematang sawah di belakang rumah menikmati lukisan alam yang membentang di hamparan langit luas tak terbatas.
Walaupun berganti-ganti rupa dengan semaunya, tapi tak pernah kehilangan pesonanya. Sepi sekali kurasa, tapi indah.
Walaupun berganti-ganti rupa dengan semaunya, tapi tak pernah kehilangan pesonanya. Sepi sekali kurasa, tapi indah.
Terkadang, di tengah renungan --aku tertawa dalam hati-- ketika terpikir tentang harapan untuk merasakan indahnya cinta.
Namun, di saat lain --aku menangis-- saat aku sadar bahwa kesendirianku sudah terlalu lama dan seolah tak pernah menemukan jalan menuju ke arah bahagianya mereguk nikmatnya cinta.
Namun, di saat lain --aku menangis-- saat aku sadar bahwa kesendirianku sudah terlalu lama dan seolah tak pernah menemukan jalan menuju ke arah bahagianya mereguk nikmatnya cinta.
Sejak awal mengenal cinta --saat beranjak remaja-- aku memegang prinsip tak akan berpacaran. Aku lebih memilih persahabatan sampai tiba saatnya Allah mempertemukan dengan jodohku. Namun, setiap kali ada orang yang kusuka atau mendekatiku, lebih memilih untuk menjauh daripada sekadar menjadi sahabat.
Hingga pada satu titik aku menyerah dan tak ingin jatuh cinta lagi.
Hingga pada satu titik aku menyerah dan tak ingin jatuh cinta lagi.
Tapi semua berubah ketika aku bertemu dengan dia ....
Berawal dari sebuah perkenalan singkat di rumah, ketika dia hendak bertemu dengan kakakku. Seorang pria muda berseragam dengan logo perusahaan penerbit buku yang menjadi suplier tetap di sekolah tempat kami mengajar. Wajahnya bersih, tidak tampan, tapi sedap dipandang. Perawakannya tinggi, tidak berisi, tetapi tidak terlalu kurus juga.
Dia menyebut namanya, "Andri", saat Mbak Bin, kakakku, memperkenalkan kami. Kamipun terlibat percakapan singkat. Ada yang istimewa dengan pria ini, dia menyapaku dengan sebutan "njenengan" bahasa jawa halus pengganti "kamu". Belum pernah kutemui pemuda yang begitu santun bertutur kata, tapi tida juga kaku.
Dia menyebut namanya, "Andri", saat Mbak Bin, kakakku, memperkenalkan kami. Kamipun terlibat percakapan singkat. Ada yang istimewa dengan pria ini, dia menyapaku dengan sebutan "njenengan" bahasa jawa halus pengganti "kamu". Belum pernah kutemui pemuda yang begitu santun bertutur kata, tapi tida juga kaku.
Hari-hari berikutnya, kami pun mulai akrab. Dan walaupun jarang sekali bertemu, -- karena tidak tiap hari dia mengunjungi sekolah kami -- tapi dia menunjukkan perhatian yang tak biasa padaku. Mulai membawakanku buku pegangan guru yang belum kumiliki, hingga menawarkan pekerjaan di kantornya yang kebetulan ada posisi lowong -- sesuai dengan latar belakang pendidikanku --.
Pernah, suatu hari, salah satu murid kesayanganku meninggal dunia akibat komplikasi setelah menjalani operasi jantung. Sehari sebelum sang murid meninggal, aku bermimpi, dia mendatangiku dengan senyum ceria, dan mengatakan bahwa dia akan ikut lomba lari. Saat terbangun, aku merasakan kehilangan. Bocah kecil dengan semangat belajar yang sangat tinggi itu sudah beberapa minggu tidak masuk sekolah karena sakit yang dideritanya. Bagaimana mungkin mengikuti lomba lari?
"Ya Allah... pertanda apa ini?" pikirku.
Ternyata pagi harinya kuterima kabar kepergiannya. Aku pun tersentak. Mungkinkah semalam dia berpamitan?
Saat Andri datang ke rumah untuk mengantarkan buku pesanan kami, kuceritakan peristiwa ini padanya, dia hanya tersenyum dan memandangku dengan mata teduhnya. Ah, mengapa mendadak tak sanggup aku membalas tatapan itu?
"Njenengan sayang sekali rupanya dengan anak ini, sampai-sampai terbawa mimpi," ucapnya dengan lembut.
"Iya, memang saya sangat sayang padanya. Bukan hanya saya, teman-temannya juga. Dia anak yang istimewa... " kuberhenti dan menghela napas panjang
"Sebagai anak yang memiliki kelainan bawaan sejak lahir di jantungnya, fisiknya lebih lemah dibanding teman-teman sebayanya. Bahkan sering sekali absen karena sakit. Tapi semangat belajarnya yang tinggi membuatnya tak pernah mau meninggalkan sekolah terlalu lama. Hingga sang ayah, yang hanya buruh tani, rela mengantar ke sekolah, kemudian menggendongnya ke dalam kelas, dan menitip pesan kepada teman-temannya agar mau menjaga dia,"
kembali kuhela napas,
"bahkan, beberapa hari menjelang ajalnya, dia masih memaksa untuk menulis, meskipun tangan kanannya tidak bisa lagi digerakkan. Akhirnya, dia pun hanya bisa menangis..."
Tanpa sadar, air mataku menetes mengenang bocah istimewa itu.
Andri mengeluarkan sebuah sapu tangan dari saku bajunya, dan menyodorkan padaku.
Aku pun terkejut dibuatnya. Buru-buru kuseka air mata dengan jari telunjukku. Setengah tersipu, kudorong perlahan sapu tangan itu,
Aku pun terkejut dibuatnya. Buru-buru kuseka air mata dengan jari telunjukku. Setengah tersipu, kudorong perlahan sapu tangan itu,
"Makasih... . Maaf, aku cengeng ya?"
"Ndak apa-apa. Dikeluarkan saja. Aku juga baru tahu ada hubungan yang begitu dekat antara seorang guru dengan anak didiknya. Jujur, aku salut ke njenengan,"
ujarnya masih dengan sapu tangan yang kembali disodorkan padaku.
ujarnya masih dengan sapu tangan yang kembali disodorkan padaku.
Kali ini tak bisa kutolak. Sebuah kain kecil berwarna broken white dengan motif kotak nampak bersih dan licin. Menunjukkan betapa laki-laki di depanku ini berkepribadian rapi dan bersih. Tapi yang paling membuatku terkesan adalah perhatiannya yang tulus dan tak dibuat-buat. Sayang sekali kedekatan kami harus terputus oleh nada dering dari hpnya. | Cerpen Cinta Rengkuh Aku Pada Dekapan Cintamu Kasih
Sehingga dia harus segera berpamitan sesaat setelah membaca pesan singkat di situ.
"Maaf, Bu. Sms dari kantor. Saya harus segera kembali ke kantor untuk melaporkan kegiatan hari ini." Segera Andri berdiri dan mengambil tasnya.
"Ndak apa. Silakan. Maaf lo, bukannya diberi suguhan malah dicurhati cerita yang ndak penting," sesalku karena belum sempat menyediakan suguhan padanya --yang rela mapir di siang yang terik ini--.
" 'Mboten nopo-nopo'... ditemui dan dicurhati saja saya sudah merasa senang, kok," jawabnya lagi-lagi dengan senyum manis itu... .
Sejak saat itu, kami pun lebih sering ngobrol. Walaupun tidak secara langsung --karena kami jarang bertemu--, tapi melalui alat komunikasi. Dan sejak saat itu pula, lak-laki ini memberi warna lain sepanjang hari-hariku.
Bukan dengan kemesraan, karena kami bukan sepasang kekasih.
Bukan pula dengan rayuan, karena kami tidak berpacaran.
Melainkan dengan bertukar pikiran, diskusi, atau sekedar bercerita tentang apa yang sedang atau telah kami alami setiap hari.
Bukan dengan kemesraan, karena kami bukan sepasang kekasih.
Bukan pula dengan rayuan, karena kami tidak berpacaran.
Melainkan dengan bertukar pikiran, diskusi, atau sekedar bercerita tentang apa yang sedang atau telah kami alami setiap hari.
Dengannya, aku menemukan "persahabatan" yang selama ini kucari.
Saat bertemu, meskipun jarang, aku bisa merasakan kenyamanan, kedamaian, dan kebebasan menceritakan apapun yang ingin kuungkapkan. Sampai-sampai aku terlupa bahwa kami berada di lingkungan sekolah dan tanpa sadar menarik perhatian rekan-rekan guru atau anak-anak sekolah yang sedang istirahat. Hingga tak jarang di antara mereka ada yang meledek atau mengomentari keakraban kami.
Saat bertemu, meskipun jarang, aku bisa merasakan kenyamanan, kedamaian, dan kebebasan menceritakan apapun yang ingin kuungkapkan. Sampai-sampai aku terlupa bahwa kami berada di lingkungan sekolah dan tanpa sadar menarik perhatian rekan-rekan guru atau anak-anak sekolah yang sedang istirahat. Hingga tak jarang di antara mereka ada yang meledek atau mengomentari keakraban kami.
"Ehem... Ndak nyangka, baru beberapa bulan mengajar sudah dapat gandengan, Bu Mira," celetuk Pak Toni, guru olahraga, suatu hari.
"Iya e, aku 'sing wis suwe di kene ae'*) belum ada yang nyantol. Hebat, Mbak!" sahut Maya, sejawat yang juga teman sekolahku dulu saat masih sama-sama menimba ilmu di madrasah ini.
Kalau sudah begini, aku dan Andri hanya bisa tersenyum menanggapi ocehan mereka.
Karenanya, kami pun agak membatasi diri saat bertemu di sekolah. Perbincangan yang terjadi sebatas tentang buku-buku yang dia tawarkan --tidak terbatas pada buku pelajaran saja, tapi juga buku bacaan umum-- kepada kami. Lagipula sebagai suplier buku, dia lebih sering berhubungan dengan kakakku sang bendahara sekolah.
Karenanya, kami pun agak membatasi diri saat bertemu di sekolah. Perbincangan yang terjadi sebatas tentang buku-buku yang dia tawarkan --tidak terbatas pada buku pelajaran saja, tapi juga buku bacaan umum-- kepada kami. Lagipula sebagai suplier buku, dia lebih sering berhubungan dengan kakakku sang bendahara sekolah.
Suatu hari, Mbak Bin menanyakan sesuatu yang tak pernah kusangka sebelumnya,
"Gimana, Mir, perasaanmu pada Mas Andri? Kuperhatikan, sepertinya kalian saling suka."
"Ah, biasa aja, Mbak. Cuma temen kok," aku berusaha menyangkal pernyataan itu.
"Temen apa demen...? Ndak apa-apa lagi, dia orangnya baik, ramah, sopan, pendidikannya bagus pula. Cari yang bagaimana lagi?"
"Mbak, kalaupun aku ada rasa, belum tentu dia juga. Jadi ya, berteman saja... ."
"Naah, kan. Akhirnya ngaku..." katanya sembari menowel hidungku yang basah oleh keringat.
"Siapa tahu, Nduk. Coba kamu tanyakan, pasti dijawab 'suka'." ujarnya memberi harapan, seolah dia sudah yakin dengan jawaban itu.
Aku mulai terpancing , "Memang Mbak Bin pernah dengar langsung dari orangnya?" tanyaku penasaran.
"Ndak secara langsung sih. Tapi dia pernah menanyakan soal kamu, waktu kamu ndak masuk kerja tempo hari," jawabnya membuatku makin penasaran.
"Dia tanya apa?" rasanya jantung ini berdetak lebih cepat menanti jawaban darinya.
"Hmm... penasaran ya? hehehe," dia terkekeh senang membuatku tersiksa menunggu lanjutan kalimatnya, "dia menanyakan, 'apa Bu Firah sudah punya pacar, Bu'?'"
"Terus, Mbak jawab apa?"
"Aku bilang, 'Mirah itu ya, ndak pernah dan ndak mau pacaran, Mas Andri. Memang sih, dia pernah dekat dengan beberapa teman pria, tapi sebatas teman', begitu," kembali Mbak Bin menghentikan ceritanya dan merubah posisi duduk, "terus dia cuma manggut-manggut." | Cerpen Cinta Rengkuh Aku Pada Dekapan Cintamu Kasih